Penyatuan Shiva-Buddha Melalui Ajaran Tantra di Bali


Tulisan-tulisan tentang Shiva-Buddha, baik berupa artikel maupun hasil-hasil penelitian, sudah cukup banyak dipublikasikan. Namun, suatu gejala yang aneh bahwa di Bali sendiri, umat Hindu yang memuja tuhan “Śiva-Buddha” sebagai Sanghyang Tunggal, kebanyakan belum memahami realitas ini. Padahal teks-teks yang menguraikan tentang sinkretisme Śiva-Buddha di Bali terus bermunculan sampai pada zaman modern ini.

Artikel ini akan memfokuskan kajian pada dinamika atau evolusi Shiva-Buddha dalam ajaran Tantra yang menjadi medium penyatuan Shiva-Buddha di Bali. Dengan fokus kajian tersebut, diharapkan mampu memberi gambaran tentang eksistensi Shiva-Buddha dalam realitas masyarakat umat Hindu di Bali.

Sejarah Ringkas Shiva-Buddha

Dalam Sastra, studi Shiva-Buddha lebih banyak menggunakan sumber-sumber atau teks sastra Jawa Kuna. Dalam lapangan studi ini tekanan khusus dilakukan untuk mengamati percampuran Śiva-Buddha melalui pendekatan teologi, kebahasaan dan juga budaya lokal. Dalam sejarah kebudayaan Indonesia, evolusi Shiva-Buddha dibagi menjadi tiga phase, yaitu phase pertama meliputi evolusi sebelum zaman Majapahit; phase kedua pada zaman Majapahit (1292-1500); dan phase ketiga setelah zaman Majapahit terutama perkembangan kedua sistem keagamaan tersebut di Bali.

Pada phase pertama, yaitu sebelum zaman Majapahit tingkat sinkretisme antara Shivaisme dan Buddhisme belum menunjukkan gejala penyatuan yang kuat sehingga perbedaan antara Shivaisme dan Buddhisme masih dapat diperlihatkan. Sedangkan pada phase kedua, yaitu pada zaman Majapahit, sinkretisme antara kedua agama tersebut menunjukkan tingkat penyatuan yang semakin kuat karena beberapa alasan seperti peran raja yang menganut kedua agama tersebut, berkembangnya ajaran tantra yang mempengaruhi baik Śivaisme maupun Buddhisme, inter-marriage, dan persamaan-persamaan antara kedua sistem tersebut baik dalam tataran philosophy, etika maupun upacara keagamaan, disamping sosial keagamaan seperti kerjasama dalam mendirikan bangunan suci.

Sedangkan phase ketiga, yaitu evolusi Shiva-Buddha setelah Zaman Majapahit, khususnya di Bali, menunjukkan tingkat hubungan yang semakin luluh, seperti ditunjukkan oleh kenyataan dimana Shiva dan Buddha dipuja didalam Padmasana sebagai Tuhan yang satu yang disebut Sanghyang Tunggal.

Pertanyaan yang muncul:

Apakah sinkretisme Śiva Buddha ini merupakan produk asli Indonesia?

Masalah ini sebenarnya dapat ditelusuri sampai ke asal mula kedua agama tersebut, Hindu dan Buddha, yaitu India. Di India, percampuran Shiva-Buddha mulai menunjukkan jati dirinya bersamaan dengan berkembangnya ajaran Tantra pada dinasti Pala (dari abad 8-11 Masehi) di Bengal dan Bihar pada dinasti Bhumakaras (736-940 M) di Orissa. Tanda-tanda awal percampuran antara Śaktisme, Śivaisme dan Buddhisme bisa ditemukan di Mandir Vetal, yaitu tempat suci untuk memuja Sakti. (H.C. Das, 2003: 70). Menurut R.C. Sharma (2004: 10) percampuran antara mazab Śiva and Buddha di India merupakan hasil dari interaksi yang diinginkan (interaction of willing), sehingga unifikasi tersebut menghasilkan hubungan yang damai dan harmonis. Interaksi yang tidak diinginkan atau interaksi yang dipaksakan akan menghasilkan ketidak-harmonisan.

Dalam sejarah evolusi agama Hindu dan Buddha di India, tidak selalu terjadi hubungan yang harmonis di antara kedua agama tersebut. Ada kalanya, interaksi di antara kedua agama tersebut, justru menyebabkan agama Buddha mengalami kemerosotan (decline). Khususnya pada akhir zaman pertengahan (medieval period) kebencian kaum Brāhmaṇa terhadap pengikut Buddha dianggap salah satu faktor penyebab kemerosotan agama Buddha di India. Kurangnya perlindungan terhadap pengikut Buddha dari raja-raja Hindu juga memegang peranan penting atas kemerosotan agama Buddha di India, selain karena berkembangnya ajaran Tantra.

Di Nepal, gejala percampuran Shiva-Buddha, dapat ditelusuri melalui tempat suci Pasupathinath Mandir. Ini adalah salah satu tempat suci terbesar di Nepal, dimana Shiva dipuja sebagai pelindung semua makhluk hidup atau Pashupati. Sejarah pemujaan Pashupati di lembah Himalaya ini sduah ada sejak abad ke 3-4 M, sebagaimana dijelaskan dalam prasasti dan sumber-sumber sastra.

Pada bagian uttama mandala (sanctum sancturium) dari Pashupatinath Mandir terdapat Siwalingga. Pada setiap bulan Juli, yaitu pada Srawana Purnima, umat Buddha Newar di Lembah Kathmandhu, memuja Pashupatinath sebagai Bodhisattva ∃valokite⊥vara. Mereka memuja Śivalingga dengan menghiasi bagian kepala Siwalingga tersebut dengan mahkota. Mahkota tersebut umumnya berbentuk pendeta Buddha tantrik. Dalam Prasasti Pritivi Malla yang ditemukan di daerah Nepal bagian Barat, berangka tahun saka 1279 (1357 M), mantra Buddha “Om Mani Padme Hum” dituliskan pada bagian atas prasasti, sedangkan pada bagian bawah ditulis mantra Hindu “Om Swasti”.

Sinkretisme Shiva-Buddha bukanlah monopoli Indonesia. Selain di India dan Nepal, phenomena yang sama juga terjadi di beberapa Negara Asia dan Asia Tenggara, seperti Tibet dan Kamboja. Namun, gejala percampuran Śivaisme dan Buddhisme di Indonesia tidak hanya yang terbesar dalam hal pengaruhnya yang luas terhadap kepercayaan masyarakat, melainkan juga satu-satunya contoh sinkretisme yang masih tetap bertahan hidup sampai saat sekarang.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga