7 Versi Kisah Lahirnya Barong Landung


Versi Kedua

Versi ini, pernah diulas oleh Wayan Turun, yang mengatakan bahwa keberadaan Barong Landung di Bali dapat dikaitkan dengan Raja Baligo (Bali Aga).

Disebutkan bahwa, Barong Landung dengan badan tinggi besar tersebut adalah wujud simbolik dari Raja Bali Aga.

Dikisahkan bahwa, Raja Bali Aga ini memiliki kekuasaan sampai ke Nusa Penida, dan telah mempunyai seorang permaisuri (Dewi Danu) dan telah menurunkan seorang anak di Ulundanu Batur (Maya Danawa).

Walau demikian, sang raja masih tetap berkeinginan untuk memperistri putri Onte dari Tiongkok Selatan. Putri Onte yang tahu raja telah beristri mau menerima pinangan Raja Bali Aga dengan syarat, sang raja harus melakukan upacara potong gigi (metatah) dahulu. Setelah persyaratan itu dipenuhi, barulah perkawinan antarbangsa bisa dilaksanakan dengan sangat meriah, dirayakan selama 42 hari.

Singkat cerita, setelah cukup lama menikah, pasangan kerajaan ini tidak kunjung dikaruniai putera atau anak. Untuk mengusir rasa kesepian, Puteri Onte mengasuh anak tirinya.

Tidak lama kemudian, Puteri Onte sakit keras tanpa tahu penyebabnya. Berbagai jenis dan cara pengobatan telah ditempuh, namun Puteri Onte tetap tidak dapat disembuhkan.

Sesaat menjelang akan meninggal, Puteri Onte sempat berpesan kepada suaminya “Bila ia meninggal agar Raja Bali Aga membakar jenazahnya, dan membawa abunya yang ditempatkan di kelapa gading ke Besakih”.

Sepeninggal Puteri Onte disebutkan Raja Baligo sering merenung dan memikirkan masa depan pulau Bali, oleh karena itu beliau juga berpesan kepada rakyatnya,

“Agar tetap tercipta kedamaian dan ketentraman, terhindar dari wabah penyakit (gering), kelak bila aku meninggal buatlah patung berwujud lelawatan (bayangan)”.

Bentuk lelawatan itulah cikal bakal dari Barong Landung. Sebelumnya, perlu dijelaskan sedikit arti dari lelawatan. Lelawatan atau umum dikenal oleh masyarakat pendukung budaya barong di Bali sebagai Pelawatan Ida Bhatara-Bhatari artinya adalah bayangan (wayang) dari Ida Bhatara-Bhatari (para roh suci pelindung desa atau masyarakat Bali).

Dengan demikian seni barong umumnya dan Barong Landung pada khususnya adalah salah satu cara masyarakat Bali untuk membayangkan wujud Ida Bhatara-Bhatari ataupun bentuk-bentuk kemahakuasaan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi). Sejak kematian Puteri Onte dan Raja Baligo maka sesuai dengan sabda mereka berdua, dibuatlah lelawatan (bentuk bayangan) beliau disebut Barong Landung.

Versi Ketiga

Versi ini masih mendukung versi sebelumnya terkait dengan awal kisah lahirnya Barong Landung. Cuma, versi kisah kehidupan tokoh yang disimbolkan ini menunjukkan sedikit perbedaan dari yang lain tersebut di atas.

Kisah ini diambil dari Purana Dalem Balingkang. Raja Aji Jaya Pangus adalah raja Bali termasyur kedua sejak wafatnya Raja Sri Dharma Udayana Warmadewa yang naik tahta tahun 989 Masehi (beristerikan Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmmapatni) dan beristana di Kahuripan (sekarang, Besakih).

Udayana setelah wafat digantikan oleh putranya bergelar Paduka Haji Sri Dharmawangsa Wardhana Marakata, yang naik tahta tahun 1022 Masehi. Marakata digantikan oleh adiknya, Sri Haji Anak Wungsu tahun 1049 Masehi. Setelah kematian raja Anak Wungsu, keadaan Kerajaan Bali Dwipa nyaris kacau. Silih berganti putra dan keturunannya naik tahta, di antaranya Sri Maharaja Sri Walaprabhu (naik tahta tahun 1079 Masehi), lalu digantikan oleh Sri Maharaja Sakalendu Kirana (naik tahta tahun 1098 Masehi), yang kemudian digantikan oleh Sri Maharaja Suradhipa (naik tahta tahun 1115 Masehi), lanjut digantikan oleh Baginda Sri Maharaja Sri Ragajaya naik tahta tahun 1155 Masehi. Setelah sekian kali silih berganti raja yang menduduki tahta Kerajaan Bali Dwipa, kemudian tampil Sri Aji Jaya Pangus naik tahta pada tahun 1181 Masehi. Sri Aji Jaya Pangus memilih membangun istana di Gunung Panarajon (kini, Puncak Panulisan).

Tempat ini dipilih karena Gunung Panarajon pada waktu itu merupakan salah satu tulang punggung perekonomian pulau Bali saat itu. Yang diangkat menjadi Senapati Kuturan saat itu adalah Mpu Nirjanma, dan sebagai penasehat raja adalah Mpu Siwa Gandu dan Mpu Lim.

Dikisahkan Mpu Lim sendiri mempunyai seorang dayang keturunan Tionghoa bernama Kang Cing Wei, merupakan putri dari I Subandar (saudagar Tionghoa) hasil perkawinannya dengan Jangir (gadis) Bali.

Kaitan Raja Jaya Pangus dengan didirikannya istana Balingkang (kini, Pura Dalem Balingkang), berawal dari rencana pernikahannya dengan Kang Cing Wei. Waktu itu, Raja Sri Aji Jaya Pangus sudah memiliki permaisuri nan cantik jelita dan bijaksana yaitu Sri Parameswari Induja Ketana. Rencana baginda raja menikahi Kang Cing Wei ditentang keras oleh Bhagawanta Kerajaan yang bernama Mpu Siwa Gandhu, dengan alasan utama beda agama. Raja Sri Aji Jaya Pangus bergama Hindu, sementara Kang Cing Wei beragama Budha.

Namun, raja dalam keputusannya tetap hendak menikahi Kang Cing Wei yang merupakan pelayan Mpu Lim yang menjadi penasihat baginda. Singkat cerita, setelah upacara pernikahan besar itu, Kang Cing Wei kemudian bergelar Paduka Sri Mahadewi Sasangkaja Cihna.

Di lain pihak, dikisahkan Mpu Siwa Gandhu menjadi marah besar dan meninggalkan istana, karena nasehatnya tidak dituruti oleh baginda raja. Lalu, ia melakukan tapa brata memohon anugerah kepada para Dewa agar terjadi angin ribut dan hujan lebat selama satu bulan tujuh hari, untuk memusnahkan Istana Sri Prabhu Jaya Pangus di Gunung Panarajon. Permohonan Mpu Siwa Gandhu dikabulkan para Dewa, maka terjadilah angin puting beliung dan hujan lebat, menyebabkan aliran sungai meluap di mana-mana, hingga memusnahkan Keraton Sri Baginda Raja Jaya Pangus dengan segala isinya.

Sebagian abdinya lari berhamburan mencari tempat yang aman. Namun, sebagian kecil lagi benar-benar setia bhakti mendampingi baginda raja. Dengan diringi abdinya yang masih setia, baginda raja mengungsi ke tengah hutan atau ke dalam wilayah Desa Jong Les. Di sana baginda merabas hutan dilengkapi dengan upacakara yadnya, lalu mendirikan bangunan-bangunan dan palinggih-palinggih serta istana kerajaan yang baru.

Bangunan suci kerajaan Baginda Sri Aji Jaya Pangus itu diberi nama Pura Dalem Balingkang, sementara keratonnya disebut Kuta Dalem (sekarang, Banjar Kuta Dalem, Kintamani).

Jadi, nama Dalem Balingkang diambil dari kata Kuta Dalem, Jong Les, dan Bali Ing Kang (dari nama isteri kedua raja, Kang Cing Wei).

Disebutkan pula, Sri Baginda Raja Jaya Pangus memerintah Kerajaan Bali Dwipa dari Puri Balingkang. Saat memerintah dari Puri Balingkang inilah, seluruh Kerajaan Bali Dwipa kembali sejahtera. Apalagi, setelah baginda raja didampingi oleh kedua permaisurinya yaitu: Sri Prameswari Induja Lancana (yang selalu duduk di sisi kanan baginda) dan Sri Mahadewi Sasangkaja Cihna (yang selalu duduk di sisi kiri baginda).

Berkat jasanya dalam menyejahterakan rakyat Bali, maka menurut Goris (1974: 15 & 17) tokoh raja ini paling banyak menimbulkan khayalan dalam sejarah Bali. Ia diberi gelar Jaya Pangus Arkaya-cihna, artinya Jaya Pangus sebagai ”Putera Surya”. Bagi Goris, Jaya Pangus di Bali nampaknya dapat disejajarkan dengan Hayam Wuruk di Majapahit, terlebih-lebih karena peran penting kedua tokoh ini yang merasa perlu untuk mengesahkan dan memperbaharui titah-titah raja yang hampir dilupakan mengenai daerah-daerah perdikan dan hak-hak desa (NB: Dalam hal ini, beliau telah mengeluarkan 39 buah prasasti, 38 buah diantaranya berangka tahun sama yaitu Saka 1103 atau tahun 1181 Masehi, hanya satu prasasti yang berangka tahun Saka 1099 atau 1177 Masehi, kini tersimpan di desa Mantring, Gianyar).

Kemungkinan itulah, yang menyebabkan raja ini kemudian dipuja-puja oleh masyarakat desa sebagai tokoh penting pelindung desa yang diwujudkan dalam bentuk Barong Landung.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga