Ajaran Tantra Yang Terkandung dalam Cerita Brayut


Meskipun keakuratan data yang dikemukakan ini masih sangat mungkin untuk diperdebatkan, tetapi paling tidak hal ini memberikan indikasi bahwa diferensiasi sistem keyakinan yang berkembang dalam masyarakat Bali saat itu telah membuat gerah pihak penguasa sehingga mengambil langkah-langkah pengaturan sistem kepercayaan masyarakat melalui indoktrinasi sistem keyakinan Hindu Jawa.

Salah satu mazab yang pemah berkembang di Bali yang pengaruhnya hingga saat ini masih sangat kuat dirasakan adalah mazab Tantrayana (Siwa Tantra dan Budha Tantra). Mazab ini diperkirakan berkem­bang di India antara 300-1200 Masehi. Tantrayana sangat terkenal dengan ajaran Panca Ma, yaitu: (1) Matsya, makan ikan; (2) Madya, minum minuman keras; (3) Mamsa, makan daging; (4) Mudra, gerakan-gerakan tertentu; (5) Maituna, hubungan seks, sebagai media pemujaan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kekuatan, kekuasaan dan kesaktian (pengetahuan) dari Dewi Durga  / Parwati sebagai Shakti Siwa (Phalgunadi, 2006:34).

Tokoh-tokoh yang cukup dikenal sebagai penganut ajaran ini antara lain Adityawarman di Sumatra, Kerta Negara di Jawa Timur, Kebo Parud atau Kebo Edan di Bali. Tantrayana sangat berpengaruh di Bali, sehingga dengan demikian aspek-aspek ajarannya sangat signifikan dalam mewamai ajaran agama Hindu di Bali seperti: penggunaan candi sebagai tempat pemujaan Dewi Durga, pemujaan terhadap unsur Shakti dari Dewa seperti Dewi Uma, Laksmi, Sri dan sebagainya.

Dasar-dasar ajaran Tantrayana yang memposisikan pemujaan terhadap Shakti sebagai hal yang sangat penting, telah ditemukan jauh sebelum pengaruh Hindu berkembang di India. Temuan-temuan yang dihasilkan dari penggalian di daerah Mahenjodaro dan Harrapa antara lain area terracotta yang meng­gambarkan tubuh wanita dengan pinggang ramping, pinggul dan buah dada yang penuh sebagai gamba­ran  wanita  yang subur, telah mengantarkan para ahli untuk berasumsi bahwa orang-orang Dravida sebagai pendukung kebudayaan ini lebih menguta­makan pemujaan terhadap Dewi (Shakti). Disamping itu ditemukan juga area laki-laki bermuka tiga dalam posisi duduk bersila (sikap meditasi) dengan penis dalam keadaan ereksi (Majumdar, 1998; Mantra, 2006).

Sikap ini mengingatkan pada sikap meditasi dalam  ajaran Yoga. Bila memang demikian keadaannya kiranya bisa dikatakan bahwa ajaran Yoga yang berkembang belakangan di India berasal dari akar tradisi bangsa Dravida. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila dalam Tantrayana dikenal juga proses untuk mencapai siddhi melalui aktivitas gerak kundalini dari mula­daracakra  sampai  sahasraracakra sebagai langkah-langkah untuk penyatuan Shiva dengan Shakti. Temuan kedua area tersebut mengingatkan pada tradisi megalitik di Indonesia berupa patung­ patung  laki-laki dan perempuan  dengan alat kelamin yang digambarkan secara natural, berfungsi sebagai penolak bala (Sutaba,dkk.,2007).

Berangkat dari catatan tersebut di atas rupanya ajaran Tantrayana yang masuk ke Bali telah menga­ lami proses lokalisasi mengingat benih-benih ajaran yang sejenis telah berkembang di Bali. Perlu dicatat pula bahwa posisi tawar sistem keyakinan masyarakat Bali berada dalam posisi yang eukup kuat sehingga memungkinkan terjadinya lokalisasi ajaran Hindu khususnya Tantrayana di Bali.

Lokalisasi bila meminjam batasan yang diberikan oleh Niels Mulder (1999) yaitu inisiatif dan sumbangan masyarakat lokal sebagai jawaban dan penanggungjawab atas hasil-hasil pertemuan budaya. Dengan kata lain, budaya yang menerima pengaruh dari luarlah yang menyerap dan menyatakan kembali unsur-unsur asing dengan eara menempa unsur-unsur asing itu sesuai dengan pandangan hidup. Dalam proses lokalisasi, unsur­ unsur asing perlu menemukan akar-akar lokal, atau eabang asli daerah tersebut, dimana unsur-unsur asing itu dapat dicangkokkan. Baru kemudian, melalui peresapan oleh getah budaya asli itu, cang­kokan itu akan berkembang dan berbuah (Mulder,1999:5). Sementara itu Nordholt (2006) mendefinisikan lokalisasi sebagai proses aktif untuk mengadopsi dan memberikan makna baru terhadap konsep-konsep dari India.

Lokalisasi sebuah sistem keyakinan menuntut adanya kemampuan dari aspek lokalitas untuk melakukan tindakan akomodatif, akulturatif, dan resistentif terhadap pengaruh luar dalam hal sistem keyakinan yang datang dari India khususnya Tantrisme. Menurut pandangan Fie (2003) Tantra adalah sistem keyakinan asli masyarakat India yang kemudian menyebar ke Nepal, Tibet, China, Mon­golia, Jepang dan Indonesia.

Menurut Fie, dalam Tantra terdapat dua aspek penting yaitu, pertama menyangkut teori penciptaan yang menyatakan bahwa semesta ini tanpa awal dan tanpa akhir karena merupakan perwujudan dari energi suci Sang Kreator; dan yang kedua adalah menyangkut gerakan-gerakan serta ritual yang mampu menga­rahkan manusia menuju energi suci Sang Kreator di bawah bimbingan seorang Guru.

Sementara itu di Bali sendiri sebelum masuknya pengaruh Hindu menunjukkan bahwa sistem keyakinan yang berkembang dalam masyarakat sudah berada dalam posisi yang cukup tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya lokalisasi ajaran-ajaran yang datang mendekat. Bukti-bukti yang menun­jukkan bahwa kebudayaan serta sistem keyakinan masyarakat Bali sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi ketika proses lokalisasi itu terjadi antara lain sebagai berikut; 1) Kepercayaan tentang gunung dan laut sebagai alam roh; 2) Kepereayaan bahwa alat vital memiliki kekuatan magis; 3) Adanya kepercayaan bahwa setelah mati, ada kehidupan lain dan akan menjelma kembali; 4) Adanya kepercayaan bahwa organ-organ tubuh tertentu terutama penis dan vagina memiliki kekuatan sebagai penolak bala; 5) Adanya kepercayaan terhadap roh nenek moyang atau leluhur yang dapat dimintai pertolongan (Sutaba,1980:30-32; Pemda Bali, 1985 / 1986:52-53; Ardana, 1986:75-76).

Adanya kepercayaan bahwa organ seks memiliki kekuatan sakti dapat dilihat pada area-area akeologi yang ditemukan di pura Dalem Celuk Buman dan di Pura Besakih Keramas. Penampilan kelamin sebenarnya dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat megalitik Indonesia pada waktu itu, bahwa bagian­ bagian tertentu dari tubuh manusia mempunyai kekuatan gaib yang amat besar, yaitu mata, lidah dan alat kelamin, yang dapat menolak bahaya dan dapat juga memberikan keselamatan dan kesejahteraan kepada masyarakat.

Kepercayaan ini berkembang berkelanjutan hingga masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu dan Buddha secara meluas di Indonesia. Sebagai sontoh dapat disebutkan ialah sebuah phalus besar dan sebuah vagina ysng berpasangan dengan phalus yang dipa­hatkan di lantai pintu masuk candi Sukuh yang dimaksudkan sebagai penangkal kekuatan jahat yang akan merusak kesucian candi. Temuan sejenis juga ditemukan di candi Ceto, di pura Pusering Jagat Pejeng, berupa sebuah phalus dan vagina dalam sebuah bangunan suci, yang sampai sekarang dipercaya akan memberikan anak kepada pasangan yang belum mempunyai keturunan (Sutaba, 2007). Di Desa Tenganan Pagringsingan terdapat juga sebuah phalus yang masih berfungsi sakral disebut Pura Kaki Dukun, yang diyakini sebagai tempat untuk memohon anak dan kesejahteraan masyarakat. Yang menarik adalah bahwa sebagian besar pura milik desa Tenganan Pagringsingan berupa bangunan-bangunan megali­tik adalah bukti bahwa dahulu kala pengaruh tradisi megalitik di desa ini sangat kuat, dan berlanjut hingga saat ini.


Sumber
I Wayan Budi Utama

Jurnal Seni Budaya Mudra



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga