Ajaran Tantra Yang Terkandung dalam Cerita Brayut


Unsur-unsur Ajaran Tantra dalam Cerita Brayut

Tantrayana berkembang luas di India, Nepal, Tibet, Mongolia, China, dan Indonesia. Demikian luasnya perkembangan ajaran Tantrayana ini bahkan dalam eatatan para peneliti terdapat 64 sekte dari 3 aliran besar dalam Tantrayana.

Menurut Tantra, ada tiga wilayah yang masing-masing disebut Visnukranta, Rathakranta, dan Asvakranta (kadang-kadang disebut Gajakranta) di mana Tantra berbeda ditetapkan. Menurut Saktimangala Tantra, Visnukranta terbentang dari Gunung Vindhya sampai Chattala (Chitaggong), termasuk Bengal; Rathakranta dari tempat yang sama ke Malacina, termasuk Nepal; dan Asvakranta dari gunung yang sama ke “samudra luas”, tampaknya termasuk seluruh India. Mahasiddhasara Tantra, setuju dengan ini untuk Visnukranta dan Rathakranta, tetapi membuat Asvakranta membentang dari Sungai Karatoya (di Kabupaten Dinajpur) ke Jawa.

Tantrayana memiliki peran penting dalam pengimplementasian ajaran filsafat Yoga sehingga kombinasi antara praktik Tantra dan filsafat Yoga memberi pengaruh besar terhadap sistem kepercayaan yang berkembang di India serta beberapa Negara lainnya.

Tantra telah membuat sistem Yoga Patanjali dengan mudah dapat dipraktekkan, dan menggabungkannya dengan ritual Tantrik dan ketaatan seremonial (Karmakanda); Itulah alasan mengapa sistem Sadhana Tantrik diadopsi oleh banyak sekte agama di India. Jika teori bahwa Tantra dibawa ke India dari Kasdim atau Sakadvipa – benar, maka dapat disimpulkan bahwa Tantra tersebut diturunkan dari Kasdim ke Eropa. Tantra dapat ditemukan di semua lapisan agama Buddha; Tantrik Sadhana adalah manifest dalam Konfusianisme; dan Sintoisme hanyalah nama lain dari aliran Tantrik. Banyak sejarawan mengakui bahwa penyembahan Shakti, atau Tantrik Sadhana, yang lazim di Mesir sejak zaman kuno, menyebar ke Fenisia dan Yunani. Akibatnya kita dapat menganggap bahwa pengaruh Tantra dirasakan dalam agama Kristen primitif (Avalon, 1960).

Suatu yang sangat esensial yang dimiliki oleh ajaran Tantra adalah bahwa Tantra mengutamakan pemujaan terhadap Sakti atau Dewi. Hal ini diungkapkan dalam beberapa sloka dalam ajaran Tantrayana.

Dalam Saktamala Candrika dikatakan:

“Brahma adalah Shakti, Shiva adalah Shakti, Visnu juga adalah Shakti, dan Vasava adalah Shakti. Shakti adalah akar dari banyak Dewa lainnya. Tanpa Shakti tidak ada yang dapat mempertahankan keberadaan pribadinya. Engkau yang memiliki pikiran yang tinggi, oleh karena itu, mengetahui bahwa Shakti adalah yang terbesar dari semuanya. ” (Avalon, 1960).

Ajaran penting lainnya tentang Tantrayana adalah penguasaan pengetahuan tentang Tuhan serta implementasinya dalam kehidupan. Menurut pandangan Tantra, kebebasan abadi (moksha) tidak akan pemah dicapai oleh seseorang melalui japa, mantra, dan upacara homa, jika tanpa dilandasi oleh pengetahuan dan pemahaman mendalam tentang Brahman yang berada dalam dirinya sendiri ,seperti yang diungkapkan pada kitab Mahanirvana Tantra.

Pembebasan tidak datang dari japa, homa, atau seratus puasa; manusia menjadi terbebaskan oleh tepi pengetahuan bahwa ia sendiri adalah Brahman (XIL 115).

Pembebasan akhir dicapai dengan pengetahuan bahwa Atma (Jiwa) adalah saksi, adalah Kebenaran, adalah omni hadir, adalah satu, bebas dari semua gangguan diri dan bukan diri, yang tertinggi, dan, engkau tinggal di dalam tubuh, tidak ada di dalam tubuh (XIL116).

Mereka yang dalam ketidaktahuan mereka, percaya bahwa Ishvara (hanya) dalam gambar yang terbuat dari tanah liat, atau batu, atau logam, atau kayu, hanya mengganggu diri mereka sendiri dengan tapas mereka. Mereka tidak pernah bisa mencapai pembebasan tanpa pengetahuan (XIL119).

Baginya yang mengetahui bahwa semuanya adalah Brahman, tidak ada dosa atau kebajikan, tidak ada surga maupun kelahiran di masa depan. Tidak ada yang bisa direnungkan, tidak ada yang bermeditasi (XII, 126).

Pentingnya ilmu pengetahuan secara umum serta pengetahuan ketuhanan secara khusus dalam Tantrayana dapat diketahui dari tanggungjawab seorang sakta dalam memberikan pendidikan dan pengetahuan kepada anak-anaknya.

Seorang ayah harus membelai dan mengasuh anak-anaknya sampai tahun keempat, dan daripada sampai usia enam belas tahun mereka harus mempelajari tugas-tugas mereka (sloka 45). Sampai tahun kedua puluh mereka harus tetap terlibat dalam tugas-tugas rumah tangga, dan sejak saat itu, mempertimbangkan mereka sebagai sederajat, dia harus selalu menunjukkan kasih sayang kepada mereka (sloka 46) .Demikian pula seorang anak perempuan harus dihargai dan dididik dengan sangat hati-hati, dan kemudian diberikan uang dan permata kepada seorang suami yang bijaksana (sloka 47).

Konsep ini rupanya yang menjadi rujukan kitab Niti Sastra di Bali. Namun demikian dalam perkembangannya terdapat pandangan keliru tentang Tantrayana yang identik dengan seks bebas atau hubungan seks yang berlebihan. Tentu kurang bijaksana jika dikatakan bahwa Tantrayana adalah ajaran yang melegalkan hubungan seksual secara bebas sehingga dipandang merendahkan martabat perempuan.

Tantra sangat menghormati perempuan dan sama sekali tidak berpandangan bahwa perempuan adalah pemuas seksual sebagaimana pandangan yang keliru tentang maithuna. Tantrayana sangat keras dalam mengatur persoalan hubungan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan istrinya.Hal ini dapat dibaca dalam kitab Mahanirvana Tantra berikut ini.

Maithuna selain dengan perumah tangga sendiri, istri dikutuk. Dan ini tidak hanya dalam arti literal, tetapi yang dikenal sebagai Ashtanga (delapan kali lipat) maithuna, Smaranam (memikirkannya), kirthanam (membicarakannya), keli (bermain dengan wanita), prekshanam ( memandang wanita), guhy abhasanam (berbicara secara pribadi dengan wanita), sangkalpa (keinginan atau ketetapan hati untuk maithuna), adhyavasaya (tekad terhadapnya), kriyanishpati (pencapaian aktual dari tindakan seksual). Singkatnya, pashu (dan kecuali untuk tujuan ritual mereka yang bukan pashu) harus, dalam kata-kata Shak takramiya, hindari maithuna, percakapan tentang subjek, dan perkumpulan wanita (maithunam tatkathalapang tadgoshthing parivarjjatet). Bahkan dalam kasus istri perumah tangga sendiri kelanjutan perkawinan dilarang. Keilahian dalam diri wanita, yang dinyatakan oleh Tantra secara khusus, juga diakui dalam ajaran Vaidik biasa, sebagaimana jelas harus menjadi kasus yang diberikan dasar bersama dengan semua sisa Shastra. Wanita tidak hanya dianggap sebagai objek kenikmatan, tetapi sebagai dewi rumah (grihadevata). Seorang pria harus menganggap sebagai istri hanya wanita yang telah menikah dengannya menurut bentuk Brahma atau Shaiva. Semua wanita lainnya adalah istri orang lain (IX, 46)

Pemujaan dengan Latasadhana (hubungan seks atau maithuna) bahkan hanya boleh dilakukan lima hari setelah wanita datang bulan (menstruasi).

Ajaran Tantrayana sebenamya memiliki aturan yang sangat ketat dalam penerapan konsep Panca Ma atau Panca Tattwa. Penggunaan daging, biji-bijian, minuman keras, mudra (gerak-gerak tertentu), serta maithuna (hubungan seks) hanya boleh dilakukan dalam proses ritual di bawah bimb­ingan Guru. Hubungan seks hanya boleh dilakukan dengan pasangan yang sah.

Penerapan ajaran panca tattwa sangat tergantung pada jenjang kemampuan para pengikut Tantrayana. Penerapan ajaran Pancat­ attwa sangat tergantung pada tujuan yang ingin dicapai, tetapi secara umum hal ini dimaksudkan sebagai upaya mencapai penyatuan dengan Tuhan. Ajaran panca tattwa ini ibaratkan terapi terhadap racun dengan menggunakan racun sebagai penetralisirnya.

Dari paparan tersebut di atas selanjutnya dicoba untuk menggali kandungan isi gaguritan Brayut terkait dengan ajaran Tantra. Unsur-unsur panca tattwa tampak jelas dalam gaguritan Brayut, seperti kutipan berikut.

  • “Ngogo calung ngalih uyah, suba ya suud masagi, mangungkab pane pangaron, di kumarange maisi, letlet sesate gunting, balung Ian dedeleg marus, iga sesate calon, !en kakuung jepit babi, ulan engkuk, songo anggon rarebasan “. (bait 20).
  • Lalawuhe sube mara, kacang-kacang pencok kuping, balung pindang sambel iso, tuwak berem arak manis, madulur arak sari, lelehanga mawor madu, runtutin sasangan, tatawanan klupa suci, dodo! satuh, tan kocap ane len-lenan” (86 bait)
  • Ne luh-luh merantaban, nampah angsa nunu kambing, bebek siape magorok, ada nyeduh mamut­ butin, ade ngibukang guling, be jarane tonden rawuh, manadak mapapyon, I Pamayun mama­ gonin, nampah penyu, aji nem bangsit limolas” (bait 99)

Bait-bait gaguritan Brayut di atas ini pada intinya menyebutkan berbagai jenis makanan olahan daging yang dipersembahkan pada saat upacara dan perayaan atau pesta. Pada bait lainnya diceritakan bahwa keluarga Brayut memiliki kelakuan seks (maithuna) yang kuat sehingga selalu minta untuk melakukan hubungan seks pada istrinya seperti kutipan berikut. “Bas magawe san tuturan, kuwate maningeh munyi, wangkidina pisan pindo, yen kapisaga malali, teka twah mangembusin, tampar yen dapetang nunun, yen nira sedek di pawon, yen nire ngendihang api, tuah narungkuk, tong dusin buwung manyakan” (bait 39)

Sementara itu unsur religio magis Tantra tampak pada bait-bait berikut, menceritakan langkah-langkah Brayut mendapatkan pengetahuan sejati berupa pengetahuan ketuhanan dari seorang Guru.

” Suba tutug mapumahan, angkuhanga luh muani, bahan bagianyane katon, sangkannya tong ada imbih, manemu suka sugih, mas mirah salaka liyu, ento ne amah anggo, De Brayut luh muani, nganggo tutur, suba mamalikin lampah” (bait 57).

“Suba suud ngupadesa, manyuwang ka desa Kangin, kocap ring Pangeran Jembong, ka Geria Banjar Mamedi, tuah to Bodane sidi, paranakn­ nyane liu, tur malimpad-limpadan, anging tong ada nandingin, tuah iye ewer jam-jam ngendog pahitun­ gan” (bait 58).

“De Brayut duke ngayat, manunas bekele mati, mapang guruyaga bokor, dadar satake dijani, len nanampan abesik, kocap aji telung atus, ica Pangeran Jembong, panugrahan Sang uptai, sampun puput, mangliwatin titi gonggang”(bait 60)

“Anging katuduh ngahiang-hiang, bratane apanga luwih, samahitane jua anggo, buat Bodapaksane Jani, suba luwas mapamit, manakti di sema agung, sig kepuh magowok, tan ucap umah mamedi, pabi­ yahyuh, gowake masaliweran (bait 61)

“Kawuk-kawuk pagurekgak, matinggah ada ngulanting, manating limpa ngaglok, len mangesuk neltel ati, ade ngiberang kulit, babuwahan len papusuh, basing len jajaringan, mata ebol lan jariji, kakembungan, sig sig kepuhe pasulengkat” (bait 62)

Bait-bait gaguritan di atas menunjukkan upaya pendakian spiritual yang dilakukan Brayut dalam upaya mencapai kesempumaan hidup. Belajar ilmu kesempurnaan hidup pada seorang guru yang men­guasai ajaran Budha, serta mematangkan ilmunya dengan melakukan yoga semadhi di sebuah kuburan yang terdapat pohon kepuh berongga yang dikenal angker. Pada akhirnya Brayut menjalani hidup sebagai rohaniwan (menjadi Dukuh), setelah semua anak-anaknya dewasa.

Kutipan-kutipan bait gaguritan Brayut di atas menggambarkan tahapan-tahapan kehidupan Brayut. Diawali dengan kisah kehidupan Brayut saat berumah tangga yang penuh dengan dinamika (termasuk melakukan kewajiban sebagai suami istri atau maithuna), melaksanakan ritual dengan mem­ persembahkan berbagai olahan daging, minum­ minuman keras seperti arak, tuak dan berem. Selan­jutnya setelah kemakmuran hidup dicapainya, Brayut belajar pengetahuan tentang kesejatian hidup pada seorang Guru. Tahapan-tahapan kehidu­pan Brayut sangat erat kaitannya dengan salah satu ajaran Tantrayana yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa yang lebih dikenal dengan istilah Catur Purusartha (Nila,1997).

Guru adalah unsur yang sangat penting dalam ajaran Tantrayana yang bertanggung jawab mem­bimbing murid-murid Tantra dalam melakukan sadhana (ritual). Brayut juga melakukan pertapaan di kuburan guna mendapatkan ilmu kelepasan. Kuburan adalah unsur penting dalam ajaran Tantra sebab kuburan di pandang sebagai sthana dari Shakti Shiva yaitu Durgha. Praktik­ praktik keagamaan untuk mendapatkan Sakti di Bali seperti proses pasupati rangda hingga saat ini masih berlangsung di Bali.

Berdasarkan argument di atas dapat dikatakan bahwa dalam Gaguritan Brayut menunjukkan kuat­ nya pengaruh ajaran Tantrayana. Masuknya ajaran Tantrayana ke Bali diperkirakan berasal dari Jawa. Hal ini kemungkinan terjadi pada masa pemerin­ tahan raja Kerta Negara yang memerintah di Singosari pada tahun 1268-1292. Kerta Negara menyerang Bali pada tahun 1284. Penyerangan terhadap Bali adalah untuk mewujudkan cita-cita membentuk cakrawalamandala, yaitu menguasai Nusantara. Raja Kerta Negara dikatakan sebagai penganut Tantra Bhairawa (Surasmi,2007).


Sumber
I Wayan Budi Utama

Jurnal Seni Budaya Mudra



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga