Bayuh Oton & Tirta Penglukatan Wayang Sapuh Leger


Ketentuan Khusus Wayang Sapuh Leger

Disamping upakara secara umum di atas, untuk masing-masing dari mereka yang dibayuh dibuatkan upakara khusus sesuai hari kelahiran, antara lain suci pejati, Praspengambean tumpeng 7 asoroh, daksina gede sesuai urip kelahiran, sesayut pengenteg bayu, merta utama, pageh urip dan disurya munggah Suci pejati, Bungkak Nyuh Gading lan pengeresik jangkep dan dilengkapi sesayut-sesayut sesuai dengan kelahiran ; :

  1. Wetu Redite : Sesayut Sweka Kusuma
  2. Wetu Soma : Sesayut Nila Kusuma  Jati/Citarengga
  3. Wetu Anggara : Sesayut Jinggawati Kusuma /Carukusuma
  4. Wetu Budha : Sesayut Pita Kusuma Jati/Purnasuka
  5. Wetu Wraspati : Sesayut Pawal Kusuma Jati/Gandha Kusumajati
  6. Sesayut sang wetu Sukra: Sesayut Raja Kusuma Jati/Wilet Jaya Raja Dira
  7. Wetu Saniscara : Sesayut Gni Bang Kusuma Jati/Kusuma Gandha Kusuma

Sebagai sajian ritual, nilai-nilai yang terkandung dalam pertunjukan Wayang Sapuh Leger adalah nilai religius yang diolah sedemikian rupa oleh pencipta seni pertunjukan (dalang). Nilai-nilai religius yang sangat menonjol dalam kehidupan masyarakat Bali, menyebabkan kesenian ini masih memiliki kemantapan dalam kehidupan masyarakat Bali.

Beberapa tattwa atau filsafat yang dipakai rujukan pada pelaksanaan Upacara Bebayuhan Sapuh Leger ini salah satunya  rujukan dari ;

  1. Lontar Kala Purana ( Pusdok Denpasar lembaran 1 s/d 89).
  2. Lelampahan Wayang Sapuh Leger (K 2244) 1 s/d 100 dan bebantenannya.
  3. Kidung Sapuh Leger (645).
  4. Pedoman Pelaksanaan Bebayuhan Sapuh Leger  Oleh Ida Bgs Puja
  5. Warespati Tatwa lan Bebayuhan Oton
  6. Upacara Bebayuhan Weton Sapuh Leger MGPSSR Kecamatan Gianyar 2010
  7. Wayang Sapuh Leger Fungsi dan Maknanya dalam Masyarakat Bali Oleh I Dewa Ketut Wicaksana.

Mitologi Sapuh Leger mengharuskan masyarakat umat Hindu di Bali percaya bahwa dilarang bepergian pada tengai tepet (siang hari), sandyakala (sore hari) dan tengah lemeng (tengah malam), karena diyakini bahwa waktu-waktu tersebut adalah waktu trasisi yang sering mengancam keamanan seseorang yang melakukan perjalanan. Sehingga orang tua pada jaman dahulu sangat melarang anak-anaknya berpergian pada waktu-waktu tertentu. Jika dikaji secara filosofis sangat sarat akan makna yang terkandung didalamnya.

Tumpek Wayang itu sendiri merupakan tumpukan dari waktu-waktu transisi dan hari itu jatuh pada Sabtu/Saniscara Kajeng Kliwon Wuku Wayang, dimana Sabtu merupakan hari terkhir dalam perhitungan Sapta Wara; Kajeng adalah hari terakhir dalam peritungan Tri Wara; dan Kliwon menjadi hari yang terakhir dalam kaitannya dengan perhitungan Panca Wara. Sedangkan Tumpek Wayang adalah Tumpek terahir dari urutan enam Tumpek yang ada dalam siklus Kalender Pawukon Bali. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, Tumpek Wayang menjadi hari yang penuh dengan waktu-waktu peralihan, dan oleh karnanya anak-anak yang lahir pada saat ini ditakdirkan menderita karena mengalami gangguan emosi dan menyusahkan orang lain.

Untuk melawan akibat keadaan yang tidak menguntungkan itu, orang Bali melakukan upacara “penebusan dosa khusus“ yang dinamakan lukatan Sapuh Leger, dengan harapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) akan menganugrahkan nasib baik pada anak itu dan menjamin bahwa hari “lahir yang tidak baik“ itu tidak akan berpengaruh buruk pada perkembangan selanjutnya.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga