Fungsi dan Makna Perangkat Pemujaan Sulinggih (Tri Sadhaka)


Pandita disebut pula adiguruloka, artinya sebagai guru utama dalam masyarakat lingkungannya. Tentang mazhab Siwa (pengikutnya disebut saiwa atau sewa) dan Buddha (pengikutnya disebut bauddha atau boddha) juga yang lainnya, seperti Mahabrahmana atau Waisnawa dapat dilihat dari beberapa prasasti peninggalan Raja-raja Bali Kuno, yang menyatakan bahwa para pandita ini menduduki tempat yang sangat terhormat. Para pemuka agama ini umumnya diberikan gelar Dang Acharya (ditempatkan di muka nama personnya) bagi penganut Siwa, dan untuk yang beragama Buddha diberikan gelar Dang Upadhyaya.

Tiap-tiap perangkat pemujaan yang digunakan memiliki fungsi khusus sesuai dengan agem-ageman pandita dalam golongan tri sadhaka. Pandita Siwa mepuja dan muput upacara dengan pemujaan di swah loka, Pandita Budha mepuja dan muput dengan pemujaan di bhwah loka, dan Pandita Bhujangga Waisnawa mepuja dan muput dengan pemujaan di bhur loka. Dalam perannya sebagai bagian dari tri sadhaka, agem-ageman setiap kepanditaan ini hendaknya dilakukan sesuai dengan perannya dalam melakukan pemujaan pada sebuah upacara dengan tingkat yang besar (utama yadnya). Besarnya upakara dan rangkaian dalam sebuah upacara besar (utama) tidak mungkin dipimpin (muput) atau hanya dilakukan oleh satu orang golongan pandita.

Perlengkapan perangkat pemujaan tri sadhaka atau ketiga golongan pandita Hindu di Bali, dapat disimpulkan bahwa masing-masing memiliki makna tersendiri dan memiliki nilai religiusitas yang tinggi. Sang Hyang Siwa, Sang Hyang Budha selalu dihadirkan saat seorang pandita memuja dan berhadapan dengan perangkat pemujaan berupa Siwa Upakarana, Budha Upakarana, dan Bhujangga Upakarana, sebagai saksi suci dan kesuksesan jalannya sebuah upacara.

Setiap perangkat pemujaan para pandita memiliki makna khusus, yang memberikan nilai spiritual tinggi dalam sebuah proses yadnya atau upacara. Perangkat pemujaan dihadirkan atau harus dimiliki oleh para pandita dari ketiga golongan Pandita dalam tri sadhaka. Dalam hal ini, bukan hanya sebagai alat pelengkap, melainkan juga merupakan perangkat pemujaan yang mutlak harus dimiliki dan menyertai seorang pandita pada saat memimpin (muput) upacara atau ngelokapalasraya untuk umat Hindu di Bali.

 

Tiga Jenis atau Gegelaran Sulinggih (Tri Sadhaka)

Ada tiga jenis pandita atau kelompok Sulinggih. Dalam pelaksanaan agama Hindu di Bali terdapat tiga gegelaran kepanditaan yang sudah menjadi pakem agama Hindu Bali dalam muput upacara terdiri atas

  1. Gegelaran Siwa, dilaksanakan oleh para sulinggih yang beraliran Siwa Sidhanta,
  2. Gegelaran Boddha atau Buddha dilaksanakan oleh para sulinggih yang beraliran Boddha,
  3. Gegelaran Bhujangga, dilaksanakan oleh para sulinggih yang beraliran Bhujangga Waisnawa.

Ketiga gegelaran ini sangat diperlukan dalam muput (menyelesaikan) upacara besar, seperti upacara yang berkategori tawur, baik Tawur Kesanga, Tawur Ngenteg Linggih, Tawur Panca Bali Krama, sampai Tawur Eka Dasa Rudra. Upacara dengan upacara tawur di Bali lazim disebut karya. Puja, stuti, stawa, stotra, dan doa-doa ketiga gegelaran ini akan bertemu, menyatu, dan saling melengkapi dalam setiap upacara dalam tingkatan karya. Dengan demikian, semua tujuan mengadakan upacara besar tersebut dapat dicapai dalam bahasa Bali lazim diistilahkan dengan “sidha karya, labdha karya, sidha sidhaning don”.

Tri sadhaka adalah tiga sadhaka atau pandita dengan keahlian masing-masing dalam tugasnya memelihara dunia melalui yoga.

  1. Pandita Siwa ahli dalam pemujaan terhadap alam swah loka, yaitu Bhatara Surya sebagai saksi dan di tri mandala pemujaannya dilakukan di utama mandala.
  2. Pandita Budha ahli dalam pemujaan terhadap Dewa Pitara di bhwah loka (akasa) dan di tri mandala pemujaannya dilakukan di madya mandala (paselang).
  3. Pandita Bhujangga ahli dalam pemujaan terhadap alam bhur loka (dunia maya) tempat para bhuta, dan di tri mandala pemujaannya dilakukan di nista mandala.

Sebutan tri sadhaka merupakan sebutan yang muncul jauh belakangan (zaman Klungkung) dimaksudkan untuk membedakan tiga orang pandita Hindu yang menganut paham (sekte) yang berbeda, yakni Saiwa, Bauddha, dan Waisnawa, tidak terbatas pada keturunan atau keluarga tertentu, seperti Ida Pedanda Siwa, Ida Pedanda Buddha, dan Ida Rsi Bhujangga. Munculnya istilah sarwa sadhaka baru ketika menjelang upacara Panca Wali Krama di Pura Agung Besakih untuk mengantisipasi penafsiran yang sempit tentang tri sadhaka dan melibatkan, mengikutsertakan pada pandita dari berbagai warga klan), baik di Bali maupun etnis luar Bali. Pandita dari warga mana pun yang mengikuti diksa sesuai dengan ajaran Siwa, ia adalah pandita Siwa (Saiwa atau Siwapaksa), demikian pula yang lainnya sebagai Pandita dari mazhab Buddha atau Waisnawa.

Untuk mencapai upacara diksa tidak boleh sembarangan dilakukan apalagi hanya berdasarkan keturunan belaka. Seseorang harus betul-betul mempersiapkan diri melalui proses aguron-guron dengan bimbingan nabe dan anggota timya, seperti guru waktra dan guru saksi. Ilmu pengetahuan tentang keagamaan dapat dipersiapkan sejak dini. Persiapan itu tidak saja menghafalkan puja stava yang akan dipakai mengantarkan upacara yadnya. Latihan-latihan menguasai diri inilah sesungguhnya tugas dan kewajiban yang paling berat bagi seorang calon diksita.

 

1. Pandita Siwa

Dalam rangkaian upacara tawur, Pedanda Siwa memuja Ayun Widhi memanifestasikan akasa, purusa, memuja Prajna Matra, yaitu Yajamana Murti. Pada saat ini beliau bergelar Hotri, Pasupati, Diksita Brahmana atau Brahman. Dalam rangkaian menjadikan dan mengembalikan dunia dengan segala isinya Bhatara Siwa melakukan pe-murti-an, sehingga pada saat itu beliau disebut Asta Murti Siwa (delapan pe-Murti-an Siwa). Dengan demikian, Pedanda Siwa sering disebut dengan pemuput yadnya atau yajamana atau wiku pengrajeg karya.

Seperti halnya disampaikan oleh seorang narasumber dari Pandita Siwa Paksa, yaitu Ida Pedanda Gede Rai Pidada bahwa seorang Pandita Siwa juga harus memahami dengan baik antara jnana kanda dan karma kanda, yaitu pemahaman yang baik dan benar antara puja mantra yang diucapkan dengan sarana upacara yang ada agar tidak terjadi kekacauan. Seorang Pandita Siwa selain bertugasnya ngelokapalasraya, juga harus bisa menjadi guruloka, yaitu bertugas untuk memberikan pencerahan kepada umatnya.
Dalam konteks melaksanakan dharma negara dan dharma agama, para pandita di Bali mengemban tugas mulia dan suci dalam kehidupan masyarakat.

Ada dua hal pokok yang menjadi tugas penting seorang pandita, yaitu bertugas “mahaywang rat” dan “ngayasang jagat” agar secara bersama-sama mencapai jagadhita, artinya yaitu kesejahteraan hidup lahir dan batin, selain tugas penting dan kewajiban ngelokapalasraya

 

2. Pandita Budha

Dang Hyang Astapaka, seorang pendeta besar bersemayam di kerajaan besar Majapahit di Kota Pasuruan, Jawa Timur. Di Jawa beliau juga bergelar Mpu Katrangan. Beliau merupakan putra Dang Hyang Angsoka atau keponakan Dang Hyang Nirartha. Pada sekitar tahun Saka 1530 Dang Hyang Astapaka mengikuti jejak pamannya datang ke Bali dan membuat pasraman di Banjar Ambengan, Peliatan, Ubud, Gianyar.

Karena ketaatannya kepada leluhur, beliau mengikuti jejak para leluhurnya menjalankan Dharma Kasogatan, Budha Mahayana Bajrayana. Beliau menikah dengan Ni Dyah Swabhawa, sepupunya dan melahirkan Brahmana Banjar. Brahmana Banjar kemudian beristrikan Brahmana Kemenuh (dari Banjar Buleleng).
Perkawinan ini menurunkan Pedanda Sakti Tangeb yang akhirnya menetap di Pura Taman Sari Budha Keling. Kemudian beliau menikahi tiga orang putri, yaitu putri Brahmana Kemenuh, putri Ngurah Jelantik, dan putri Satrya Beng. Tiap-tiap istrinya berputra dua orang yang semua akhirnya di-diksa menjadi Pedanda Budha. Dari sinilah diturunkan semua Pedanda Budha yang akhirnya menyebar ke seluruh Bali, Lombok, dan daerah lainnya.

Pedanda Budha memiliki tugas muput caru yang letaknya di bawah pada upacara-upacara yang tergolong besar. Beliau memanifestasikan pertiwi, pradana/prakerti, memuja Prana Matra, yaitu Candra Murti dan Surya Murti.

 

3. Pandita Bhujangga Waisnawa

Berdasarkan Babad Bhujangga Waisnawa dan keberadaannya, dapat dipahami bahwa warga Bhujangga Waisnawa adalah sebuah kelompok atau clan, yang memiliki hubungan darah yang sama atau juga disebut dengan kelompok satu leluhur (tunggal kawitan). Kelompok ini disebut warga Bhujangga Waisnawa. Dalam lontar Kerta Bhujangga 3a–3b disebutkan arti bhujangga sebagai berikut. Bu berarti bumi, pertiwi sejati. Ja berarti air suci yang sejati dan mahautama. Ngga artinya Naga suci, yang merupakan sarinya semua bunga, yang menghormati air suci yang utama (tirtha amertha), yang selalu dicari oleh banyak orang serta merupakan penyucian bagi orang-orang berkelakuan buruk dan baik (Sastra, 2008:152–153).

Di pihak lain bhujangga juga diartikan sebagai orang yang pandai, ahli sastra, kawan akrab pangeran (raja), pendeta, atau pertapa. Hal ini berarti bahwa seorang bhujangga adalah orang yang memiliki orang yang memiliki pengetahuan yang cukup luas sehingga dapat memberikan nasihat dan pertimbangan kepada setiap orang, bahkan nasihat atau pertimbangan tersebut diberikan kepada pangeran atau raja yang sedang memerintah.

Oleh sebab itu, pada zaman dahulu (zaman kerajaan), Ida Rsi Bhujangga merupakan Pendeta Kerajaan “Bhagawanta” sebagai penasihat raja.

Pendeta Bhujangga Waisnawa bertugas memuja Bhuta Matra, yaitu Pertiwi Murti, Jala Murti, Agni Murti, Wayu Murti, dan Akasa Murti. Pendeta ini amuja dengan gegelaran pujastawa-nya di bawah, upakara tawur diletakkan agar lebih dekat dengan objek pujaannya sebagai upakara bhuta yadnya. Beliau juga bertugas memanggil (ngatag), memberikan labaan, dan me-nyomya-kan para bhuta kala agar menjadi dewa. Tugas men-nyomya-kan bhuta kala berarti bahwa dalam proses amuja-nya beliau menggunakan lima macam instrumen suara yang dapat menghasilkan suara riuh, terdiri atas gantha, gantha uter, gantha orag, sungu, dan setipluk.


SUMBER
Ida Bagus Purwa Sidemen, S.Ag., M.Si

PERANGKAT PEMUJAAN SULINGGIH



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga