Hidup Selaras Dengan Alam


Hidup Selaras Dengan Alam Seperti hewan, dalam diri manusia juga terdapat “basic instinct” yaitu insting untuk makan, minum, tidur dan sebagainya.

Sebenarnya tidak ada yang salah untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karena hal-hal demikian merupakan pemenuhan kebutuhan fisik agar manusia dapat mempertahankan hidupnya.

Akan tetapi hewan memenuhi kebutuhan dasar secukupnya berdasar kebutuhan, sedangkan sebagian manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsunya penuh keserakahan dalam memenuhi kebutuhannya.

Berdasarkan kebutuhan, Lymbic mendorong mereka untuk makan dan minum secukupnya. Tidak lebih, tidak kurang. Dari film dokumenter tentang singa atau macan.Ternyata mereka hanya mencari mangsa dalam keadaan lapar. Kemudian, buruannya pun tidak dimakan sekaligus. la menyimpannya di dalam gua, dan memakannya sedikit demi sedikit sesuai dengan kebutuhannya…….

Manusia memiliki ego, sehingga ketika nafsunya selalu terpenuhi bisa muncul keangkuhan. Kemudian bila sudah terbiasa dengan pemenuhan nafsu tersebut bisa timbul keterikatan. Dan, setelah itu bisa meningkat menjadi keserakahan, tidak puas dengan yang ada dan selalu ingin menambah porsi pemenuhannya.

Di pihak lain, apabila nafsunya tidak terpenuhi maka manusia dapat mengalami frustrasi dan marah. Kemudian ketika melihat orang lain terpenuhi keinginannya sedang dirinya tidak maka muncullah rasa sirik atau iri.

Nafsu bisa saja nampak terkendalikan karena keterbatasan yang dimiliki seseorang, akan tetapi bila kondisi memungkinkan bisa saja nafsu tersebut bergerak tanpa kendali.

Kebutuhan insting itu kita penuhi sebatas kemampuan dan kekuatan kita. Bila tidak mampu, ya makan apa saja, minum apa saja, tidur di atas tikar saja. Tetapi, bila mampu, kita mencari makanan dan minuman yang lezat, ranjang yang empuk dan seterusnya.

Selama kita tidak mampu, tidak memiliki cukup sarana, nafsu kita “seolah” masih terkendali. Insting-insting hewani kita “terasa” terkendali. Padahal sama sekali tidak demikian.

Coba diberi kesempatan menjadi pemimpin, menjadi penguasa lalu lihat apa yang terjadi!? Insting-insting hewani di dalam diri, nafsu, semuanya bergejolak. Semuanya mengajukan tuntutan mereka masing-masing Ego selalu ingin memenuhi kebutuhan dirinya sendiri tanpa memperdulikan orang lain.

Pengotakan manusia berdasarkan suku, ras, agama, kepercayaan dan lain sebagainya lahir dari pikiran yang egosentris, pikiran yang belum dewasa. Masih sangat regional atau parsial, belum universal.

Pikiran seperti inilah yang telah mengacaukan negeri kita saat ini. Kita hidup dalam kepicikan pikiran kita, dalam kotak-kotak kecil pemikiran kita. Kita masih hidup dengan ego kita, keangkuhan dan arogansi kita, kebencian dan amarah kita, kelemahan dan kekerasan hati kita. Dengan jiwa yang masih kotor itu, kita memperoleh kekuasaan, kedudukan, dan harta, maka jelaslah kita menghalalkan segala macam cara.

Semangat Transpersonal Selaras dengan Alam. Inilah cara pandang seorang yogi, seorang Nishkaama Karma Yogi. Mudah, karena alami – selaras dengan hukum dan cara alam bekerja. Sebab itu, seorang yogi tidak membutuhkan upaya khusus untuk berkarya dengan semangat transpersonal. Ia tidak perlu melakukan sesuatu untuk itu. Ia hanya menyalaraskan dirinya dengan alam. Itu saja. Dan segala apa yang dikerjakannya menjadi alami, transpersonal.

Perhatikan apa yang hendak alam semesta sampaikan kepada kita.

Alam semesta ibarat kitab terbuka tentang karma yoga.

Sesungguhnya alam semesta adalah karma yogi. Ia mengajar dengan memberi contoh. Kita semua, tanpa kecuali, adalah bagian dari alam yang satu dan sama. Kita adalah bagian dari keberadaan yang tunggal. Sesungguhnya kita mewarisi segala sifat yang dimiliki alam.

Tanaman dan hewan bertindak berdasar naluri alam semesta. Egolah yang membuat manusia bertindak tidak selaras dengan alam semesta.

Leluhur kita memberi nasehat “Hasta Brata” kepada para pemimpin agar bertindak selaras dengan alam.

  1. Pertama sifat Matahari. Terang benderang memancarkan sinarnya tiada pernah berhenti. Segalanya diterangi, diberinya sinar cahaya tanpa pandang bulu. Inti pelajaran dari Matahari adalah: Berbagi dan Melayani tanpa Pilih-Kasih, dan Menjamin Kesejahteraan dan Keadilan Sosial bagi Semua.
  2. Kedua sifat Bulan. Sebagai planet pengiring matahari bulan bersinar dikala gelap malam tiba, memberikan cahaya mereka yang tengah berada dalam kegelapan atau penderitaan. Bulan adalah simbol pelayanan yang tidak pernah putus.
  3. Ketiga sifat Bintang. Nun jauh menghiasi langit dimalam hari, menjadi pemandu yang paling terpercaya. Para pelayar yang sesat di tengah laut sepenuhnya bergantung pada Bintang, khususnya “Polestar” untuk menentukan arah. Adakah kita bersifat seperti bintang? Apakah kita dapat dipercayai? Ini penting sekali. Jangankan seorang pemimpin, seorang manusia biasa pun semestinya memiliki tanggungjawab, dan dapat dipercayai.
  4. Keempat sifat Api. Bersifat panas membara, kalau disulut akan berkobar dan membakar apa saja tanpa pandang bulu, berani menindak siapapun yang bersalah tanpa pilih kasih dengan berpijak kepada kebenaran dan keadilan. Seorang pemimpin harus membakar egonya, arogansinya, keangkuhan dan kesombongannya; membakar rasa iri dan cemburu; membakar keserakahan dan keinginan untuk mencari keuntungan dengan segala cara; membakar segala sifat buruk di dalam diri; membakar pendapat-pendapat dan pandangan-pandangan yang sempit dan hanya menguntungkan diri saja.
  5. Kelima sifat Angin. Meskipun tidak tampak tetapi dapat dirasakan berhembus tanpa henti, merata keseluruh penjuru dan tempat. Lembut, tapi dahsyat… Angin dapat menembus apa saja. Tidak terlihat, namun berada dimana-mana. Hendaknya seorang pemimpin tidak membiarkan dirinya terpenjarakan oleh para penasehat dan penjilatnya. Hendaknya ia memiliki telinga dan mata sebanyak jumlah orang yang dipimpinnya. Hendaknya ia peka terhadap suka-duka setiap orang.
  6. Keenam sifat Bumi. Sentosa, suci, pemurah memberikan segala kebutuhan yang diperlukan makhluk yang hidup diatasnya. Menjadi tumpuan bagi hidup dan pertumbuhan benih dari seluruh makluk hidup. Bumi membiarkan dirinya dinjak-injak, digali dan tetap memberikan manfaat. Memberi dan Memaafkan – itulah pelajaran terpenting yang kita peroleh dari Bumi.
  7. Ketujuh sifat Air. Mengalir terus, sambil berbagi kehidupan dengan siapa saja yang dijumpai dalam perjalanan hidup – demikian intisari pelajaran yang kita dapatkan dari Air.
  8. Kedelapan sifat Samudera. Luas, tidak pernah menolak apapun yang datang memasukinya, menerima dan menjadi wadah apa saja. Mendaur-ulang segala macam Kotoran. Seorang pemimpin harus mempunyai hati yang luas dan jiwa yang dalam. Dia harus mempunyai kemampuan ability to recycle, reform and if need be to transform – kemampuan untuk mendaurulang, memperbaiki, dan bilamana diperlukan membentuk ulang.

Agama-agama kita pun awalnya mengajak kita untuk melakukan perjalanan yang sama. Veda merumuskan bahwa Tuhan meliputi Alam Semesta. Dhammapada, Avesta, Guru Granth, semua kitab suci mengatakan hal yang sama.

Bagi mereka yang masih terkendali oleh insting hewani tidak mampu melihat kebenaran secara holistic. Hanyalah orang-orang berpandangan holistik yang dapat mengantar kita pada kebenaran.

Berpandangan holistik, bagi saya, juga tidak berarti berhenti mengurusi negeri sendiri, dan membicarakan hal-hal yang bersifat internasional saja. Berpandangan holistik berarti peduli rumah sendiri, negeri sendiri, peduli lingkungan sekitar rumah, dunia, dan alam semesta! Pendidikan Holistik, bagi saya, mencakup perkembangan otak bagian kiri, bagian kanan, dan penghalusan Lymbic – reconditioning of our mind. Untuk itu, otak, sebagai alat yang digunakan mind, harus diolah pula. Syaraf-syaraf yang tegang harus ditenangkan, sehingga kita dapat berpikir secara jernih, dan tidak langsung terpicu untuk bereaksi. Kita bisa pause, berhenti sejenak untuk melakukan perenungan.

Hidup bukanlah urusan cari uang. Uang dibutuhkan untuk hidup nyaman, itu saja. Uang bukanlah tujuan hidup. Bila harta, kedudukan dan sebagainya menjadi tujuan, maka seharusnya kita membawa semua itu ke alam kubur. Ternyata kita tidak dapat membawanya. Apa yang kita bawa? Diri kita sendiri. Raga pun tertinggal di sini. Apa pula Diri itu? Mari kita mencari tahu bersama, menelusurinya.

Dari personal menuju transpersonal, dari individualistik menuju holistik itulah perjalanan spiritual manusia.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga