Jenis dan Fungsi Pura di Komplek Besakih (Luhuring Ambal-Ambal)


2. Fungsi Pura Batu Madeg

Pura Batu Madeg terletak di sisi utara dari Pura Penataran Agung Besakih. Pura Batu Madeg salah satu bagian dari Luhuring Ambal-Ambal Pura Besakih. Dilihat dari arel pura, Pura Batu Madeg termasuk pura luas dengan beragam pelinggih di dalamnya. Sesungguhnya pura ini adalah peninggalan dari jaman Megalitik, dan hal itu dikuatkan dengan ada batu besar di dalam pelinggih Meru. Wiana dalam urainnya menjelaskan sebagai berikut:

Pura Batu Madeg disebut dengan demikian, karena di pura tersebut terdapat sebuah batu yang tegak. Kata “batu madeg” dalam bahasa Bali artinya tegak berdiri. Batu Madeg dalam istilah ilmu arkheologinya disebut dengan “menhir” pada jaman kebudayaan megalithik. Batu Madeg sebagai simbol pemujaan Bethara Ida Ratu Sakti Watu Madeg manifestasi dari Ida Bethara Wisnu dalam sistem pemujaan Siwa Pasu Pata (Wiana,2009: 145).

Uraian Wiana di atas diperkuat lagi oleh penuturan Jero Mangku Darma (Wawancara, 8 September 2012), yang menyebutkan bahwa batu yang dikatakan Menhir tersebut untuk saat ini disineb atau ditempatkan di dalam Meru tumpang solas (sebelas). Dilihat dari sudut historis perkembangan paksa di Bali, yang ketika  itu berkembang Paksa Siwa Pasu Pata, batu tersebut disebut Hyang Bethara Ratu Sakti Watu Madeg, yaitu personifikasi dari dewa Wisnu. Setelah perkembangan waktu, Paksa Siwa ini berubah menjadi sistem pemujaan  Siwa Sidhanta, batu tersebut diletakan di dalam Meru.

Meru dengan jumlah tumpang solas atau sebelas inilah sebagai pelinggih utama dari pura Batu Madeg, sebagai linggih atau sthana Dewa Wisnu yang dalam Tri Murti dikenal sebagai dewa pemelihara alam semesta beserta isinya. Sebagaimana Harshanda Swami  (2007: 16), menyebutkan bahwa secara luas agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu kelompok Siwa yang memuja Siwa, kelompok Sakta yang memuja Sakti pendamping Siwa dan ketiga kelompok Vaisnava pemuja Wisnu. Namun teologi Hindu yang populer berakar pada kitab kuno,  menambahkan Devata penting lainnya, yaitu Brahma, dan menjadi Brahma (pencipta), Wisnu (pemelihara) dan Siwa (pelebur) yang kemudian lazim disebut Tri Murti. Oleh karena itu, pura Batu Madeg memiliki fungsi sebagai media umat Hindu untuk memuja Dewa Wisnu. Dalam Tri Murti Dewa Wisnu sebagai dewa pemelihara alam semesta beserta dengan isinya.

Menurut Monier, sebagaimana dikutip oleh Titib (2003: 218), menyebtkan bahwa manifestasi Tuhan adalah Dewa Wisnu atau Sang Hyang Wisnu, yaitu manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki fungsi untuk memelihara jagat raya dan segala isinya. Kata Wisnu sendiri berarti; pekerja, yang meresapi segalnya dan sejenisnya. Dewa Wisnu memelihara alam semesta beserta isinya didukung oleh sakti-Nya yang bernama Sri Laksmi. Dalam Veda, nama Dewa Wisnu sangat penting dipuja, dan Dewa wisnu sering disebut melangkahkan kaki tiga langakah (trivikramana), dan sering dipuji di dalam Veda. Dewa Wisnu sering disebut demikian, karena memasuki setiap objek dan makhluk hidup (Titib, 2003: 219).

Devi Bahagavata Purana menjelaskan keagungan Dewa Wisnu. Dinyatakan dalam kitab Purana tersebut, bahwa dunia sudah melewati 125 hari Brahma, dan alam

semesta akan mengalami kehancuran. Dalam kesunyian itu, Dewa Wisnu terbaring di atas permukaan air. Air sama maknanya dengan nara, maka Dewa Wisnu disebut dengan Narayana, dan dalam terlentang di atas airlah Dewa Wisnu menciptakan alam semesta beserta isinya dan memelihara alam semesta. Nama Wisnu memiliki kekuasaan untuk meresapi atau vyapana (Debroy, 2001: 23). Dalam Purana juga digambarkan dari pusar Dewa Wisnu munculah bunga teratai dan di atas bunga teratai ada Dewa Brahma yang dianugrahi oleh Dewa Wisnu untuk menciptakan alam semesta dengan isinya.

Tidak hanya demikian, keagungan Dewa Wisnu banyak diuraikan dalam kitab Purana dan Itihasa. Dewa Wisnu beberapa kali menjelma mengambil  wujud avatara untuk menyelamtkan umat manusia, ketika mahapralaya terjadi. Dalam Purana disebutkan ada 25 reinkarnasi dewa Wisnu, akan tetapi yang umum dipahami adalah sepeuluh reinkarnasi (Debroy,2001: 35). Bagimana Tuhan turun menyelamatkan umat manusia mengambil wujud avatara, dijelaskan dalam kitab Bhagavadgita berikut:

Yada yada hi dharmasya glanir bhavati bharata, Adbyuhtanam adharmasya tadatmanam srjamy aham.

(Bhagavadgita, IV. 7)

Terjemahan:

Manakala kebajikan (dharma) akan mengalami kemusnahan dan kebatilan (adharma) merajarela, wahai Bharata, maka Aku menjelmakan diri-Ku (Maswinara, 1999: 232).

Sloka dalam Bhagavadgita di atas secara implisit menyatakan bahwa Tuhan atau Dewa Wisnu turun ke dunia menjelma sebagai avatara untuk menyelamatkan umat manusia. Demikian agung dan mulia Dewa   Wisnu, sehingga sangat tepat digambarkan dalam Purana, bahwa dewa Wisnu adalah sebagai dewa pemelihara alam semesta beserta dengan isinya. Tidak hanya dalam kitab Purana, Dewa Wisnu beberapa kali disebutkan dalam kitab Rgveda sebagai Devata yang sangat berperanan penting (Maswinara, 2007: 33).

Mencermati penggambaran Dewa Wisnu yang digambarkan penuh kemuliaan dalam pustaka suci Veda, maka adalah wajib Dewa Wisnu dipuja oleh umat Hindu untuk mendapatkan anugrah kesejahteraan lahir dan batin. Oleh karena kemuliaan tersebut pula, Dewa Wisnu di sthanakan atau dilinggihkan di pura  Batu Madeg yang difungsikan untuk memuja kemulian Dewa Wisnu sebagai pemberi kesejahteraan dan kesuburan. Berekenaan dengan hal tersebut, di Pura Batu Madeg sendiri terdapat pelinggih Meru yang difungsikan untuk memuja Ida Ratu Manik Bungkah. Pelinggih Meru tumpang solas atau sebelas ini tepat berada paling selatan. Pelinggih ini ada korelasinya dengan fungsi Tuhan sebagai Dewa Wisnu untuk melindungi kesuburan tanah. Menurut Wiana (2009: 147), hanya air saja yang akan dapat menembus tanah, meresap dan akan memberikan kesuburan pada lahan pertanian.

Pemujaan Dewa Wisnu di Pura Batu Madeg, agar umat Hindu diingatkan untuk selalu menjaga lahan pertanian, dan tidak menutupnya, terlebih menjual kepada investor, karena lahan pertanian akan dapat menyerap air. Keberadaan Pura Batu Madeg dengan fungsi sebagai media memuja Dewa Wisnu, agar umat Hindu yang menghaturkan bhakti dapat merasakan pesan spiritual untuk berupaya melindungi daerah resapan air agar tanah menjadi subur dan tanaman menjadi menghasilkan. Karena Tuhan yang termanifestasikan   sebagai   Dewa   Wisnu   adalah untuk melindungi dan memelihara seleruh alam semesta dan isinya.

Sama seperti Pura Kiduling Kreteg, Pura Batu Madeg dapat pula difungsikan sebagai media pendidikan teologi dan filsafat. Pura Batu  Madeg sebagai media pendidikan teologi atau ilmu tentang Tuhan, dapat dipahami dari Devata yang dipuja, yakni Dewa Wisnu. Wisnu dalam konsep Tri Murti  adalah sebagai dewa pemelihara alam semesta berserta isinya. Dewa Wisnu sendiri adalah manifes dari Tuhan dengan fungsi sebagai pemelihara, dan itu dapat dilihat dari pustaka suci Veda yang menyebutkan beberapa kali Deva Wisnu turun menjelma sebagai avatara untuk memelihara dunia dan isinya. Pura Batu Madeg dapat pula difungsikan sebagai media pendidikan filsafat. Hal tersebut dapat dilihat dari bagunan fisik pura dan sarana prasarana ritual yang banyak mengandung nilai filsafati, dan perlu digali makna dibalik semua itu. Bangunan fisik Pura Batu Madeg banyak menggunakan simbol atau pralambang yang notabene umat Hindu tidak dapat mengetahaui, olehnya keberadaan Pura Batu Madeg dapat dijadikan media pengenalan simbol suci Hindu yang di dalamnya terkandung makna yang sangat tinggi.

Selain fungsi Pura Batu Madeg sebagai tempat suci untuk memuja Dewa Wisnu, Pura Batu Madeg juga memiliki fungsi sosial. Fungsi sosial ini terefleksi dari manifestasi Tuhan sebagai Dewa Wisnu sebagai pemberi kesejahteraan. Masyarakat sosial tidak akan mendapatkan kebahagaiaan dan kedamaian, jika masyrakat masih berada dalam garis kemiskinan. Bagaimana pun juga, kesajahteraan adalah mutlak bagi masyarakat, jika ingin hidup dalam kedamaian. Artinya pemujaan Dewa Wisnu merupakan suatu hal yang fundamental bagi umat Hindu, dalam konteks ini, yakni melakukan pemujaan di Pura Batu Madeg. Pemujaan tersebut hendaknya membangkitkan spirit dalam diri untuk meraih kesejahteraan bagi diri sendiri,  keluarga dan masyarakat.

Meraih kesejahteraan tersebut, melaui kerja adalah syarat mutlak. Pemujaan kepada Dewa Wisnu di Pura Batu Madeg diimbangi dengan spirit kerja maupun melakukan kewajiban masing-masing, maka kesejahteraan akan menjadi keniscayaan. Kekeliruan bagi umat Hindu, berkeinginan mendapatkan kesejahteraan bersama (lokasamgraha), tetapi melupakan prinsif kerja atau melupakan kewajiban masing-masing. Sebagaimana kitab Bhagavadgita memberikan rekomendasi sebagai berikut:

Niyatam kuru karma tvam karma jyayo hyakarmanah, Sarira-yatrapi ca te na prasidhyed akarmanah.

(Bhagavadgita, II.8)

Terjemahan:

Lakukanlah kegiatan kerja yang diperuntukkan bagimu, karena kegiatan kerja lebih baik dari tanpa kegiatan; dan memelihara kehidupan fisik sekalipun tidak dapat dilakukan tanpa kegiatan kerja (Maswinara, 1999: 210).

Merujuk pada sloka di atas, maka dengan jelas disebutkan bahwa kegiatan kerja adalah lebih baik daripada melakukan non tindakan atau kerja. Karena pada hakikatnya tubuh material ini dipelihara melalui kerja, demikian pula tubuh orang lain. Sehingga dengan demikian, untuk kesejahteraan bersama dalam ruang lingkup sosial, kerja adalah utama dan penting. Spirit tersebut hendaknya dibangun oleh umat, saat melakukan pemujaan Dewa Wisnu di Pura Batu Madeg.

Pura Batu Madeg memiliki fungsi sosial, tercermin dari sikap umat Hindu saat ngaturang ayah atau sevanam pada saat piodalan atau wali di Pura Batu Madeg. Piodalan di Pura Batu Madeg jatuh setiap enam bulan wuku, tepatnya setiap Soma Manis Wuku Tolu. Aci yang sangat penting dilakukan di Pura Batu Madeg, yaitu prosesi upacara Aci Penaung Bayu yang bertujuan untuk mengisi dan menguatkan tenaga hidup dari semua makhluk hidup. Prosesi ini dilakukan setiap Tilem Sasih Kesanga. Menurut Wiana (2009: 148), kata penaung berasal dari kata naung yang artinya dalam bahasa Bali mengisi atau menambahkan. Sedangkan bayu dalam bahasa Bali artinya tenaga, sehingga dengan demikian kata penaung bayu mengandung arti menambah tenaga.

Menurut penuturan Jero Mangku Batu Madeg (Wawancara, 8 september 2012), disebutkan bahwa umat sangat ramai untuk menghaturkan ayah atau sevanam.Terjadi keakraban antara umat yang berkumpul, rasa kekeluargaan dan kebersamaan untuk segera menyelesaikan aturan ayah umat sangat jelas terlihat. Oleh karenanya, setiap apapun pula-pali (perelangkapan) upakara dapat diselesaikan  tepat pada waktunya. Sikap bekerja sama, bersatu dan kebersamaan serta kekeluargaan merupakan cerminan dari nilai Veda, sebagaimana dinyatakan dalam Rgveda sebagai berikut:

Sam gacchadhvam sam vadhvam Sam vo manamsi janatam.

Deva bhagam yatha purve Samjanana upasate.

(Rgveda, X. 191. 2)

Terjemahan:

Wahai umat manusia, anda seharusnya berjalan bersama-sama, berbicara bersama-sama dan berpikir yang sama, seperti halnya para pendahulumu bersama-sama membagi tugas-tugas mereka, begitulah anda mestinya memakai hakmu (Titib, 1996: 348).

Mantram dalam Rgveda di atas adalah salah satu cerminan dari pentingnya sikap kebersamaan. Kebersamaan itu adalah visi dari nilai Veda itu sendiri. Oleh sebab itu, melalui prinsif ngayah di Pura  Batu Madeg umat Hindu dapat membangun rasa kebersamaan tersebut sebagai nutrisi untuk membangun kesadaran. Kesadaran yang mengarah pada sebuah pemahaman, bahwa semua makhluk adalah bersaudara. Oleh karena itu, Pura Batu Madeg merupakan pura yang memiliki fungsi sosial. Pura Batu Madeg selain memiliki fungsi seperti yang sudah diuraikan di atas, Pura Batu Madeg juga memiliki fungsi estetika atau keindahan, dan itu tercermin dari bagunan  fisik pura dan aktifitas seni budaya pada saat piodalan.

Diperhatikan secara seksama, Pura Batu Madeg memiliki nilai estetis yang sangat tinggi. Ragam pelinggih maupun bagunan bale yang berhiaskan dengan ragam ornamen khas Bali, semakin menambah megah dan indahnya Pura Batu Madeg. Keindahan pura tersebut tentunya terlahir dari tangan kreatif dan seni masyarakat Bali. Pendirian suatu pura tidak dapat dipisahkan dari penggunaan rancang bangun yang tentunya bersandarkan pada gaya arsitektur Bali. Hampir semuanya gaya atau stile tersebut tertuang dalam lontar Asta kosala-kosali, sehingga hampir bangunan pura di Bali   tidak   mengkesampingkan   sisi   keindahan,    selain memang menekankan pada konstruksi bangunan yang kuat.

Selain kesan indah yang nampak dari wujud fisik, pura Batu Madeg maupun pura lainnya di Bali memiliki fungsi estetika, yang mengejawantah dalam berbagai aktifitas seni, yaitu seni suara atau mekidung, mekakawin, mewirama dan yang lainnya. Seni gerak atau tari, yaitu tari rejang, baris, sanghyang dan tari lainnya, demikian pula seni musik, yaitu gong lelambatan, kebyar dan yang sejenisnya. Semua aktifitas tersebut dipentaskan pada saat piodalan atau wali di Pura Batu Madeg, sehingga memunculkan konsep satyam, sivam dan sundaram, yaitu kebenaran, kesucian dan keindahan. Pura sebagai tempat suci dapat di fungsikan pula sebagai tempat pelestarian seni dan budaya, dan itu merupakan refleksi dari sikap masayarakat Bali dalam mempertahankan nilai Veda. Melalui seni dan budaya akan menghadirkan kebajikan, menjauhkan kejahatan, seperti dalam mantram Veda berikut:

Visvani deva savitar, Duritani parasuva, Yad bhadran tan-na a suva. (Yajurveda, XXX. 30.3)

Terjemahan:

Ya Tuhan Yang Maha Esa yang  menciptakan semuanya, semoga Engkau menjauhkan kami dari semua kejahatan dan berkahilah kami dengan kebaikan yang bermanfaat bagi kami (Titib, 1996: 464).

Mantram dalam Yajurveda tersebut, menyiratkan makna mendalam agar umat Hindu berupaya sekuat mungkin mempertahankan nilai Veda melalui pelestarian seni dan budaya, sebab spirit semua itu adalah Veda. Berdasarkan pada hal itu pula, pura Batu Madeg memiliki fungsi estetika sebagai sebuah bentuk pelestarain seni dan budaya. Di samping itu, fungsi religius dan sosial pura

ini sangat penting dipahami oleh umat Hindu, sehingga melakukan pemujaan Dewa Wisnu di pura Batu Madeg mendapatkan kesan yang mendalam tentang bagaimana membangun sradha yang kuat terhadap nilai Veda yang terefleksi melaui pencitraan Devata sebagai dewa yang memberikan kemakmuran dan kesejahteraan.


Sumber

Dr. Drs. I Nyoman Linggih, M. Si

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Katalog Dalam Terbitan (KDT)



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Blog Terkait