Konsep Kepercayaan Agama Hindu Bali


Konsep Taksu dan Jengah

Konsep Taksu dan jengah ini, bertalian engan kenyataan setiap bangunan suci atau pemujaan keluarga di Bali terdapat salah satu bangunan di antaranya ada yang disebut “taksu”. Ini adalah semacam kharisma kekuatan dalam yang memancarkan keindahan dan kecerdasan. Para penari yang dapat mempesona penontonnya disebut metaksu. Demikian pula Topeng yang angker, dapat pula dikatakan metaksu. Masyarakat Bali telah mengenal dan memahami pentingnya taksu tersebut dalam bangunan suci, keluarga, maupun dalam berkesenian. Tetapi masyarakat Bali menyadari pula bahwa taksu itu baru bisa muncul, dari hasil kerja keras, di samping faktor-faktor yang bersifat niskala (spiritual), karena itu rasa jengah, dalam konteks budaya memiliki konotasi sebagai hal yang bersemangat. Taksu dan jengah harus saling mengisi, sehingga arahnya menjadi positif dalam menuju perubahan nilai-nilai budaya. 

Konsep  taksu  dan  jengah  ini  diiringi  pula  dengan  konsep  “Tri  Kaya Parisuda”, sebagai pelengkap dalam bertindak maupun dalam pergaulan sehari-hari bagi masyarakat Bali. Setiap orang Bali dikehendaki ber-manacika (berpikir yang baik), ber-wacika (berkata yang baik), dan ber-kayika (berbuat yang baik). Untuk dapat berpikir yang baik, sebagai pendorong perkataan yang baik dan perbuatan yang baik, melalui penyeimbangan ajaran-ajaran agama dalam etika pergaulan. Pelaksanaan ritual harus diseimbangkan dengan pemahaman dan pengamalan etika dan tatwa (filsafat).

Sistem Penanggalan

Dalam melakukan kegiatan upacara ritual keagamaan selalu mencari hari yang baik, bagi masyarakat Bali dikenal dengan sebutan pedewasaan. Pedewasaan adalah hari yang dianggap baik untuk melaksanakan upacara keagamaan, sedangkan pedewasaan dasarnya adalah dari wariga. Wariga berarti jalan menuju yang mulia atau kesempurnaan. Peristiwa-peristiwa penting seperti memulai pembuatan topeng atau barang kesenian lainnya yang akan disakralkan, pembuatan bangunan suci, rumah pawongan dan pertunjukan-pertunjukan tradisional yang terkait dengan agama dan adat selalu berpedoman pada dua sistem kalender yang sangat khas dan hanya digunakan oleh masyarakat Hindu di Bali.

Kedua sistem penanggalan itu adalah sistem Pawukon atau Saka dan penanggalan sistem Masehi. Sistem kalender Pawukon yang dalam satu siklus Pawukon ada 210 hari, terbagi menjadi 30 Wuku dan setiap Wuku berlangsung selama tujuh hari. Ketigapuluh Pawukon itu adalah ; Sintha, (2)Landep, (3) Ukir, (4)Kulantir, (5) Taulu, (6) Gumbreg, (7)Wariga, (8)Warigadean, (9)Julungwangi, (10)Sungsang, (11)Dungulan, (12)Kuningan, (13)Langkir, (14)Medangsia, (15)Pujut, (16)Pahang, (17)Krulut, (18)Merakih, (19)Tambir, (20)Medangkungan, (21)Matal, (22)Uye, (23)Menail, (24)Perangbakat, (25)Bala, (26)Ugu, (27)Wayang, (28)Kelawu, (29)Dukut, dan (30)

Pawukon ini berjumlah 30 dan setiap wuku berlaku selama 7 hari. Sistem penanggalan Pawukon tersebut jelas berasal dari masa Jawa Kuno di Jawa Timur, yang justru di Jawa Timur maupun di Jawa Tengah sendiri dewasa ini sudah tidak dikenal secara meluas, terutama oleh generasi muda. Menurut legenda Jawa, nama- nama dari wuku itu mengambil nama-nama dari raja Jawa yang bernama Prabu Watugunung dengan istrinya yang bernama Dewi Sinta yang sebenarnya adalah ibunya sendiri beserta 28 putra mereka.

Dalam Babad Tanah Jawi tentang wuku disebutkan riwayatnya demikian; konon ada seorang raja dari Kerajaan Gilingwesi bernama Prabu Watugunung yang jatuh cinta kepada seorang wanita cantik yang sebenarnya adalah ibunya sendiri. Kedua pasangan yang tidak mengetahui asal-usul mereka itu hidup bahagia sampai mempunyai anak 28 orang, yang diberi nama wuku nomor 2 sampai nomor 29 di atas.

Sedangkan Pewaran terdiri dari 10 (sepuluh) wara adalah sebagai berikut ;

  • Eka-wara adalah Luang
  • Dwi-wara adalah menga dan pepet
  • Tri-wara adalah Pasah, Beteng, Kajeng.
  • Catur-wara adalah Sri, Laba, Jaya, Menala.
  • Panca-wara adalah Umanis, Pahing, Pon, wage, Kliwon.
  • Sad-wara adalah Tungleh, Ariang, Urukung, Paniron,  Was, Mawulu.
  • Sapta-wara adalah Redite, Soma, Anggara, Budha, Waraspati, Sukra, Sanescara.
  • Astha-wara adalah Sri, Indra, Guru, Yama, Ludra, Brahma, Kala, Uma.
  • Sanga-wara adalah Dangu, Jangur, Gigis, Nohan, Ogan, (Erangan, Urungan, Tulus, Dadi.
  • Dasa-wara adalah Pandita, Pati, Suka, Duka, Sri, Manuh, Manusa, (Eraja, Dewa, Raksasa.

Sistem kalender Bali merupakan perpaduan antara perhitungan musim yang menggunakan gabungan antara perhitungan bulan (lunar system) dan perhitungan matahari (sonar system). Satu tahun Saka terdiri dari 12 bulan yaitu; (1) Kasa, (2)Karo, (3) Katiga, (4)Kapat, (5)Kalima, (6)Kaenam, (7)Kapitu, (8)Kawulu, (9)Kasanga, (10)Kadasa, (11)Jistha, (12)Sadha. Siklus bulan kalender Saka yang disebut Sasih itu sebenarnya berlangsung selama 29,5 hari, lebih sedikit dan tidak 30 hari. Maka setiap sembilan minggu, dua hari dijadikan satu hari yang dalam Sansekerta disebut ngunalatri yang berarti kekurangan satu malam, oleh karena itu menurut perhitungan kalender Saka satu tahunnya berlangsung selama 354 atau 355 hari. Maka upacara Nyepi untuk memperingati tahun Baru Saka, dalam perhitungan kalender Masehi atau tahun Gregorian selalu selisih 10-12 hari.

Perhitungan dalam menentukan rerahinan atau hari raya umat Hindu Dharma sangat rumit. Di samping satu minggu yang berlangsung selama tujuh hari yaitu; Radite, Soma, Budha, Waraspati, dan Saniscara. Mingguan yang berlangsung selama tujuh hari itu disebut sapta wara.

Di antara ke sepuluh mingguan yang penting selain Sapta-wara adalah Panca- wara, Tri-wara, dan bagi masyarakat Bali dianggap sakral. Pertemuan dua hari dari dua sistem mingguan di mana apabila saniscara (sapta-wara) bertemu dengan kliwon (panca-wara) disebut “Tumpek”.

Pertemuan hari-hari penting menjadi sangat sakral bila bertemu dengan wuku yang memiliki makna tersendiri. Misalnya “Tumpek Landep” yang jatuh pada wuku Landep, hari Saniscara kliwon. Pada hari tersebut masyarakat Hindu Dharma memberikan sesaji kepada senjata-senjata tajam seperti keris, pisau, dan alat-alat tajam lainnya. Hari tumpek ini selalu datangnya setiap enam kali selama satu siklus pawukon. Selanjutnya Tumpek yang kedua adalah Tumpek Uduh yang jatuh pada hari Sanescara Kliwon wuku Wariga.

Tumpek yang ketiga adalah Tumpek Kerulut yang merupakan hari penting untuk memberi sesaji kepada alat-alat instrumen musik, topeng-topeng, maupun pakaian atau busana tari. Tumpek keempat adalah Tumpek Kandang, pada hari itu masyarakat Hindu Dharma

di Bali memberikan sesaji kepada semua binatang ternak mereka. Tumpek kelima adalah Tumpek Wayang. Tumpek ini jatuh pada hari Saniscara Kliwon wuku Wayang. Pada hari ini masyarakat yang punya wayang memberikan sesaji kepada wayangnya masing-masing. Bagi anak yang lahir pada hari tumpek wayang, anak tersebut dianggap tidak beruntung oleh masyarakat. Untuk itu anak tersebut perlu diruwat dengan memberikan sesaji dan melukat, serta dimohonkan air tirta dari wayang agar semua letah dan mala yang dibawa dari lahir, juga menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit.

Purnama dan Tilem juga merupakan hari-hari penting dalam melakukan upacara keagamaan, karena hari Purnama dan Tilem itu bagi masyarakat penganut Hindu Dharma diyakini hari yang penuh berkah dan kesucian karena pada saat itu para Dewata turun ke bumi. Dalam Purnama dan Tilem ada yang bernama penanggal, prawani, dan panglong. Purnama –tilem berganti selama 15 hari sekali. Penanggalan adalah sehari setelah tilem sampai 12 hari, 13-14 (tiga welas-empat welas). Panglong adalah waktunya dari sehari sesudah purnama sampai dua belas hari. Prawani adalah sehari sebelum purnama dan tilem.

Untuk menentukan hari raya, terutama tahun baru Saka atau yang dikenal dengan hari Raya Nyepi, dipakai perhitungan sistem gabungan antara matahari dan bulan, sehingga harinya tetap jatuh pada sasih kasanga atau di sekitar bulan Maret setiap tahun pada saat bulan tilem.

Dalam wariga ada lima bagian waktu yang dipakai menentukan rerahinan atau hari-hari penting untuk dapat melakukan yadnya seperti Dewa yadnya,Resi yadnya, Pitra yadnya, Manusa yadnya, dan Bhuta yadnya. Adapun macam rerahinan tersebut adalah sebagai berikut (1) Rerahinan yang dilakukan setiap hari, (2) Rerahinan yang berdasarkan Tri-wara dengan Panca-wara, (3) Rerahinan yang berdasarkan Sapta-wara dengan Panca-wara, (4) Rerahinan yang berdasarkan Pawukon dan, (5) Rerahinan yang berdasarkan Pesasihan.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga