Konsep Kosmologi & Jejak Seni Rupa Bali Dari Masa Lampau


Seni Rupa Dari Ekspansi Majapahit dan Kehadiran Seni Lukis Wayang

Kemudian ketika Majapahit menundukkan Bali dan mendirikan pusat pemerintahan baru di Samprangan, kemudian pindah ke Gelgel dan terakhir dipindahkan lagi ke Klungkung. Dikenal istilah sangging, dan menjadi nama banjar tepatnya desa Kamasan Klungkung daerah yang terkenal dengan seni lukis wayang. Dalam perkembangannya istilah ini identik dengan profesi mengukir dan melukis terutama wayang.

Menimbang seni lukis wayang Bali pertama kali memang lahir dari Klungkung. Sebagai bagian dari kekuasaan Majapahit di Bali, kerajaan Klungkung mencapai masa keemasan pada saat pemerintahan Dalem Waturenggong (abad 14-15 masehi) dengan pusat kerajaan berada di Keraton Gelgel. Meskipun belum ada sumber yang secara jelas menyatakan, konon masa inilah seni lukis (gambar) wayang Kamasan mulai mendapat perhatian, sebagai penghias kebesaran Puri. Ada beberapa pendapat yang menjelaskan mengenai keberadaan seni lukis wayang Kamasan ini, menurut Ida Bagus Kautra “berdasarkan tema dan bentuk, lukisan wayang diperkirakan merupakan perkembangan dari seni gambar Prasi”. Sementara Wayan Putra (Kamasan) “seni lukis ini berasal dari perkembangan wayang kulit. Berdasarkan ciri-ciri teknik pembuatan, aturan-aturan bentuk, penampilan wajah (wanda) tak jauh berbeda dari wayang kulit”. Hal ini dapat dikaitkan dengan cerita pada Babad Dalem diceritakan bahwa di Gelgel Sri Dalam Semara Kepakisan pernah pergi ke Majapahit dan pulangnya membawa beberapa pusaka termasuk sekeropak wayang kulit (Suartha, 1993).

Kemungkinan besar wayang kulit itulah yang menjadi dasar pengembangan seni lukis wayang Kamasan. Fakta lain yang dapat menguatkan hal ini justru dapat dilihat dari sosok sangging dan undagi yang kemudian sebagai maestro seni lukis modern asal Ubud yaitu Gusti Nyoman Lempad. Berdasarkan penelitian terhadap proses berkarya Lempad, ditemukan ada sketsanya yang menjiplak wayang kulit pada kertas, wayang jiplakan tersebut kemudian berisi garis kotak-kotak. Masih dalam satu kertas, tepat di sampingnya terdapat bentuk wayang yang sama, namun dalam ukuran lebih kecil yang juga berisikan garis kotak-kotak. Dari fakta tersebut, dapat ditafsir Lempad belajar menggambarkan bentuk wayang dari wayang kulit, dan kemudian diolah lebih kecil untuk kepentingan lukisan di kertas dengan memakai skala.

Perkembangan seni lukis Kamasan berikutnya, berhubungan erat dengan kepindahan pusat kerajaan dari Gelgel ke Klungkung pada pertengahan abad ke 17 masehi. Keraton baru tersebut dibangun oleh Dewa Agung Jambe setelah berhasil melakukan serangan balik terhadap Gusti Agung Maruti yang melakukan kudeta terhadap raja Klungkung Dalem Di Made. Terdapat juga sebuah cerita perihal kehadiran tokoh sering disebut-sebut mengawali seni lukis wayang di Klungkung khususnya Kamasan. Dia adalah sosok sangging Modara/Mahodara 20 (Meduras), konon nama aslinya adalah Gede Mersada (1771-1800an masehi) berasal dari desa Kamasan. Menurut cerita, Ia dipanggil oleh raja Dewa Agung Jambe dan diberi mandat untuk menghias Puri. Dari tangannya kemudian lahir lukisan wayang yang dilukis pada kain (iderider, langse, wastra) serta di parba berbahan kayu, dengan memakai warna-warna dari alam. (ibid)

Karya Nang Ramis, Bima Semadi, 1678
Museum Puri Lukisan

Terlepas dari ketepatan narasi sejarah verbal tersebut, yang jelas dalam kenyataannya seni lukis wayang memang jejaknya dapat dilihat di Kamasan dan terutama Balai Kertagosa sebagai bagian dari peninggalan puri Klungkung. Dan keberadaan seni lukis wayang juga memperlihatkan jejak yang meluas diberbagai wilayah di Bali seperti Tabanan, Ubud (Gianyar), Karangasem, Bulelang dan Badung. Perluasan tersebut dapat ditengarai mengingat daerah-daerah tersebut terdapat kerajaan-kerajaan yang menjadi bagian dari kerajaan Klungkung, sebagai pusat kekuasaan tertinggi di Bali. Sehingga seni lukis wayang yang kemungkinan telah menghiasi kemegahan kerajaan Klungkung sejak masa Dalem Waturenggong, kemudian menyebar ke kerajaan-kerajaan lainnya di Bali melalui para sangging.

Kehadiran seni lukis wayang di Gianyar khususnya di Ubud dapat dilihat dari koleksi-koleksi museum seperti Puri Lukisan, di sana tersimpan beberapa lukisan lama yang diperkiran berangka tahun 1600an, konon dibuat oleh Nang Ngales memakai kertas ulantaga dan warna alami. Serta karya oleh Nang Ramis tentang Bima bertapa memakai material yang sama. Memang tidak dapat dipungkiri kehadiran seni wayang telah berkembang sebelumnya di Jawa Timur, penundukkan dan migrasi besar-besaran Majapahit antara abad 14-16 tentunya juga telah membawa kesenian itu ke Bali khsusnya Klungkung. Berdasarkan penjelajahan singkat sejarah terutama dari peninggalan di Kertagosa, kemungkinan seni lukis wayang Kamasan berkembang sejak tahun 1700an, dan dikenalnya istilah sangging bahkan dipakai sebagai nama daerah basis para senimannya. Istilah tersebut kemudian tidak hanya terbatas pada kegiatan menggambar atau mewarnai wayang saja tetapi juga kegiatan menatah (mengukir) wayang.

Menimbang dalam perkembangannya istilah sangging di Bali tidak hanya mengkhusus pada profesi gambar wayang saja, orang yang juga ahli mengukir bahkan bagi juru yang mengemban tugas mengasah gigi dalam upacara potong gigi di Bali juga disebut sangging. Sampai di sini, kehadiran profesi seniman seperti undagi dan sangging di Bali telah diwarisi sejak berabad-abad, sehingga muncul pertanyaan bagaimana sistim pembelajaran yang berlangsung pada keprofesian tersebut? Jika di Jawa dikenal ada kitab Silvasastra berasal dari India yang memuat tuntunan dan pedoman mendirikan dan menghias Candi, sementara di Bali tidak terdapat pedoman yang jelas perihal tuntunan melukis/menggambar wayang dan memahat.

Karya Nyoman Ngendon (Batuan)
Balinese Art, Painting & Drawing of Bali 1800-2010

Sehingga jamak dipahami bahwa seniman Bali jaman dulu belajar secara otodidak mengembangkan seni rupa Bali yang sepenuhnya berbasis pada praktik, dengan ketekunan dan keuletan dalam berkarya sehingga memiliki penguasaan teknik yang matang. Kehidupan religi yang tak pernah lepas dari aktivitas seni menjadikan mereka mempunyai ruang dan waktu untuk terus mengasah penguasaan skill. Ruang-ruang yang berbasis religi itulah kemudian mereka secara samar menyisipkan sistim pembelajaran yang terselubung pada generasi penerus mereka. Sehingga kelak dikemudian hari dapat melanjutkan dan mengembangkan penguasaan dan kreativitas mereka lebih jauh dan lebih imajinatif lagi.


Sumber:
Seni Rupa Bali Sebagai Aset Pusaka Budaya
I Ketut Budiana & I Wayan Seriyoga Parta
Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar 2015



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga