Mitologi Palinggih Multikultur di Pura Gambur Anglayang


Berbicara mengenai deskripsi historis dari Pura Gambur Anglayang, maka dapat dikatakan bahwa tidak ditemukan dokumen tertulis, yang mampu memberikan ulasan secara mendetail terkait dengan perjalanan sejarah terbangunnya Pura. Berdasarkan penuturan Penyarikan (sekretaris) Pura atas nama Nyoman Laken mengatakan bahwa, Pura Gambur Anglayang merupakan salah satu tempat suci yang memiliki usia tertua apabila dibandingan dengan beberapa Pura lain di sektoral Desa Kubutambahan. Secara lebih lanjut Laken juga mengatakan bahwa, Pura Gambur Anglayang telah berdiri sejak tahun 1260 atau sekitar abad ke 13.

Pendirian Pura ini terjadi ketika masa pemerintahan Raja Bhatara Parameswara. Namun, cikal bakal Palinggih pokok yang yang akhirnya menjadi Pura Gambur Anglayang, diperkirakan telah berdiri sejak abad ke 11. Sebab keberadaan Desa Kubutambahan yang merupakan bagian dari Desa Bulian atau Banyubuah, diperkirakan telah berdiri sejak abad 10 abad silam.
Kronologi historis dari beridirinya Pura Gambur Anglayang, memiliki relevansi erat dengan perkembangan kondisi ekonomi maritim yang menjadi aktivitas pokok dari kehidupan masyarakat di kawasan Pura. Posisi Pura Gambur Anglayang yang terletak tepat di kawasan pantai, dahulunya merupakan dermaga atau pelabuhan dagang yang dikenal dengan nama Kuta Banding. Pelabuhan dagang ini, menjadi wadah bagi pengembangan aktivitas ekonomi masyarakat maritim, yang bermukim dikawasan Pura. Bahkan dermaga ini juga mampu menjadi salah satu aspek pendukung, bagi terselenggaranya aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh para aktivis ekonomi dari berbagai belahan Pulau di Nusantara, begitu juga disertai dengan latar belakang perbedaan ras, suku dan agama. Kuatnya hubungan perdagangan yang dijalin oleh para pelaku ekonomi dari berbagai pulau, suku ras dan agama, menyebabkan pelabuhan Kuta Banding sempat dipandang sebagai sentralisme aktivitas perekomian di bumi Nusantara. 

Kuatnya hubungan perdagangan yang terjadi di dermaga tersebut, juga semakin mendorong terwujudnya perkembangan kerjasama ekonomi. Jalinan kerjasama perdagangan yang sebelumnya hanya berlangsung antara aktitivis ekonomi Nusantara, kemudian mengalami perkembangan dengan melakukan kerjasama dengan berbagai pengusaha dan aktivis dagang yang berasal dari luar negeri. Sehingga aktivitas transaksi perekonomian terjadi dipelabuhan Kuta Banding, tidak saja dipenuhi oleh masyarakat lokal dan Nusantara. Namun, juga diikuti oleh beberapa pedagang yang berasal dari negeri China, Melayu, India, Mekah dan beberapa negara lainnya.

Lancarnya kondisi perdagangan yang terjadi, ditunjukkan oleh adanya rombongan perahu dagang yang datang secara silih berganti, dengan mambawa berbagai komoditas serta prodak yang siap dipasarkan. Suatu ketika, terdapat sebuah Bahtra (Perahu) yang bersandar di pelabuhan Kuta Banding. Tujuan utama dari kedatngan perahu dagang(Bahtra) tersebut adalah untuk mencari bahan-bahan baku yang akan dijadikan sebagai produk penjualan, termasuk mencari beberapa kebutuhan pokok seperti halnya konsumsi makanan, air dan yang sejenisnya. Perahu tersebut, memuat beberapa penumpang (awak kapal) dengan bermacam etnis (suku). Dikatakan pula bahwa, para penumpang yang menjadi awak kapal perahu berasal dari suku Cina, suku Melayu, suku Sunda, dan ada pula di antara mereka yang menganut agama Islam.

Setelah mendapatkan hasil pangan, barang-barang yang akan dijadikan sebagai prodak penjualan, begitu juga bahan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan pokok, kemudian prahu serta awak kapal bersiaga untuk kembali melanjutkan perjalanan perdagangannya. Namun, ketika hendak beranjak meninggalan pelabuhan Kuta Banding, terjadi sebuah musibah yang seketika menggemparkan seluruh awak kapal. Perahu yang ditumpangi oleh awak kapal multi etnis tersebut, tiba-tiba mengalami kebocoran dan tidak dapat oprasikan. Sehingga hal tersebut menyebabkan para awak kapal panik, serta tidak dapat melanjutkan perjalanan atau misi perdagangan berikutnya.

Berbagai strategi telah diupayakan oleh para nahkoda begitu juga awak kapal, untuk memperbaiki kebocoran perahu yang terjadi. Secara bergilirian, para awak kapal mencoba untuk mengerahkan seluruh kemampuan serta pengetahuan teknis tentang transportasi pelayaran dimiliki. Namun, usaha tersebut tidak membuahkan hasil apapun. Selanjutnya, para awak kapal mencoba untuk meminta bantuan pada masyarakat yang bermukim serta berdagang ditepi dermaga. Namun, pertolongan yang diberikan oleh msyarakatpun tidak dapat menutupi kebocoran pada badan perahu tersebut. Kebocoran yang terjadi pada perahu tetap tidak dapat diperbaiki, yang akhirnya menyebaban seluruh air laut masuk kedalam lambung perahu.

Kemudian muncul inisiatif dari masyarakat sekitar yang memberi pertolongan, untuk mengajak seluruh anak buah kapal agar secara bersama memohon keselamatan pada sebuah Palinggih yang terdapat di wilayah dermaga. Tanpa menunggu lama, akhirnya seluruh awak kapal begitu juga beberapa masyarakat sekitar, secara bersama melakukan persembahyangan seraya memohon pertolongan pada Tuhan yang berstana pada Palinggih di pasisir dermaga Kuta Banding tersebut. Meskipun dengan latar belakang keyakinan beragam serta notabnene memeluk faham non Hindu, namun para awak kapal tetap melakukan persembahyangan dengan khusyuk padaPalinggih tersebut.

Akhirnya seluruh masyarakat lokal dan para awak kapal, melakukan persembahyangan secara bersama sesuai dengan faham agamanya masing-masing. Secara bersama, mereka selalu memohon kekuatan, bantuan serta izin kepada Tuhan atau kekuatan semesta yang berstana di Palinggih tersebut, agar peristiwa kebocoran yang terjadi pada kapal dapat segera teratasi, begitu juga dapat melanjutkan misi perjalanan ekonomi dengan selamat.

Sembari memohon kekuatan dan pertolongan, masyarakat dan para awak kapalpun juga sempat menyampaikan sebuah janji (Kaul atau Sesangi), kepada manisfestasi Tuhan yang dipercayai bersthana di Palinggih tersebut. Pernyataan Kaul atauSesangi itu sendiri disampaikan oleh awak kapal, yang sedang dilanda keresahan akibat dari adanya tragedi kebocoran badan kapal yang dialami. Isi dari janji (Kaul atau Sesangi) tersebut menyatakan bahwa, apabila kebocoran kapal dapat diatasi dengan segera, begitu juga misi perjalanan ekonomi maupun usaha selanjutnya dapat berjalan dengan selamat dan sukses, maka mereka (para awak kapal yang multi etinik) sanggup berikrar atau sudi mengakui, percaya, dan yakin serta ikut mengagungkan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi sebagai Dewa Siwa, yang dipercaya bersthana (Malinggih) di Palinggih tersebut.


Sumber
Palinggih Multikultur di di Pura Gambur Anglayang

I Made Adi Surya Pradnya



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga