Pan Balang Tamak, Pesan Moral dari Seorang berpemikiran Cerdik dan Licik


Pan Balang Tamak mengelabuhi Krama Banjar Adat

Suatu hari, di Banjar akan diadakan kerja bakti karena Banjar akan dipakai untuk tempat upacara adat. Kelian mengumumkan di hadapan khalayak ramai.

“Esok, tepatnya saat ayam sudah turun dari kandangnya (jam 6 pagi), diharapkan para kepala keluarga hadir ke Bale Banjar untuk kerja bakti. Silakan bawa peralatan sendiri-sendiri. Jika ada yang mangkir atau tidak membawa peralatan, akan dikenai sangsi adat berupa denda sebesar 5 gobang (1/2 rupiah)” demikian Kelian berkata.

Pan Balang Tamak yang hadir di antara khalayak ramai mencari akal supaya tidak mendapat denda karena ia tidak mempunyai peralatan yang disebutkan. Ide cerdik pun terlintas di dalam benaknya. Teringatlah dia saat ini sedang memiliki ayam yang sedang mengeram telornya, dan semua orang sudah mengetahui bahwa ayam kampung yang sedang mengeram telornya, tidak menentu waktunya untuk turun dari kandangnya. Maka bergegaslah dia pulang untuk memeriksa kembali ayamnya dan tidak lupa dia memberi sedikit makanan kepada ayam tersebut, dengan maksud agar ayam tersebut turunnya agak siang.

Keesokan harinya, saat ayam sudah keluar dari kandangnya, semua orang berkumpul ke Banjar, maka dimulailah kerja bakti-gotong royong, hingga hari beranjak siang. Disaat kegiatan menjelang usai, datanglah Pan Balang Tamak dengan santainya. Oleh Jro Kelian Banjar, maka ditegurlah Pan Balang Tamak:

“Kenapa kamu baru datang, kegiatan krama banjar sudah hampir selesai” ujar Jro Kelian.

“Ampure (maaf) Ida Dane sareng sami (tuan-tuan sekalian), bukankah Jro Kelian kemarin mengumumkan agar datang berkumpul di balai Banjar tepatnya saat ayam sudah turun dari kandangnya. Nah, ayam tyang (saya) baru saja turun, dari pagi saya menunggu ayam saya untuk turun dari kandangnya, ini baru turun saya sudah bergegas ke banjar, jadi salahkah saya?” jawab Pan Balang Tamak.

“tidak mungkin… ayam dirumah saya belum terlihat matahari sudah turun”, gerutu krama Banjar.

Pan Balang Tamak menjawab, “itu ayam Jro krama banjar, ayam saya baru saja turun, kalau tidak percaya, mari singgah ke saya dan lihat sendiri ayam saya itu”.

Kelian dan krama banjar pun bergegas menuju rumah Pan Balang Tamak, dengan maksud ingin menghukum dendanya. tetapi setelah sampai di rumah Pan Balang Tamak, krama banjar menyaksikan sendiri ayam-ayam Pan Balang Tamak baru turun dari kandangnya, yang sedang diberi makan oleh istrinya. Setelah diselidiki oleh krama banjar, ternyata ayam-ayam Balang Tamak sedang mengeram telornya. Maka dengan wajah kecewa karena tidak bisa mendendanya, dan bubarlah kerumunan krama banjar.

Berburu dengan Warga Desa

Pada suatu waktu Prebekel Desa mengundang rakyatnya untuk parum (rapat) di Wantilan (Balai) desa, semua penduduk hadir tidak terkecuali Pan Balang Tamak.

“Besok pagi Raja ingin berburu ke hutan bersama kita sekalian. Besok pagi saat matahari terbit, seluruh lelaki dewasa di desa ini sudah berangkat ke hutan. jangan lupa masing-masing membawa anjing pemburu”

Seluruh warga menyetujuinya dengan suara briuk siu (serempak). Prebekel Desa yakin bahwa dengan kegiatan ini Pan Balang Tamak bisa dihukum (didenda), karena Pan Balang Tamak tidak punya anjing pemburu.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali seluruh warga desa berkumpul di wantilan desa dan bergegas berangkat kehutan, kecuali Pan Balang Tamak saja yang belum hadir.

Lewat tengah hari sebagian warga desa sudah kembali dari hutan. pada saat itulah Pan Balang Tamak baru berangkat ke hutan sambil nyangkil (menggendong) seekor cicing kacang (anjing kampung di bali) bengil (kurus). Pan Balang Tamak berpapasan dengan sebagian warga yang mulai pulang itu, dan dia pun meneruskan perjalanan tanpa harus malu kepada yang lainnya. Pan Balang Tamak begeming!

Setelah sampai di hutan, Pan Balang Tamak mencampakkan cicing kacang bengil-nya di rumpun bambu berduri. tentu saja anjing kurus itu meraung kesakitan.

“Hai lihatlah..” seru Pan Balang Tamak kepada warga desa yang bertahan di hutan.
“Kuluk (anjing) saya berusaha menyergap seekor celeng alas (babi hutan) yang sangat besar. Karena kalah besar, kuluk saya terpental karena diseruduk celeng alas”

Warga lainnya hanya terbengong-bengong menyaksikan ulah Pan Balang Tamak itu. Namun satu hal, warga yang lain dan perangkat desa tidak mampu membantahnya. Yang tersisa rasa dongkol, hanya sampai disitu.

Pan Balang Tamak tidak ikut Kegiatan

Pada suatu ketika, kesinoman banjar (orang yang bertugas membantu kelian), menyampaikan pengumuman ke rumah-rumah warga banjar (door to door), bahwa:

“Pada hari minggu (redite) disaat matahari baru terbit, krama banjar berumpul di wantilan (balai panggung tempat menyelenggarakan hiburan atau kegiatan desa lainnya) yang letaknya di depan pura desa, untuk melakukan bersih-bersih dalam rangka persiapan piodalan, dengan membawa arit (sabit). Bagi krama yang tidak hadir dikenakan denda 10 gobang (1 rupiah)”

Mendengar pengumuman tersebut, kembali Pan Balang Tamak berpikir, bagaimana caranya mangkir dari kegiatan tersebut, dikarenakan dia tidak memiliki arit. Setelah berpikir sejenak, maka ide liciknya terlintas setelah melihat anjingnya berak di belakang rumahnya, teringatlah dia kalau istrinya sedang membuat jaje abug iwel (jajan khas bali berwarna hitam, yang terbuat dari ketan hitam atau istilah balinya Injin).




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Blog Terkait


Lihat Detail Di Cerita Bali