Panca Bali Krama di Pura Agung Besakih


Dasar Filosofis Panca Bali Krama

Pelaksanaan Karya Agung Panca Balikrama di Bancingah Agung Pura Besakih memiliki dasar secara filosofis. Filosofis berati secara filsafat (kb) berati pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat yang ada , sebab, asal dan hukumnya. Hakikat berarti iti sari atau dasar ; kenyataan yang sebenarnya; sungguh-sungguh (Yuniar : 195, 229). Panca Balikrama secara filosofis akan dikaji dari hakikatnya, sebab dan asal hukumnya , mengunakan sumber dari ajaran agama Hindu.

Dalam ajaran agama Hindu sebagaimana yang telah dimaklumi memiliki “ Lima Keyakinan Dasar” atau Panca Srada yang didalam pengamalannya diwujudkan dalam Tiga Kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa ( Filsafat Agama), dan Upakara Yadnya ( Upacara-upacara Keagamaan ) dan Sesana (Kesusilaan Agama). Ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahpisahkan antara satu dengan yang lain, saling mengisi saling melengkapi. ( Tim, 1978)

Dalam kaitan dengan upakara dan upacara yadnya terbagi kedalam lima yang disebut dengan Panca Yadnya yaitu, Pertama Dewa Yadnya, Kedua Pitra Yadnya, Ketiga Rsi Yadnya, Keempat Manusa Yadnya dan Kelima Bhuta Yadnya.

Pada hakikatnya Panca Balikrama sesungguhnya adalah sebuah yadnya yaitu sebagai suatu persembahan atau kurban yang tergolong kedalam bhuta yadnya. Bhuta yadnya adalah suatu korban suci untuk bhuta , merupakan suatu kewajiban untuk dilaksanakan oleh umat. Butha yadnya pada hakekatnya adalah yadnya untuk alam semesta (bhuwana Agung ) dengan unsur unsurnya yang disebut dengan Panca Mahabhuta terdiri dari Pretiwi, Apah, Teja, Bayu, Akasa. Unsur ini yang membentuk Bhuwana agung ( Alam Semesta ) dan Bhuwana alit (alam didalam diri Manusia) diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kedua alam ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan , dimana jika kondisi bhuwana agung tidak harmonis berpengaruh pada kehidupan manusia . Demikian juga jika perilaku manusia tidak sesuai dengan kodratnya maka akan berpengaruh pada keberadaan alam berserta unsur unsurnya. Berdasarkan atas ajaran Agama Hindu tersebut, maka umat Hindu punya kewajiban untuk menjaga keberadaan bhuwana agung , dengan menyelenggarakan upacara dan upakara kepada bhuta, disamping upacara yadnya lainnya.

Dalam ajaran agama Hindu dinyatakan bahwa, semua mahluk dan isi alam ini pada hakikatnya ikut serta menentukan kehidupan manusia, dan berada dalam satu sumber yakni sama sama bersumber pada Paramatma (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) (Tim, 1978:6). Demikian juga semua makluk dan isi alam ini dengan unsur pokoknya bersumber dari Panca Mahabhuta. Ketika unsur unsur Panca Mahabhuta tidak harmonis, maka akan berpengaruh pada kehidupan manusia dan alam beserta isinya. Ketidak harmonisan unsur tersebut disebabkan oleh ulah manusia dan mahluk –mahluk yang menyebabkan kesucian alam ternodai., sehingga tidak dapat memberi faeadah yang baik bagi kehidupan manusia, dan hal ini justru dapat membahayakan. Akibat yang dapat dirasakan adalah kedudukan unsur unsur itu tidak sebagaimana mestinya, seperti panas , dingin, perubahan cuaca dan lainya tidak pada kondisi semestinya. Kondisi ini tercermin adanya kejadian- kajadian alam muncul berbagai bencana alam seperti gempa, sunami, wabah penyakit, kemeranan (wabah penyakit pada hewan dan tumbuh tumbuhan), huru hara, yang dapat mengganggu ketentraman umat . Jika semua itu terjadi maka tidak ada rasa kedamaian, tidak ada keharmonisan, semua bertentangan, berlawanan, dan bermusuhan. Alam diganggu manusia, manusia diganggu oleh alam dengan isinya.

Untuk menanggulangi hal tersebut , dilakukan pemulihan kembali kondisi keseimbangan alam dengan unsur- unsur Panca Mahabhuta , melalui penyuciaan alam ( bhuwana agung) dan bhuwana alit berupa dengan melakukan upacara tawur.

Agama Hindu mengajarkan agar diselengarakan Sangaskara atau upacara upacara yadnya dalam bentuk tawur secara berkala yaitu :

Pertama, Tawur Kesanga setiap tahun sekali pada tilem Cetra Kedua, Tawur Panca Balikrama setiap sepuluh tahun sekali Ketiga Tawur Eka Dasarudra setiap seratus tahun sekali. Keempat Penyejeg Jagat atau Merebu Bumi setiap seribu tahun sekali.

Untuk umat Hindu di Bali , upacara tawur, pertama dilaksanakan disetiap Desa diseluruh Bali, sedangkan kedua hingga keempat dilaksanakan di Pura Besakih. Berdasarkan atas rujukan tersebut, pada hakikatnya pelaksanaan Panca Balikrama dimaknai sebagai penyucian bhuwana agung dan bhuwana alit, ketika terjadi ketidak harmonisan alam ini, melalui pelaksanaan upacara Huti (caru), dengan tingkatan yang besar disebut dengan Tawur. Sebagai upacara kurban, Panca Balikrama memiliki hakikat sebagai persembahan, penyucian makrokosmos dan mikrokosmos dengan membangun hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi melalui upacara, dengan perantara para pendeta melalui persembahan kurban binatang, tumbuh-tumbuhan hasil bumi, sehingga para dewa memberi kemurahan hati, tidak mengutuk, sehingga keteraturan terjamin. Hal ini dapat diungkap dari beberapa upacara kurban menurut Hinduisme seperti dikatakan dibawah ini.

Dalam upacara kurban dalam Hinduisme, seperti disampaikan Mariasusai Dhavamony (1973) dalam bukunya Phenomenology of Religion (Terjemahan Kelompok studi agama Driyarkara,1995 ) bahwa tindakan religius pada hakikatnya adalah pengorbanan yang merupakan suatu tindakan penghormatan kepada dewa-dewa dalam peribadatan. Upacara kurban berupa persembahan hadiah dengan maksud untuk memproleh keuntungan –keuntungan dari Tuhan, seperti kemakmuran, kesehatan,panjang umur, ternak, keturunan laki-laki dan lainnya. Upacara kurban bukan saja persembahan , tetapi juga suatu penyucian, suatu perpindahan dari profan ke yang kudus (yang Suci atau sakral).

Melalui kurban dibangun komunikasi antara yang kudus dengan yang profan, Iman adalah pengantara dewa-dewa dan pelaksana pengurbanan. Sisa dari persembahan diambil dan dimakan oleh yang melakukan pengorbanan, ini mencerminkan sebuah tindakan religius yang dimaknai, mengambil bagian dari kehidupan para dewa, makanan itu bersifat ilahi, sebagaimana dikatakan berulang- ulang dalam kitab Brahmana. Susu, mentega, gandum dan beras merupakan persembahan biasa. Dalam upacara kurban binatang biasanya dipersembahkan kambing, namun bisa juga yang lain. Soma adalah tanaman yang memabukan, jika dipersembahkan dan sisa dimakan diyakini tidak bisa mati, berati turut mengambil bagian dalam kodrat ilahi para dewa.

Dalam upacara domestik dan umum biasa dipesembahkan hasil bumi sederhana, bunga-bunga, dupa sayur –mayur, dan buah buahan. Rangkaian upacara dilakukan dengan menyalakan api, melemparkan beberapa butir beras yang direndam dalam minyak mentehga sambil mengucakan mantra-mantra. Upacara kurban Kuda (ashvamedha) adalah bentuk pengorbanan yang paling meriah dan utama, dipersembahkan kepada Sang Dewa pencipta yaitu Prajapati. Upacara ini dimaksudkan sebagai suatu penghormatan kepada para dewa-dewa yang funsinya untuk membangun komunikasi dengan dunia ilahi, yang dimintai tolong untuk menjamin kesejatraan umum atau beberapa manfaat khusus seperti, memohon kemurahan hati para dewa , untuk tidak mengutuk, berhenti melakukan hal yang merugikan . Hakikat upacara kurban dijelaskan sebagai penyerahan diri sepenuh hati dari seorang mahluk kepada dewa , disertai iman dan kepercayaan akan kekuasaan ilahi. Secara lebih dalam arti dan hakikat upacara kurban sebagai sistem rumit, hubungan dunia manusia sebagai mikrokosmos, dengan dunia para dewa sebagai penerima kurban sebagai makrokosmos, yang diyakini oleh para iman akan menghasilkan suatu keteraturan kosmis, menjamin berlangsungnya keteraturan fungsi kosmis dan upacara – upacara religius , karena keteraturan manusia, etika dan tingkah laku sosial bergantung pada tata kosmis. (Dhavamony,: 209-210 ).


Sumber
Dr. W. Kandi Wijaya

Panca Bali Krama Besakih



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga