Perjuangan Masyarakat Bali Menjadi Agama Hindu Dharma


Pasca-Pengakuan Agama Hindu oleh KARI

Lahirnya Parisada

Pada 7 Oktober 1958 delegasi ini dikirim oleh Pemerintah Daerah Bali untuk memperjuangkan pengakuan agama Hindu oleh KARI tiba di Bali. Mereka memberikan keterangan tentang hasil perjuangannya di Balai Masyarakat Denpasar. Dalam pertemuan itu, Kepala Daerah Bali, Anak Agung Bagus Sutedja menunjuk sebuah panitia yang bertugas mempersiapkan pembentukan sebuah dewan agama Hindu Bali. Dewan agama Hindu Bali direncanakan akan bertugas menampung dan merumuskan segala sesuatu mengenai keagamaan Hindu Bali yang akan dijadikan sebagai bahan-bahan atau saran- saran dalam menjalankan bagian agama Hindu Bali dalam KARI. Dewan ini juga akan membantu serta mendampingi pemerintah dan pejabat-pejabat agama Hindu Bali dalam KARI.

Sidang pesamuhan agung peresmian Hindu Bali Sabha dipimpin oleh ketua panitia persiapan pembentukan dewan agama Hindu Bali, Ida Bagus Mantra. Sidang ini menghasilkan sebuah keputusan, mendirikan suatu dewan (majelis) yang diberi nama Parisada Dharma Hindu Bali.

Pergantian nama Hindu Bali Sabha menjadi Parisada Dharma Hindu Bali merupakan suatu fenomena yang menandakan terjadinya pergeseran dari semangat demokratis ke eksklusivisme. Sabha artinya pertemuan, masyarakat terpandang, atau ruang dewan, sehingga Bali Hindu Sabha sama artinya dengan Dewan Hindu Bali; sedangkan Parisada terdiri dari kata pari dan sada. Pari artinya perihal dan sada artinya selalu, setiap waktu, terus menerus atau ajeg (Zoetmoelder dan Robson, 2000: 917). Dengan demikian, Parisada Dharma Hindu Bali bisa diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan keabadian agama Hindu Bali.

Pergantian nama dari Bali Hindu Sabha menjadi Parisada Dharma Hindu Bali bisa dimaknai sebagai suatu bentuk “pertarungan” antara kelompok intelektual organik konservatif melawan yang progresif, antara kelompok yang menganut egaliterisme dengan eksklusivisme. Pada mulanya relasi-relasi kekuasaan ini tidak tampak ke permukaan, karena biarpun berubah nama, namun bentuknya tetap sama. Baik dalam nama lama maupun baru, lembaga itu sama-sama berbentuk sebuah majelis, dewan atau rapat yang mengemban tugas, bukan hanya mempertahankan, tetapi juga mengembangkan agama Hindu Bali. Demikian juga sifatnya, sama-sama mengusung keagamaan Hindu Bali (Anandakusuma, 1966:103).

Politik Kebudayaan

Pada tanggal 17–23 November 1961. PHDI menyelenggarakan pesamuhan agung bertema Dharma Açrama Para Sulinggih dan Para Walaka Hindu Bali di Campuan Ubud. Kongres ini melahirkan suatu keputusan yang disebut Piagem Campuan 1961.

Dalam piagem itu disebutkan ada dua kewajiban utama umat Hindu Bali yaitu dharma agama dan dharma negara. Dharma agama terdiri dari sebelas kewajiban, yaitu, kitab-kitab acuan dalam bertindak, pengadaan asrama pengadyayan atau perguruan tinggi keagamaan, menetapkan segala syarat pendidikan dalam perguruan tinggi keagamaan setelah memperoleh pertimbangan dari Dinas Agama Hindu Bali, mendirikan padmasana dalam setiap pura kahyangan tiga, menetapkan dasar-dasar pengalantaka yang dinyatakan dalam kalender, menetapkan pelaksanaan atiwa-tiwa, tidak membeda- bedakan upacara kematian berdasarkan penyebabnya, cuntaka hanya berlangsung selama tiga hari sesudah upacara pembakaran mayat, pergantian tahun Çaka pada tanggal satu bulan caitra, memperkokoh agama Hindu Bali dengan cara melaksanakan Ciwa Ratri pada prawaning tilem sasih pada bulan ketujuh dan sedapat mungkin dilakukan di kahyangan-kahyangan atau di pura-pura, dan terakhir, para sulinggih dan walaka diharapkan setiap saat memberikan penerangan hasil pesamuhan agung ini dan melakukan dharma sasana (Anandakusuma, 1966:16-17).

Sementara, dalam Dharma Negara Piagem 1961, disebutkan tujuh hal yang wajib dilaksanakan oleh agama (umat) Hindu Bali untuk kepentingan negara, yaitu, mendukung tindakan pemerintah mengembalikan Irian Barat ke dalam pangkuan Republik Indonesia, menyesalkan penyalahgunaan ilmu pengetahuan untuk pemusnahan peradaban dan pemusnahan makhluk Tuhan, mendesak pihak-pihak yang terkait supaya memperjuangkan pengajaran agama Hindu di sekolah-sekolah, mendesak pemerintah pusat untuk meninjau keberadaan Dinas Agama Otonom Daerah Bali, meminta supaya umat Hindu Bali mempertahankan semangat gotong royong terhadap kahyangan dan tempat persembahyangan umat Hindu Bali lainnya, membenarkan anggota ABRI dan petugas-petugas negara lainnya berpakaian seragam menurut peraturan masing-masing kesatuan saat melakukan persembahyangan di pura, kahyangan, dan tempat-tempat suci lainnya, dan terakhir, memandang perlu penyelenggaraan pesamuhan agung keagamaan secara berkala.


Sumber
Nyoman Wijaya

Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga