Purwa Karma oleh Mpu Kanwa, Jalan Yoga Untuk Mencapai Guna Widya


Istilah purwa karma yang ditulis oleh Mpu Kanwa merupakan istilah lain dari karma yoga. Bahwa ajaran karma ini telah diajarkan oleh orang-orang arif Hindu dari sejak purwa kala jaman purwa. Premis utama ajaran ini adalah “ulah apageh magêgwana rasàgama buddhi têpêt” perilaku yang berpegang teguh tepat pada rasa, agama, dan buddhi.

Ulah apagêh dimaksud adalah ” amutêr tutur pinahayu ” memutar kesadaran atau membalik kesadaran dengan cara yang baik dan untuk kebaikan (Arjuna Wiwàha, X:1); atau lebih tepat memutar balik kesadaran, yaitu dari berkesadaran umum duniawi yang melanglang buana menjadi kembali berkesadaran spiritual untuk menemukan jati diri.

Caranya adalah kembali ke dalam diri dengan melakukan tapa. Tapa adalah salah satu unsur ajaran kriya yoga (Yogasùtra Patanjali, II:1). Dua unsur penting lainnya adalah swadyaya (kemadirian) dan Iswara pranidana (selalu ingat dan menghubungkan diri dengan Tuhan).

Untuk dapat lebih memahami purwa karma ‘prinsip kerja’ ini, maka Mpu Kanwa menarasikan laku tapa Arjuna di Gunung Indrakila. Sumber kisahnya diambil dari Kitab Wanaparwa. Penggalan cerita Kakawin Arjuna Wiwàha yang kita butuhkan untuk memahami jabaran ajaran dimaksud sebagai berikut.

Dewa Indra tertimpa bencana. Indraloka hendak dijajah oleh Niwatakawaca, raja raksasa yang sakti itu. Oleh karena itu, Indra berusaha mencari bantuan. Diketahui bahwa Arjuna sedang membangun tapa di sebuah gua di lereng Gunung Indrakila. Indra menginginkan bantuan Arjuna, tetapi ia sedikit ragu akan keteguhan dan tujuan tapa-nya.

Untuk menghapus keraguan itu, Indra pertama-tama mengutus tujuh bidadari untuk menguji keteguhan hati Arjuna dalam mengendalikan nafsu asmara. Alhasil, Arjuna tidak tergiur oleh kemolekan dan rayuan para bidadari itu.
Mendengar laporan para bidadari bahwa mereka gagal menggoda Arjuna, Dewa Indra senang. Kini ia ingin menjajagi kecerdasan dan tujuan tapa Arjuna. Dalam wujud seorang pertapa tua Indra berkunjung ke pertapaan Arjuna. Kedatangannya diterima dengan penuh hormat. Dengan tujuan menguji, Indra memuji dan sekaligus mencela laku tapa Arjuna, katanya: “Yoga yang Ananda lakukan itu sungguh menakjubkan. Tetapi aku heran, mengapa tapamu kau campur dengan perbuatan kasar? Di sampingmu ada baju perang, busur, dan pedang. Itu membuktikan bahwa engkau masih mengharapkan kesenangan dan kewibawaan. Aduh sayang tapamu itu, jika engkau tidak berkeputusan mencapai kelepasan”.

Arjuna menjawab: “Benar kata Sang Pertapa. Tetapi saya terikat bakti dan kasih pada kakak, Sang Dharmaputra namanya. Untuk Beliaulah saya bertapa dengan cita-cita jaya dan berkuasa di dunia. Hendak berbuat jasa, yaitu memelihara dunia dan membahagiakan masyarakat. Itulah tujuan tapa yang saya lalukan ini”.

Mendengar jawaban itu, Indra pun puas. Ia kembali ke wujud aslinya dan memberi restu. Atas restu itu bertambah mantaplah tapa Arjuna.
Niwatakawaca mengetahui bahwa Dewa Indra hendak minta bantuan Arjuna untuk mengalahkannya. Ia tahu pula bahwa kini Arjuna sedang betapa. Maka, untuk menggagalkan tapa Arjuna, Niwatakawaca mengutus patihnya, Si Muka untuk menghancurkan pertapaan.

Dalam wujud seekor babi, Si Muka mengobrak-abrik Gunung Indrakila. Arjuna merasa terganggu. Ia pun bangkit dari tapa-nya lalu memanah si pengganggu. Sementara dari sisi lain, Dewa Siwa dalam wujud Kirata ‘pemburu’, juga memanah babi itu. Panah Arjuna dan Kirata mengenai titik sasar yang sama dan ajaib, panah itu menyatu.

Arjuna hendak mencabut panahnya, tetapi ditegur oleh Si Pemburu. Katanya menghardik: “Hai pertapa, mengapa kau ambil panahku. Ini binatang buruanku. Penampilanmu saja pertapa, hatimu busuk. Tak tahu malu”.
Dihardik begitu, Arjuna tersinggung. Perkelahian pun terjadi dengan sengitnya. Keberanian Arjuna teruji. Maka menjelmalah Sanghyang Siwa di hadapannya. Arjuna lalu memuja-Nya. Siwa menganugerahinya panah Cadusakti, Pasupati namanya.

Dari narasi singkat itu dapat kita ketahui bahwa tapa itu adalah wujud pelatihan karma yoga. Diketahui bahwa dasar tapa Arjuna adalah bhakti lawan asih ‘bakti dan kasih’. Bhakti itu mengisyaratkan kesediaan untuk berkurban, yaitu mengurbankan kepentingan diri dengan tujuan mahaywang ràt lawan kaparahitan yaitu memelihara dunia dan mensejahterakan masyarakat (Arjuna Wiwàha, VI:4-5).

Untuk mencapai keberhasilan seperti itu Mpu Kanwa mengisyaratkan bahwa orang harus memiliki kualitas berupa :

  1. Kemampuan mengendalikan emosi, seperti Arjuna yang tidak tergoda oleh kemolekan dan rayuan para bidadari;
  2. Wawasan spiritual dan duniawi yang memadai, seperti tercermin dalam dialog Arjuna dengan Indra;
  3. Keteguhan pendirian dan keberanian untuk berjuang menghadapi segala bentuk rintangan yang menghalangi perjalanan hidup, seperti ketangguhan dan keberanian Arjuna dalam perang tanding dengan Kirata (Siwa).

Dalam rangka mengembangkan kualitas diri itulah kita perlu amutêr tutur pinahayu, memutar balik kesadaran dengan benar dan baik, yaitu melalui olah rasa, agama, dan buddhi. Rasa dalam konteks seni Hindu, tidak tepat sama artinya dengan kata rasa dalam bahasa Indonesia, yaitu perasaan atau emosi.

Emosi dalam bahasa Sansekerta adalah bhàwa. Menurut Bharata dalam kitab Natyasastra emosi itu ada delapan: (1) Rati / cinta; (2) Hasa / humor; (3) Soka / sedih; (4) Krodha / marah’; (5) Utsaha / teguh; (6) Bhaya / takut’; (7) Jugupsa / muak; dan (8) Wismaya /heran. Kemudian Abhinawagupta menambah satu emosi lagi, yaitu Sama / tenang.

Selanjutnya…




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga