Rangkaian Membangun Palinggih Padmasana


Padmasana (Sanskerta: padmāsana) adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan menaruh sajian bagi umat Hindu (Pelinggih), terutama umat Hindu di Indonesia.

Kata padmasana berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu : “padma” artinya bunga teratai dan “asana” artinya sikap duduk. Hal ini juga merupakan sebuah posisi duduk dalam yoga. Padmasana berasal juga ada dalam Bahasa Kawi, yaitu: “Padma” artinya bunga teratai, atau bathin, atau pusat. “Sana” artinya sikap duduk, tuntunan, nasehat atau perintah.

Padmasana berarti tempat duduk dari teratai sebagai stana suci Tuhan Yang Maha Esa (I Made Titib, 2001). Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol dari tempat duduk dari dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga Padmasana tidak lain dari gambaran alam semesta (makrokosmos) yang merupakan stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Dalam Lontar Padma Bhuana, Mpu Kuturan menyatakan bahwa Bali sebagai Padma Bhuwana. Bunga teratai (padma) dijadikan simbol alam semesta stana Hyang Widhi yang sebenarnya. Dalam Lontar Dasa Nama Bunga disebut, bunga teratai adalah rajanya bunga (Raja Kesuma) karena hidup di tiga alam, akarnya menancap di lumpur, batangnya di air, sedangkan daun dan bunganya di atas air (udara). Karenanya, bunga ini adalah simbol Tri Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang Widhi Wasa dan bunga daunnya yang berlapis-lapis sebagai perlambang dari sembilan arah penjuru mata angin alam semesta (I Ketut Wiana, 2004).

Posisi padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Mungkin ini tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan, bahkan pada bagian puncak Padmasana tampak berbentuk singgasana berbentuk kursi persegi empat. Hal ini akan terjawab kalau orang memperhatikan pesimpen pancadatu atau pedagingan yang ditanamkan di dasar, di madya, maupun di puncak dari Padmasana (Cudamani, 1998).

Isi pedagingan pesimpen itu, terutama pedagingan di puncak yang berbentuk padma terbuat dari emas, diletakkan paling atas di atas singhasana yang berbentuk kursi persegi empat ini. Karena ditanam, meskipun terletak di puncak, benda itu tidak terlihat dari luar. Rupanya pedagingan berbentuk padma dari emas inilah yang memberi nama bangunan itu sehingga bernama Padmasana, Dewa-dewa dan Ida Sang Hyang Widi bertahta di atasnya.

Simbol dari Padmasana menggambarkan tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah dan swah). Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga (Anantabhoga dan Basuki) melambangkan alam bawah (bhur loka), badannya (padma termasuk singhasana) melambangkan atmosfer bumi (bwah loka). Sedangkan swah loka tidak dilukiskan dalam wujud bangunan tetapi di dalam pesimpen pedagingan yang berwujud padma dan di dalam puja yang dilukiskan dengan : “Om Padmasana ya namah dan Om Dewa Pratistha ya namah.” Padma dalam Bahasa Bali artinya bunga teratai, dan Sana artinya duduk. Dewa Siwa digambarkan sebagai Dewa yang duduk di atas bunga teratai.

Bunga teratai yang berhelai delapan tepat pula sebagai simbol delapan kemahakuasaan Sanghyang Widhi yang disebut Asta-Aiswarya.
Asta-Aiswarya ini juga menguasai delapan penjuru mata angin. Keistimewaan bunga padma adalah: puncak atau mahkotanya bulat, daun bunganya delapan, tangkainya lurus, dan tumbuh hidup di tiga lapisan: lumpur, air, dan udara. Hal-hal ini memenuhi simbol unsur-unsur filsafat Ketuhanan atau Widhi Tattwa, yakni keyakinan, kejujuran, kesucian, keharuman, dan ketulusan. Dengan demikian Padmasana adalah simbol yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi sebagai bunga teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan batin atau pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur:

  • Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan Horizontal. : Timur (Purwa) sebagai Iswara, Tenggara (Agneya) sebagai Maheswara, Selatan (Daksina) sebagai Brahma, Barat Daya (Nairiti) sebagai Rudra, Barat (Pascima) sebagai Mahadewa, Barat Laut (Wayabya) sebagai Sangkara, Utara (Uttara) sebagai Wisnu, Timur Laut (Airsanya) sebagai Sambhu.
  • Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan simbol kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai: Siwa (adasthasana/ dasar), Sadasiwa (madyasana/ tengah) dan Paramasiwa (agrasana/ puncak).

 

SEJARAH / Latar Belakang PADMASANA

Menurut Lontar “Dwijendra Tattwa”, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, atau nama (bhiseka) lain beliau: Mpu Nirartha atau Danghyang Nirartha.

Berdasarkan wahyu yang diterima beliau di pantai Purancak (Jembrana) ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bali setelah menyeberang dari Jawa Timur di abad ke-14, penduduk Bali perlu dianjurkan membangun pelinggih Padmasana.

Sebelum kedatangan beliau, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik di mana penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara horizontal.Ajaran itu diterima dari para Maha Rsi yang datang ke Bali sejak abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Danghyang Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah.

Bentuk-bentuk pelinggih sebagai simbol/niyasa ketika itu hanya: meru tumpang tiga, Kemulan rong tiga, bebaturan, dan gedong.

Wahyu yang diterima oleh Danghyang Nirartha untuk menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk palinggih berupa Padmasana menyempurnakan simbol/niyasa yang mewujudkan Hyang Widhi secara lengkap, baik ditinjau dari konsep horizontal maupun vertikal.

Pemujaan Sanghyang Widhi Wasa sebagai Bhatara Siwa berkembang di Bali sejak abad ke-9. Simbol pemujaan yang digunakan adalah Lingga-Yoni. Keadaan ini berlanjut sampai abad ke-13 pada zaman Dinasti Warmadewa.

Sejak abad ke-14 pada rezim Dalem Waturenggong (Dinasti Kresna Kepakisan), penggunaan Lingga-Yoni tidak lagi populer, karena pengaruh ajaran Tantri, Bhairawa, dan Dewa-Raja. Lingga-Yoni diganti dengan patung Dewa yang dipuja sehingga cara ini disebut Murti-Puja.Ketika Danghyang Niratha datang di Bali pada pertengahan abad ke-14 beliau melihat bahwa cara Murti-Puja diandaikan seperti bunga teratai (Padma) tanpa sari.

Maksudnya niyasa pemujaan yang telah ada seperti Meru dan Gedong hanyalah untuk Dewa-Dewa sebagai manifestasi Sanghyang Widhi namun belum ada sebuah niyasa untuk memuja Sanghyang Widhi sebagai Yang Maha Esa, yakni Siwa.

Inilah yang digambarkan sebagai padma tanpa sari. Danghyang Niratha setelah menjadi Bhagawanta (Pendeta Kerajaan) mengajarkan kepada rakyat Bali untuk membangun Padmasana sebagai niyasa Siwa, di samping tetap mengadakan niyasa dengan sistem Murti-Puja.

 

Kisah Samudra Manthana

struktur bangunan padmāsana ini mengacu pada kisah Samudra Manthana, seperti yang terdapat dalam Pustaka Ādiparwa. Dalam pustaka yang merupakan bagian atau parwa pertama dari Wiracarita Mahabharata itu dikisahkan pelbagai cerita. Salah satunya adalah kisah tentang upaya para dewa untuk mendapatkan tirtha amta. Kisah tersebut diawali dengan rasa tersinggung Ṛṣi Durwasa karena kesalahfahaman atas perilaku Dewa Indra.

Adapun Ṛṣi Durwasa yang merupakan awatāra Dewa Śiwa itu sendiri adalah seorang brahmana Śiwa Siddhānta yang muncul berkali-kali dalam zaman atau yuga yang berbeda-beda. Pribadi ini dikenal sebagai  petapa yang sangat mudah marah, sesuai dengan arti namanya, yang berarti yang sangat merepotkan. Pada saat marah, keluarlah kutukan atau śāpa yang sangat mematikan. Itu sebabnya ṛṣi pemarah ini sangat dihormati oleh manusia maupun dewa, semata-mata supaya terhindar dari śāpa-nya itu.

Pada suatu hari di masa Satya Yuga Ṛṣi Durwasa kembali bertingkah laku aneh. Dia berjalan tidak tentu arah seperti orang gila. Dia lalu bertemu dengan bidadari yang sedang mengenakan karangan bunga di kepalanya. Sang ṛṣi meminta karangan bunga sang bidadari itu. Karangan bunga lalu berpindah tangan. Ṛṣi Durwasa mengenakan karangan bunga tersebut dan melanjutkan perjalanannya.

Di tengah jalan sang ṛṣi bertemu dengan Dewa Indra, yang merupakan raja para dewa. Sang dewa sedang mengendarai Airāwatha, gajah tunggangannya itu. Sang brahmana itu lalu menyerahkan karangan bunga tersebut kepada sang dewa, sebagai tanda rasa hormat kepada Dewa Indra itu. Namun caranya tidaklah sopan, yaitu dengan melemparkannya kepada sang dewa. Dewa Indra menjadi tersinggung, dan mencampakkan bunga yang bersangkutan. Karangan bunga pemberian sang ṛṣi itu lalu diinjak-injak sang gajah. (Versi lain menyebutkan bahwa Dewa Indra menerima dengan baik karangan bunga, karena faham dengan perilaku jelek sang brahmana, lalu meletakkannya di gading sang gajah. Akan tetapi karena tidak tahan akan bau bunga yang menyengat itu, sang gajah lalu mencampakan dan menginjak-injak karangan bunga itu). Marahlah Ṛṣi Durwasa, dan jatuhlah kutuk atas para dewa. Berkuranglah kesaktian Dewa Indra dan para dewa lainnya. Bahkan semakin lama semakin punah pula kesaktian itu.

Tahu bahwa kekuatan para dewa itu berkurang, Mahābaḷī, raja para asura atau para rākasa lalu menyerbu Kahyangan. Akibatnya, Dewa Indra dan para dewa mengalami kekalahan besar. Oleh karena itu para dewa lalu menghadap Dewa Wíṣṇu untuk mohon petunjuk.

Dewa Wíṣṇu lalu meminta agar para dewa bekerjasama dengan para asura itu guna memperoleh tirtha amta. Caranya, mereka harus ber-Samudra Manthana (mengaduk samudera) atau mengaduk lautan susu (Kīra Sāgara). Dewa Wíṣṇu juga berjanji bahwa tirtha amta yang akan mereka peroleh tidak akan jatuh ke tangan para asura itu. Untuk itu Dewa Indra lalu  mendatangi  Mahābaḷī  untuk  berdamai  dan  bekerjasama  untuk mengaduk samudera susu, karena adukan tersebut akan menghasilkan pelbagai harta yang akan dibagi bersama.

Masalahnya, untuk ber-Samudera Manthana itu diperlukan alat pengaduk. Maka oleh Sang Anantabhoga dicabutlah Gunung Mandara atau Mandaragiri yang terdapat di Saka Dwipa (Pulau Saka). Setelah mendapat izin dari Dewa Baruṇa, Sang Penguasa Samudera, diceburkanlah Mandaragiri itu ke dalam lautan sebagai pengaduk samudera itu.

Akan tetapi karena begitu dalamnya samudera susu itu, tenggelamlah Mandarigiri itu. Guna mengatasi masalah tersebut, Dewa Wíṣṇu lalu ber- awatāra sebagai kūrma atau kura-kura raksasa atau badawang nala, yang bernama Akupa. Kura-kura ini lalu menjadi landasan untuk menahan Mandaragiri supaya tidak tenggelam. Selanjutnya, diperlukan seutas tali yang mengikat Mandaragiri supaya dapat diputar. Untuk itu Sang Naga Basuki berperan sebagai tali pengikat. Kepala sang naga dipegang oleh para asura, sedangkan ekornya dipegang oleh para dewa. Selain itu, supaya gunung tidak terlonjak-lonjak saat berputar, maka puncak gunung diduduki oleh Dewa Brahmā (versi lain mengatakan Dewa Indralah yang menduduki puncak Mandaragiri).

Mulailah Mandaragiri berputar dan mengaduk Kīra Sāgara itu. Uniknya Sang Naga Basuki lalu mengeluarkan bisa yang bernama halahala. Bisa naga tersebut menyebabkan para asura menjadi lemah dan mengancam kelestarian alam semesta. Guna menghindari kerusakan alam itu Dewa Śiwa lalu menelan bisa Sang Naga Basuki itu. Akan tetapi bisa tersebut hanya tersangkut di tenggorokan Sang Dewa, karena lehernya dicekik oleh Dewi Pārwatī, śakti-nya. Akibatnya, si racun tertahan di tenggorokan Sang Dewa, dan lehernya berubah menjadi biru. Sejak itu Dewa Śiwa dijuluki Nīlakaṇṭha, si leher biru.

Proses mengaduk Kīra Sāgara itu menuai hasil. Keluarlah pelbagai jenis harta dari dalam samudera susu itu. Harta yang pertama kali muncul adalah Kamadhenu, yang merupakan moyang dari semua sapi. Kamadhenu atau yang juga disebut Surabhi ini lalu diambil oleh Dewa Wíṣṇu untuk diserahkan kepada para bhramana, guna diambil susu dan menteganya. Sapi yang berwarna putih dan berwajah wanita serta memiliki payudara ini juga mampu mengabulkan permintaan seseorang. Atas dasar itu, maka sapi di kalangan orang Hindu sangatlah dihormati, karena merupakan keturunan dari Sang Kamadhenu ini.

Harta yang kedua yang muncul dari samudera susu ini adalah seekor kuda putih berkepala tujuh. Kuda yang bernama Uccaihsrawa, yang berarti ringkikan nyaring ini diserahkan kepada para asura. Selanjutnya, muncullah Ariwata yang juga disebut Erawan. Ariwata ini merupakan seekor gajah berkepala tiga, yang bertugas untuk menjaga alam semesta. Selain itu Ariwata ini juga berfungsi sebagai pimpinan para gajah.

Kaustubha, sebuah permata yang penuh cahaya merupakan harta keempat yang muncul dari samudera susu itu. Permata elok ini kemudian menghiasi mahkota Dewa Wíṣṇu. Sementara itu mahkota Dewa Śiwa sendiri dihiasi dengan Chandra, harta yang muncul berikutnya, yang berbentuk bulan sabit.

Harta selanjutnya yang muncul dari samudera susu itu adalah sebatang pohon yang dapat mengabulkan segala permintaan seseorang. Pohon ini dikenal dengan sebutan Kalpawka atau Kalpataru. Setelah pohon ajaib ini muncullah Apsarā yang adalah sejumlah bidadari atau widyādharī. Setelah para bidadari itu, muncullah Dewi Lakṣmī, seorang dewi pelindung kesuburan, kekayaan, keadilan, dan kebijaksanaan. Dewi Lakṣmī ini kemudian menjadi śakti Dewa Wíṣṇu. Sementara itu Dewi Waruni atau Dewi Sura, si pencipta minuman keras, yang muncul kemudian, menjadi śakti dari Dewa Baruna, Namun versi lain mengatakan bahwa Dewi Waruni ini diterimakan untuk para asura.

Akhirnya, muncullah Dewa Dhanwantari yang membawa tirtha amta atau air kehidupan. Barangsiapa yang meminum tirtha ini akan lestari hidup dan tidak akan pernah mati. Kemunculan harta yang paling berharga yang dinanti-nantikan oleh para dewa dan para asura ini menimbulkan keonaran. Mereka saling berebut. Akhirnya, kendi berisi tirtha amta ini berhasil dikuasai oleh para asura.

Untuk menolong para dewa itu Dewa Wíṣṇu lalu berubah wujud menjadi seorang dewi cantik jelita bernama Dewi Mohinī. Sang Dewi lalu mendatangi para asura yang sedang berpesta pora. Dengan menyamar sebagai seorang apsari, Dewi Mohini sibuk menuang minuman kepada para asura itu. Akibatnya, mereka mabuk berat dan tidak sadarkan diri. Pada saat itu juga, tirtha amta langsung disambar oleh Sang Dewi dan dibawa kepada para dewa.

Begitu para asura itu tersadar, Kāla Rāhu anak Wipracitti dan Singhika, menyamar sebagai dewa guna merebut kembali tirtha amta. Akan tetapi pada saat mengantri guna mendapatkan tirtha amta itu, Dewa Sū́rya, sang dewa matahari dan Dewa Candrá, sang dewa bulan, mengetahui penyamaran Kāla Rāhu itu. Kedua dewa itu lalu melapor kepada Dewa Wíṣṇu.

Masalahnya, Kāla Rāhu telah berhasil memperoleh bagian tirtha amṛta, yang kemudian segera diminumnya. Akan tetapi, saat air kehidupan itu sampai di lehernya, mendadak lehernya itu terputus akibat terkena lemparan Chakra Sudarshana, senjata andalan Dewa Wíṣṇu yang berbentuk piring terbang dengan 108 gerigi di sekelilingnya. Akibatnya, kepala Kāla Rāhu tetap lestari hidup, sedangkan tubuhnya jatuh ke bumi menjadi lesung, alat penumbuk padi. Itu sebabnya karena dendamnya, secara berkala Kāla Rāhu memakan matahari dan bulan, namun keluar kembali dari lehernya. Terjadilah gerhana matahari dan gerhana bulan.

 

STANA Dewata DI PADMASANA

  1. Stana Sanghyang Siwa Raditya. Dalam lontar Siwagama diuraikan bahwa Bhatara Siwa mempunyai murid-murid terdiri dari para dewa. Diantaranya ada murid yang paling pintar dan bisa meniru Siwa, murid ini adalah Bhatara Surya; oleh karena itu Bhatara Surya dianugrahi nama tambahan: Sanghyang Siwa Raditya dan berwenang sebagai wakil-Nya di dunia.
  2. Stana Bhatara Guru. Sebagai rasa hormat dan terima kasih Bhatara Surya atas anugerah yang diberikan, maka Siwa dipuja sebagai guru, dan selanjutnya Siwa dikenal juga sebagai Bhatara Guru.
  3. Stana Bhatara Surya. Bhatara Siwa acintiya. Bila manusia ingin mengetahui kemahakuasaan Bhatara Siwa, lihatlah matahari karena mataharilah sebagai salah satu contoh asta aiswarya-Nya, karena kehidupan di dunia bersumber dari kekuatan energi matahari.
  4. Stana Sanghyang Tri Purusa. Dalam Wrhaspati Tattwa, Sangyang Widhi dinyatakan sebagai Tri Purusa, yaitu: Parama-Siwa, Sadha-Siwa, dan Siwa. Parama-Siwa, adalah Sanghyang Widhi dalam keadaan niskala, tidak beraktivitas, tidak berawal, tidak berakhir, tenang, kekal abadi, dan memenuhi seluruh alam semesta. Sadha-Siwa, adalah Sanghyang Widhi yang beraktivitas sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur. Siwa, adalah Sanghyang Widhi yang utaprota sehingga nampak berwujud sebagai mahluk hidup.

Fungsi utama Padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Di situlah Tuhan dipuja dalam fungsinya sebagai jiwa alam semesta (makrokosmos) dengan segala aspek kemahakuasaanya. Padmasana adalah niyasa atau simbol stana Hyang Widhi dengan berbagai sebutannya — Sanghyang Siwa Raditya (dalam manifestasi yang terlihat/dirasakan manusia sebagai matahari atau surya) dan Sanghyang Tri Purusa (dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa). Di Pura Besakih ada Padmasana berjejer tiga, di situ di-stana-kan Parama Siwa (tengah), Sadasiwa (kanan) dan Sang Hyang Siwa (kiri).

Memperhatikan makna niyasa tersebut, jelaslah bahwa makna Padmasana adalah niyasa yang digunakan Hindu dari sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa. Danghyang Nirartha yang mengembangkan bentuk niyasa Padmasana adalah pandita dari kelompok Hindu sekte Siwa Sidhanta. Sedangkan Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri yang berfungsi sebagai pengayatan atau penyawangan.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga