Runtutan Upakara dan Pelaksanaan Ngaben


Pelebon

Pagi-pagi sebelum berangkat ke kuburan dilakukan mlaspas bade (wadah), petulangan, dan bale gumi. Setelah mlaspas selesai lalu bersiap-siap berangkat ke kuburan. Bila karya ngaben ngwangun, maka banten mlaspas dilengkapi dengan pula gembal bebangkit. Jadi, yang berhak muput banten pemlaspas adalah Sulinggih. Banten pmlaspas ini digunakan mlaspas bade dan lembu. Misalnya, pelebon di sebuah Griya, yang muput pemereman dan petulangan adalah Pedanda dengan banten dilengkapi pula gembal bebangkit sedangkan bagi peniring di-puput oleh Brahmana walaka dan banten-nya tanpa pula gembal bebangkit.

Setelah upacara mlaspas wadah ini, maka pertama-tama yang diturunkan adalah peralatan upacara, seperti ganjaran, jemek, tiga sampir, tigasan, canang sari. Lalu disusul dengan adegan, angenan, sok bekel, pengrekan, sampai dengan kajang setelah itu baru tetukon, lis pering, panjang ilang, dan lain-lain. Kemudian di depan sawa berjejer tah bakang-bakang, cegceg, dan sekarura. Terakhir baru sawa diturunkan perlahan-lahan. Baru turun sawa dismabut dengan segehan agung dengan caru penghalang dewasa. Dengan menginjak segehan agung ini sawa digotong ke luar dengan upacara berjalan terlebih dahulu.

Berikutnya sawa dinaikkan ke wadah atau bade. Turut pula dinaikkan kajang, pengrekaan, dan angenan. Setelah siap bade diberangkatkan. Cegceg dipasang terlebih dahulu di sepanjang jalan. Orang yang memanjang menaburkan sekarura. Sawa yang ada dalam bade dituntun oleh pretisentananya.

Peralatan upacara hendaknya berjalan terlebih dahulu. Tetabuhan, seperti angklung, gong denan tabuh bebatelan mengiringi bade sedangkan gender dan wayang ada pada bade, digelar berjejer melakonkan Bima Swarga. Setiap sampai di simpang empat bade diputar tiga kali maprasawya sebagai simbolik untuk kembali ke aslanya (pralina). Demikian pula setelah sampai di kuburan. Setelah berhenti di depan petulangan sawa diturunkan. Lebih dulu diturunkan upakaranya seperti pangrekaan, kajang dan angenang. Petulangan disapu dengan rambut pretisentananya sebagai tanda hormat dan cinta yang mendalam. Setelah itu sawa perlahan-lahan diangkat dan diletakkan di petulangan itu.

Tah mebakang-bakang dipakai membuka bandusa dan pembungkus sawa itu. Tinggalkan pakaian yang putih saja. Monmon yang ada di mulutnya diambil. Sawa dapat dibungkus lagi dengan kain yang ikut dibakar. Lalu disertakan kain baru untuk segera dipercikkan tirtha. Pertama diperciki tirtha penembak, tirtha panglukatan/pabersihan. Terakhir barulah tirtha pangentas, tirtha di kawitan dan merajan. Setelah selesai diperciki tirtha, sawa ditutup dengan pangrekan, kajang, gagatuk, ponjem, dan angenang. Di bawah sawa diletakkan adegan, tatukon, panjang ilang, dan nasi angkeb.

Sawa kemudian dibakar dengan cittagni dan sekarang memakai kompor bukan lagi kayu api. Begitu api dinyalakan iber-iber dilepaskan. Setelah sawa terbakar habis, maka dihaturkan ajengan geblagan dan api dimatikan dengan air penyeheb.

Mulaialah nyupit galih dan arang kemudian ditaruh dalam senden disiram air kumkuman dan dihaluskan di sebuah bale pering. Setelah halus dimasukkan ke dalam klungah nyuh gading yan telah dikasturi dan kemudian dibungkus dengan kain putih dibuatkan prerai dari kwangen dan dihias dengan bunga. Bagian tulang yang kasar di-reka dengan kwangen setelah itu bersama sekah diletakkan dalam bokor dan diletakkan di jempana yang berfungsi sebagai tumpeng salu.

Upacara nganyut dapat dilakukan pada hari itu juga yang disebut tandang mantra dengan tujuan untuk mendapat peleburan di laut. Selesai nganyut dilanjutkan dengan mapegat yang dilaksanakan di pintu masuk pekarangan rumah sebagai pemutusan hubungan duniawi dengan mereka yang dilepas.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga