Stuktur & Makna Pura di Bali berdasarkan Asta Kosala-Kosali


Makna Bangunan yang terdapat di dalam Pura

1. Candi Bentar

Candi Bentar merupakan pintu masuk yang membatasi antara bagian Nista Mandala dengan bagian luar Pura. Candi Bentar dianggap sebagai perwujudan dari pangkal gunung Maha Meru, oleh karena itu dianggap kurang sakral daripada Kori Agung. Biasanya area sirkulasi dari candi bentar dibuat lebar. Hal ini dimaksudkan agar para umat Hindu datang dengan leluasa. Candi Bentar juga merupakan pintu masuk yang membatasi Nista Mandala dengan Madya Mandala, biasanya area sirkulasinya sama dengan Candi Bentar sebelumnya yang membatasi antara Nista Mandala dengan bagian luar Pura. Ruangan/pintu candi bentar dibuat agak lebar,dimaksudkan agar umat dapat lebih banyak masuk jaba tengah sekaligus. Juga mengandung arti umat boleh dengan leluasa keluar masuk dari jaba sisi ke jaba tengah atau sebaliknya. Bangunan ini merupakan sebagai pintu masuk penyaring atau penanda dimana setelah melewati pintu masuk ini, umat Hindu sudah mulai melepaskan keduniawiannya.

2. Kori Agung

Merupakan pintu masuk dan batas wilayah antara jaba tengah (Madya Mandala) dengan jeroan (Utama Mandala). Ruang/pintu tempat masuk sengaja dibuat kecil, hanya cukup untuk satu orang. Diatasnya terdapat ornament berupa karang Boma, dan dijaga oleh dua buah patung Dwara Pala. Hal ini mengandung pengertian untuk masuk jeroan (Utama Mandala), tidak setiap orang bebas leluasa melainkan masuk satu persatu,maksudnya agar mereka yang masuk ke dalam jeroan atau (Utama Mandala) benar-benar orang yang satu antara bayu (tenaganya), Sabha (perkataannya), Idep (pikirannya), dan bulat tertuju hanya untuk memuja Tuhan.

3. Padmasana

Padmasana yang dikembangkan oleh Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh. Ia seorang sastrawan Majapahit sekaligus pendeta yang memperkenalkan arsitektur pura. Beliau datang ke Bali untuk menyebarkan agama Hindu Siwa Sidhanta pada abad ke-15 ketika kekuasaan kerajaan Majapahit mulai memudar.
Ajarannya yang pertama adalah mendirikan padmasana di setiap komplek pura maupun pamerajan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa. Pembangunan padmasana ini dilakukan untuk memperbaiki kesalahan persepsi masyarakat terhadap Sang Hyang Widhi. Sebelumnya masyarakat Bali membuat pelinggih dari bambu atau pohon pinang yang tidak permanen dan biasanya dicabut kembali setelah upacara selesai.

Hal tersebut menyababkan timbulnya pura-pura fungsional yaitu pura yang memiliki fungsi khusus, sebagai contoh : Pura Ulun Siwi untuk menyembah-Nya sebagai penguasa kemakmuran, Pura Melanting untuk menyembah-Nya sebagai penguasa pasar dan sebagainya. Timbulnya pura-pura tersebut menyebabkan persepsi bahwa Tuhan itu banyak. Maka Danghyang Nirartha menganjurkan pendirian padmasana untuk memperbaiki persepsi yang salah tersebut.
Sebutan Padmasana berasal dari kata Padma yang berarti bunga Teratai, dan Asana berarti sikap yang terbaik dalam memuja. Teratai/Padma adalah salah satu simbol kesucian dalam agama Hindu, karena bunga Teratai ini dianggap dapat bertahan hidup walaupun hidup dalam lumpur, tidak sedikitpun lumpur yang menempel pada bunganya. Dengan tidak adanya kotoran yang melekat ini merupakan simbol bahwa kesucian itu akan bebas dari segala kemelekatan atau noda.

Pada bagian kepala/sari terdapat Singghasana seperti kursi yang diapit oleh naga tatsaka. Pada bagian belakangnya terdapat ulon yang bagian tengahnya terdapat ukiran lukisan Sang Hyang Acintya sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widhi. Lukisan ini menggambarkan sikap tari dari dewa Siwa yang disebut dengan Siwa Natyaraja dalam menciptakan alam semesta.
Sebenarnya posisi Padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Hal ini tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan bahwa pada puncak padmasana terdapat Singghasana yang berupa kursi berkaki empat. Jadi nama Padmasana sebenarnya digunakan karena isi dari pedagingan yang ditanamkan pada puncak bangunan tersebut berupa padma yang terbuat dari emas. Sedangkan pada padmasana yang menggunakan Bhedawang Nala, pedagingan berjumlah tiga buah, yang ditanamkan pada dasar, tengah, dan puncak.

Fungsi utama padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa atau Sang Hyang Widhi Wasa sehingga tidak ada padmasana yang dijadikan sebagai pemujaan roh leluhur. Pelinggih padmasana adalah simbol stana Sang Hyang Widhi dengan berbagai sebutan, yaitu Sanghyang Siwa Raditya, dalam manifestasi yang terlihat atau dirasakan manusia sebagai matahari atau surya dan Sanghyang Tri Purusa dalam tiga manifestasi yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa. Oleh karena itu, padmasana merupakan pelinggih yang digunakan oleh umat Hindu sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa.

Berdasarkan tata letak, padmasana dibedakan berdasarkan arah mata angin, yang terbagi menjadi sembilan jenis, yaitu :

  1. Padma Kencana, di timur (purwa) menghadap ke barat (pascima)
  2. Padmasana, di selatan (daksina) menghadap ke utara (uttara)
  3. Padmasari, di barat (pascima) menghadap ke timur (purwa)
  4. Padma Lingga, di utara (uttara) menghadap ke selatan (daksina)
  5. Padma Asta Sedhana, di tenggara (agneya) menghadap ke barat laut (wayaba)
  6. Padma Noja, di barat daya (nairity) menghadap ke timur laut (airsaniya)
  7. Padma Karo, di barat laut (wayabya) menghadap ke tenggara (agneya)
  8. Padma Saji, di timur laut (airsanya) menghadap ke barat daya (nairity)
  9. Padma Kurung, di tengah-tengah pura (madya) menghadap ke pintu masuk/keluar (pemedal)

Pemilihan letak padmasana berdasarkan pertimbangan letak pura dan konsep hulu-teben. Dikarenakan manusia sulit membayangkan Hyang Widhi, maka Hyang Widhi dianggap seperti organ tubuh manusia yaitu memiliki kepala, badan, dan kaki. Kepala dikatakan sebagai hulu, badan sebagai madya dan kaki sebagai teben. Yang utama selalu berada di hulu. Hal tersebut mempengaruhi pembagian mandala pada pura yang dibagi menjadi bagian nista, madya, utama. Hulu teben memakai dua acuan yaitu timur sebagai hulu dan barat sebagai teben, atau gunung sebagai hulu dan laut sebagai teben.

Sedangkan berdasarkan bentuk pepalihan (undakan) dan rong (ruang) bangunan padmasana terdiri dari :

  1. Padma Anglayang, bangunan padmasana yang memakai Bhedawang Nala, bertingkat tujuh / berpalih tujuh dan di puncaknya terdapat tiga ruang. Digunakan selain sebagai tempat distanakannya Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa, juga Trimurti
  2. Padma Agung, memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat lima/ berpalih lima dan di puncaknya terdapat dua ruang. Dipakai sebagai tempat distanakannya Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa, juga stana Ardanareswari yaitu kekuatan/kesaktian Hyang Widhi sebagai pencipta segala yang berbeda misalnya, lelaki-perempuan, siang-malam, kiri-kanan dan seterusnya.
  3. Padmasana, memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat lima/ berpalih lima dan di puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan selain sebagai stana Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa, juga sebagai stana Sang Hyang Tunggal yaitu Hyang Widhi/ Yang Maha Esa.
  4. Padmasari, tidak memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat/ berpalih tiga dan di puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan hanya untuk stana Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa.
  5. Padma Capah, tidak memakai dasar Bhedawang Nala bertingkat/berpalih dua dan di puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan sebagai Baruna (Dewa Lautan)
4. Gedong

Bentuknya serupa dengan tugu hanya bagian kepalanya terbuat dari konstruksi kayu, atapnya alang-alang, ijuk atau bahan-bahan penutup lain mengikut bentuk dan fungsinya. Bagian badan dan kaki, pasangan batu halus tanpa atau sedikit perekat siar-siar pasangan. Denah bujur sangkar dengan ukuran sisi dasar sekitar 1m dan tinggi sekitar 3m.

Fungsi Gedong beragam sesuai dengan tempatnya di pamrajan, pura, kahyangan atau dilain tempat tertentu. Tata letak gedong, bentuk konstruksi atap dan ketentuan lain mengikut fungsi gedong tersebut. Pemakaian bahan, penyelesaian konstruksi dan hiasannya sesuai dengan tingkatan utama, madya dan sederhana dari suatu pura yang ditempatinya.

Terdapat juga gedong kembar dengan dua ruangan dan gedong tiga ruangan atau rong telu untuk kemulan di sanggah atau pamerajan. Gedong dengan atap bertumpang disebut gedong sari untuk kahyangan jagat dari suatu pura tertentu.Dasar ukuran gedong, proporsi berbaturan dan rangka ruangnya didasarkan pada ketentuan tradisional. Bentuk penyelesaian, bagian-bagian dan hiasannya bervarisi mengikuti kreasi logika dan estetika perancangnya.

5. Meru

Bentuk Meru menonjolkan keindahan atap bertingkat-tingkat yang disebut atap tumpang. Jumlah tumpang atap selalu ganjil, yaitu tumpang 3, 5, 7, 9, dan tumpang 11 yang tertinggi. Keindahan banguanan meru timbul dari ketepatan proporsi, teknik konstruksi dan hiasannya. Tata letak meru di suatu pura adalah di halaman jeroan bagian utara. Meru umunya menghadap kearah barat di sisi timur sebagai tempat pemujaan utama. Menurut mitologi Hindu, Meru merupakan nama sebuah gunung di Sorgaloka. Salah satu puncaknya disebut Kailasa, yang merupakan tempat bersemayamnya Bhatara Siwa. Gunung tersebut lalu diturunkan ke dunia menjadi gunung Himalaya di India, Gunung Mahameru di Jawa, dan gunung Agung di Bali.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga