Tattwa / Tutur Candrabherawa dengan Yudistira


Setelah tertangkap Ātmanya Raja Candrabherawa. Segeralah berangkat Raja Yudhīṣṭira, datang ke tempat jasadnya tadi, lalu dimasukkan kembali pada jasadnya, menuju Śiwa Buddha sebagai Sang Pencipta. Perlahan-lahan siuman Raja Candrabherawa. Lalu menghormat dan berkata lemah lembut di  hadapan Raja Yudhīṣṭira, hanya kepada beliau saja hormatnya, serta mempersembahkan putrinya, yang bernama Diah Ratna Śaśangka, yang sebagai permatanya negeri Déwāntara semua.

Tidak dikisahkan perihal mereka berdua, semua serentak kembali pulang ke kerajaan.

Avakyaṃ paribhogésu, Catur pāṇḍava sévinaḥ, Harinca sarājaskandhaḥ, Bhogécca prāṇa nūjayét.

Bagaimana tentang penyambutan Raja Candrabherawa, terutama kepada Raja Yudhīṣṭira, juga kepada maharaja Kṛṣṇa, serta kepada sang Catur Pāṇḍawa, ikut pula para mentrinya, dan prajurit smua. Sangat sempurna penyambutan Raja Candrabherawa bersama permaisurinya, yang bernama Déwi Bhanuraśmi, didampingi oleh putri beliau Diah Ratna Śaśangka, dikelilingi oleh pelayan beliau semua. Serta mempersembahkan harta kekayaan: seperti mutiara, emas, perak, kain sutra, kepada Raja Yudhīṣṭira.

Kṣatriyaḥ hṛvaśca vitayā.

Kata Raja Candrabherawa: “Ampun Maharaja Yudhīṣṭira, berbahagialah pikiran paduka maharaja, bahwa siapa yang tahu dengan isi pikiranku, maka ini putriku, Diah Ratna Śaśangka namanya ini, wajahnya kurang memuaskan, jika

berkenan paduka Maharaja, patutlah sebagai pelayan tuanku Maharaja, berkumpul pada duli tuanku Maharaja, mohon diajari tentang, tatacara sebagai abdi, sehingga dia tahu tentang perilaku Karma Sanyaṣa, menuruti petunjuk paduka Maharaja”. Demikianlah kata Raja Candrabherawa.

Pada waktu itu tuan putri menyembah di kaki Maharaja Yudhīṣṭira, bagaikan tunas teratai tertimpa angin, kelembutan kedua tangannya, sesuai dengan kecantikan wajahnya yang sendu, bagaikan bunga teratai menebarkan bau harum.

Tataḥ paścat tvidaṃ cittaṃ, Dārśaṇaṃ cāndra ratnabyaṃ, Karé manobhava nibhaṃ, Śāstrajnanaṃ sarasvatī.

Jatuh hatinya Raja Yudhīṣṭira, melihat kecantikan Dyah Ratna Śaśangka, yang bagaikan kembangnya alam Sorga dibayangkannya. Dalam hal kepandaian, Sang Hyang Saraśwati menjelma ke dunia katanya. Tertegunlah hati Raja Yudhīṣṭira, melihat kecantikan Dyah Ratna Śaśangka, bagaikan telah dipangkunya.

Dharmatiḥ tatévaca.

Berkatalah Raja Yudhīṣṭira: “Daulat ayahanda Raja Candrabherawa, janganlah ayahanda khawatir, terhadap sangkaan ayahanda, aku meminta putrimu, sebagai sarana panutan ajaran Śiwa Buddha pada ayahanda, sama-sama tidak bisa dipisahkan, sama-sama bisa saling mengisi, bagaikan bersatunya Ātma dengan Déwa, ibarat menyatunya pikiran dengan pandangan, bagaikan siang dan malam hakikatnya.

Dan lagi, berhenti hendaknya ayahanda, menyamai seperti nama Dewa, seperti perbuatan ayahanda tadi, termasuk perdana mentri ayahanda sekalian, sesuaikan dengan nama manusia, demikian juga dengan kebangsaannya, bagaikan Brahmatya ( pemarah ) namanya orang demikian, tidak akan bisa menemukan keselamatan di Sorga, manakala sudah meninggal, akan dikutuk oleh Sang Hyang Yamadipati, dimasukkan ke dalam Kawah Api, itulah kematian orang yang “salah uajar ” namanya. Adapunayahanda sekarang, merupakan saranaku bersama Maharaja Kṛṣṇa, menegakkan ajaran Karma Sanyasa, sebagai Bapak ibunya dunia”. Demikian kata Raja Yudhīṣṭira.

Sévinaḥ dévāntrarésu, Samayaḥ vaca saṅyuktaḥ, Samprītyaṃ déva kātitaṃ, Mama saṅkyaṃ pramajitaṃ.

Menyembahlah Raja Candrabherawa, seluruh petuah-petuah itu diturutinya. Entahlah berapa lamanya merasakan kesenangan orang-orang  dalam persahabatan, sama-sama paham dalam ajaran Āgama, bagaikan Ātmay yang telah bebas, demikian dibayangkannnya, sebab sama-sama sudah mendalami, tentang hakekat menjelma menjadi manusia, telah dibenarkan oleh Maharaja Kṛṣṇa, banyaklah perwujudan Dharmaśāstra ( ajaran kebenaran ) yang dibicarakan olehnya bertiga. Betapa senang hati beliau Raja Kṛṣṇa. Beliau berkeinginan menikahkan Raja Yudhīṣṭira, maka disuruhlah utusan pulang ke Negeri Dwārawati, meminta supaya para Raja ikut meminang, terutama Sang Baladéwa, bersama permaisurinya sekalian, yang terutama permaisuri Déwi Drupadi, yang bagaikan Dewanya kesetiaan.

Tidak diceritakan entah betapa lama, tentang pernikahan beliau Raja Yudhīṣṭira, bersuami istri dengan Dyah Ratna Śaśangka.

Rva śrī dharma saṅyuktaḥ, Umaśrutiḥ samāgamāṃ, Dévanaṃ subrataḥ strīyaḥ, Évatvaṃ parikirtitaḥ.

Bagaimana Bhaṭāra Dharma beliau, menikah dengan Déwi Umaśrutī, yang merupakan Déwanya istri yang setia pada suami beliau, begitulah keutamaan beliau. Setelah dibuatkan upacara, datanglah permaisuri beliu semua, sebagai pemimpinnya beliau Bhagawān Domya, dan Bhagawān Kṛpa, diiringi oleh para Raja, sebagai komandannya Raja Baladéwa.

Tidak diceritakan perjamuannya, tiada henti siang dan malam, tentang kemeriahan pesta. Entah beberapa lamanya beliau di negeri Déwāntara, bersiap- siaplah masyarakat di sana, menobatkan pejabat perdana mentri lagi, sebagai perdana mentrinya Raja Candrabherawa, semuanya sudah diberi petunjuk dan pelajaran oleh Raja Yudhīṣṭira, dan juga tentang pelaksanaan ajaran Karma Sanyaṣa,  yang  disebut  Tri  Kayā  Parisuddha,  sebagai  tonggak  awal  orang  di

Negeri Déwāntara membangun Sanggar Děngěn dan Ṣad Kahyangan.  Hal itu tidak boleh dilepaskan, sebagai pengejawantahan upacara Déwa Yadnya dan Bhūta Yadnya.

Hendaknya dengan lengkap diberi upacara sesajen tentang  kelahiran menjadi manusia dan Pitra Tarpana yaitu upacara kematian. Tidak ada berani melanggar pada perintah Raja Yudhīṣṭira.

Tidak diceritakan konon sepulang para Raja yang diundang semua.

Vacyanaṃ cāndrakiranaṃ, Bhajét sakyaṃ Yudhīṣṭiraḥ, Catvārthé pāṇḍavānjaliḥ, Céttat pancali putrinaḥ.

Dikisahkan Dyah Ratna Śaśangka, setia bakti kepada Raja Yudhīṣṭira, demikian juga kepada Sang Catur Paṇḍawa, mengabdi kepada dewi dropadi. Senanglah hati Raja Yudhīṣṭira, beliau diberi gelar Raja Adi Buddha, dijadikan sebagai penyelamat jiwa beliau oleh Raja Yudhīṣṭira, dalam melindungi dunia. Tidak perlu ditanyakan lagi mengenai kemahiran dalam dirinya.

Tiada lama hari-hari telah lewat, kembali pilanglah Raja Yudhīṣṭira. Beliau Bhagawan Domya dan Dang Hyang Kṛpa menjadi pemimpin rombongan perjalanan. Turut pila Raja Kṛṣṇa dan Raja Baladéwa, didampingi  oleh Sang Catur Paṇḍawa, dan juga permaisuri beliau semua, diiringi oleh para nelayan semuanya. Terkemuka Dewi Dropadi, tiada ketinggalan Dyah Ratna Śaśangka, semua disambut dengan kereta kencana. Tidak terhitung banyaknya prajurit.

Tidak diceritakan perjalanannnya, mereka telah tiba dinegeri Hastina. Bertolak pulanglah Raja Baladéwa, ke negeri Madhura. Raja Kṛṣṇa kembali pulang ke negeri Dwārawati. Banyak lagi kalau diceritakan perihal keadaan dunia setelah mengamalkan ajaran Karma Sanyaṣa.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga