Tattwa / Tutur Candrabherawa dengan Yudistira


Tattvājnānaṃ śarīrétu, Vaśanaṃ prāṇa bhujayét, Sapta gangga samudhavaḥ, Sapta bhūḥ guhya rocyaté.

“Jadi ketahuilah olehmu laksana dari Aji Bhuwana Śarīra ( pengetahuan tentang mikrokosmos ). Kedudukan sapta patala dalam diri. Sapta Bhuwana, Sapta Parwata, Sapta Gangga, Sapta Sāgara, Saptāgni, Sapta Sūnya. Demikianlah juga aliran Nādi semua. Dengan demikian menjadi agung dan bercahaya gaiblah dirimu. Prāmana itu memiliki tiga puluh tiga bagian, yaitu : Prāṇa, Apāna, Samāna, Udāna, Nyāna, Nāga, Kurmara, Krékara, Déwadātta, Dananjaya, Pramancaka, Dandhari, Kowéra, Baruṇa. Itulah rajanya Bāyu. Adapun yang lainnya adalah Cāranya, Indrapāna, Kumāra, Bhīma, Kasmaran, Nilanjar,  Pitākāra,  Bhérika,  Mūrtika,  Prakaśa,  Angkāra,  Kéśwarya,    Utsaha,

Nirmala, Hanuman, Sugriwa, Anggada, Nila, dan Jambawan. Itulah Bāyu yang utama kemudian bertemu dengan Sang Aṣṭami istrinya. Ketahuilah kedudukannya dan kerjanya masing-masing. Itu semua ada dalam dirimu. Pramāṇa itu ( pada hakikatnya ) tunggal lalu masing-masing mengakibatkan sepuluh penderitaan. Oleh karena itu setiap orang membawa tiga ratus jenis penderitaan. Dalam dirimu sendiri itu dipelajari”.

Demikian kata Śri Candrabherawa. Para mentrinya semua menghaturkan sembah.

Amaṃ Śri dévātaraśca, Ataḥ prakosantanaśca.

Śri dévātaraśca kembali bertanya kepada Sang Wrěkodhara. “ Hai kamu Sang Bhīmaséna, apa yang menjadi tujuanmu datang kemari dengan segala hormat, sampaikanlah semuanya kepadaku.

Praṇata nujé vijnéyaḥ, Dūté samakyaté nariḥ.

Sang Bhīma berkata: “Seperti Śri Nātha Bhérawa katakan, saya selaku utusan dari Śri Narārya Kṛṣṇa dan kakak hamba, Śri Yudhiṣṭira Raja kerajaan Bharata. Saya bertugas menyusup ke desa-desa untuk mengawasi orang yang berprilaku salah, yaitu orang yang disebut agamyāgamana, memperistri  yang tidak patut diperistri; orang yang membuat masyarakat sengsara; dan yang lain, yaitu yang berperilaku seperti tuan. Entahlah berapa sudah banyaknya raja tidak hendak bersahabat lagi dengan raja junjungan hamba berdua, yaitu yang bernama Śri Kṛṣṇa dan Yudhiṣṭira. Oleh karena itu beliau ingin menyerang negara anda. Beliau ingin menegakkan kewajibannya sebagai Kṣatriya. Beliau ingin menang atau mati dipertempuran.

“Selain itu, ada lagi Purwa Dharma śasana ( tradisi kuno ) yanag beliau yakini dan dipegang teguh, yaitu anugrah Bhaṭāra Yama kepada beliau dahulu kala. Tradisi kuno itu berasal dari ajarannya Bhaṭāra Mahadéwa, yang juga dijunjung tinggi oleh sembilan dewata, demikian juga Ṛṣi, Dewa, gandharwa, dan catur loka pala. Dan telah disaksikan oleh Sang Hyang Surya Candra. Adapun tradisi kuno dimaksud terkenal dengan nama Tri Kāya Pariśuddha. Keyakinan yang diajarkan oleh tradisi kuno itu antara lain adalah di setiap rumah anggota

masyarakat diwajibkan mendirikan Sanggr Děngěn, Kabuyutan, dan Sad Kahyangan, tempat suci untuk memohon perlindungan bagi masyarakat di desa- desa. Demikian juga masyarakat diwajibkan mengupacarai bayi untuk menyucikan mala dari yang menjelma. Lalu ( untuk keselamatan ) di kemudian hari, anggota masyarakat wajib mengupacarai mayat. Tujuannya adalah untuk menyucikan Ātma setelah lepas dari dunia ini dan dapatkembali dari asal sejatinya dahulu. Dan yang terutama, masyarakat diwajibkan bakti kepada Dewa, menyuguhkan sesajen kepada Bhuta yang disajikan pendeta oleh orang suci yaitu Sang Brāhmāṇa Catur Āsrama, yaitu orang suci yang dijadikan pendeta kerajaan oleh sang raja. Itulah yang disebut Panca Yadnya. Karma Sanyasa nama lainnya. Demikian ajaran dari Pūrwa Dharma Śāsana”. Demikian kata Sang Bāyusuta.

Dévāntara vaca śṛṣṭaḥ, Pralāpaṃ bhīmaté kaścit Nasitkalé śloka tévyaḥ, Duryodhanéccā śrayanté,

Śri Candrabherawa menjawab: “AUM, hai kamu Narayana Wrěkodhara, Aku hendak menceritakan kepadamu. Aku tahu akan keyakinan seperti kamu katakan. Dahulu ada lamaran dari Śri Duryodhana datang kepadaku. Akan tetapi karena tujuanku adalah dharma kṣtriya śura mahāratha, maka aku tidak berkeinginan untuk berperang melawan Sang Panca Pāṇḍawa. Sebab  yang menjadi peganganku juga Dharma. Tidak ada bukti bahwa aku menyakiti sang raja berdua yang bernama Kṛṣṇa dan Yudhiṣṭira”.

“Entahlah berapa sudah orang melakukan jual beli dari sini ke Dwārawati, sebaliknya dari Dwārawati datang kesini, hasil usaha tambang dilayarkan. Tidak ada yang melarang, demikian juga orang-orangku yang datang ke Dwārawati, Śri Kṛṣṇa tidak ada pula menghambat perjalanan mereka. Lalu apa tujuan menyakiti ( hati ) beliau”.

Upataḥ vacté taśmin.

“adapun kini, ( seperti apa yang ) anda katakan kepadaku, aku tahu asal-usul tradisi yang disebit Tri Kāya Pariśuddha seperti yang diajarkan oleh Sang Hyang Mahādéwa di asrama tempat pemujaan Beliau di puncak Gunung Kailasa dahulu kala,  bersama  dewata  semua.  Kini  ajaran  tersebut  telah  dianugrahkan  kepada kakakmu Sang Yudhiṣṭira. Ajaran itu telah disebarluaskan di dunia dan dianut oleh seluruh masyarakat di kerajaan Bharata. Adapun tujuan masyarakat segera menganut ajaran tersebut, karena semata-mata takut kepada sang raja berdua. ( mereka takut ) karena beliau sangat sakti. Mereka yang mengnut ( ajaran itu sesungguhnya ) tidak tahu dengan apa yang disebut Karma Sanyasa. ( tidak tahu perihal hakekat ) mengapa orang menyembah arca dan kabuyutan. Walaupun begitu mereka menyembah-nyembah juga. Setiap ada anggota masyarakat yang tidak berlaku demikian dibuatkan dalih bahwa ia telah berbuat jahat, lalu dijatuhi hukuman oleh sang raja. Sementara itu mereka yang menyembah Arca dan kabuyutan tidak tahu bahwa hakekat dari Sad Kahyangan ( sesungguhnya ) ada pada dirinya. Tidak tahu sebab mulanya sembah. Tidak  tahu  tujuan sembah. Siapa yang dipuja. Siapa yang memuja. Sesungguhnya tidak ada dewa di Prasada, demikian pula di Meru, demikian pula di Kabuyutan. Sesungguhnya śunya “kosong” itulah yang dibuatkan arca perwujudan, dicitrakan sebagai wujud dewa dengan kayu cendana, lalu dibuatkan Banten, disakeralkan oleh banyak orang. Bila dalam penganutnya keadaan cuntaka, “berhalangan”, maka tidak ada orang datang sembahyang ke tempat suci. ( ketika dalam keadaan demikian ) tidak ada dewa yang bersabda agar dibuatkan Banten. Bila itu dihentikan sampai kedikemudian hari, tidak juga dewa yang lemah lesu karena tanpa Banten. Demikian juga halnya dengan Bhuta Yadnyai. Disini di Déwantāra, masyarakat tidak tahu dengan apa yang disebut dengan caru, sesajen untuk para Bhuta. Siapakah yang pernah melihat mayat Bhutakala yang mati karena memakan caru. Dan perhatikanlah arca yang tidak pernah dihaturi Banten itu, toh wajahnya tetap seperti dahulu kala. Jika diambilkan lalu dilemparkan ke semak belukar, tidak juga ada tegur sapanya. Rasa takut dibuat sendiri. Membuat berbagai macam upacara kurban, tetapi tidak ada bukti yang didapat. Demikian juga halnya yang lain, masyarakat dititahkan untuk melaksanakan upacara kurban, sampai habis semua barangnya yang berharga diperebutkan oleh orang banyak. Ada harta benda yang lain lagi, dipakai Daksina ”persembahan’ lalu dihaturkan kepada pemimpin upacara, dan itu dipandang sebagai persembahan kepada Sang Hyang Widhi. Sementara itu tidak pernah diketahui Sang Hyang Widhi menikmati Banten. Dan ketika upacara itu berakhir, Sang Hyang Widhi tidak juga pernah terlihat memberi anugrah kepada orang yang telah selesai ber-yadnya. Bagaikan percuma kemuliaan usaha orang yang demikian. Sebaliknya, jika berharap memulyakan kayu-kayu bukanlah Sanggar dan Arca, semuanya itu berasal dari kayu. ( maka lebih baik ) kelestariannya tumbuh subur ditempatnya yang dipuja. Tidak usah berbuat percuma dalam pikiran”.

“Demikianlah, hai Sang Wrěkodhara, aku tidak ingin meniru orang bodoh, setiap hal dihaturi banten, setiap hal dipuja-puji. Aku ( sesungguhnya ) tidak takut kepada orang yang sangat sakti. ( namun demikian ) aku tidak berani kepada Sang Kṛṣṇa dan Yudhiṣṭira. Tetapi, jika Beliau yang mendalami marah padaku, aku pun tidak akan mundur, sebab aku kṣatriya sejati. Jika kau, Bhīma, tidak mengetahui dharma-ku sekarang aku beritahu kamu. Bakarlah, aku tidak akan terbakar. Tenggelamkanlah ke dalam samudra, aku tidak akan tenggelam. Kuburlah, aku tidak akan mati busuk. Tusuklah, aku tidak akan terluka. Setelah kamu mengetahui itu, hai Wrěkodhara, laporkanlah kepada kakamu, Sang Śri Yudhiṣṭira. Demikian kata Śri Candrabherawa.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga