Yoga dan Kelepasan dalam Lontar Tutur Parakriya


Sebuah lontar ajaran filsafat yang disebut dengan yoga aksara, dimana isi Lontar Tutur Parakriya ini sebagian besar adalah tentang aksara dan kombinasi aksara yang melahirkan berbagai wujud di alam semesta ini. Dengan mengolah berbagai jenis aksara akan didapatkan berbagai macam energi. Dan memuat tentang ajaran yoga untuk pembebasan (moksa). Beberapa penekun ilmu mistik di Bali menggunakan kombinasi aksara untuk mendapatkan kekuatan mistik.

Tutur Parakriya turunan lontar aslinya dari Ida Pedanda Keniten dari Tampaksiring (Gianyar), dan disalin ke dalam lontar sesuai aslinya oleh I Ketut Kaler dari Br. Paketan, Singaraja serta dikoleksi oleh Museum Gedong Kirtya.

 

Ringkasan Isi Lontar Tutur Parakriya

 

Lontar Tutur Parakriya menguraikan tentang percakapan antara Bhatara Siwa dengan putranya, Bhatara Kumara. Diawali permintaan dari Bhatari Uma agar Sang Hyang Kumara berkenan menanyakan kepada Bhatara Iswara tentang ajaran yang mengantarkan sesorang menuju moksa. Selanjutnya Sang Hyang Kumara bertanya mengenai asal mula kejadian yang dinyatakan bahwa segala sesuatu yang ada berasal dari Ida Sang Hyang Widhi yang diistilahkan dengan niskala.

Dari keadaan niskala kemudian timbul sesuatu yang berwujud namun tanpa ukuran sehingga disebut matra. Dari matra tersebut kemudian menyusul berturut-turut nadha, windu dan ardhacandra yang kemudian menimbulkan pusat keadaan yang disebut dengan wiswa. Selanjutnya dari wiswa muncul aksara yang meliputi konsep-konsep Triaksara, Pancabrahma dan Pancaksara. Aksara bersangkutan meliputi suara dan wyanjana yang merupakan perwujudan dari para dewata.

Dengan perwujudan dewata seperti itu, maka kepada para pendeta dianjurkan agar dalam pemujaan senantiasa dilengkapi dengan sarana kesucian yang terdiri dari bunga, biji, beras, dupa, lampu dan air cendana. Penggunaan perlengkapan tersebut sejalan dengan pengertian tentang kesucian wujud Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dinyatakan dalam berbagai media diantaranya adalah dalam Ongkara. Perwujudan Tuhan dalam hubungan lain terdapat dalam hubungan antara dewa dengan arah mata angin.

Dikatakan bahwa sesungguhnya jalan menuju kebebasan abadi yang disebut dengan “marganing anemu kamoksan” adalah pemutaran aksara yang utama sebagai sasaran yoga dalam wujud Ongkara. Yang dapat dijabarkan kedalam Triaksara, selanjutnya ke Pancaksara dan segala macam aksara keramat. Dengan bagian keramatnya pada nadha, windhu dan ardhacandra sebagai tujuan dari pemusatan pikiran. Pemusatan pikiran akan tercapai dengan sempurna melalui tehnik pemejaman mata, karena dengan demikian akan tampak sinar yang sangat suci dan kesunyian. Di samping itu disebutkan pula mantra-mantra seperti mantra Pancawara, Sadwara dan Saptawara.

Hidup ini tidak kekal, lahir dan tumbuh di tanah yang kembali kepada air, kemudian kepada sinar, selanjutnya kepada angin, yang akhirnya kepada akasa. Pernyataan tersebut dilandasi dengan pengertian tentang adanya persatuan antara tubuh dengan dewa sebagai lambang persatuan kosmos, antara lain: Saptaloka, Sapta Patala, Sapta Dwipa (bhumi), Saptaparwata dan Sapta Tirtha.

Selanjutnya dalam rumusan tenaga kehidupan disebutkan: pada pangkal jantung berada Dewa Isa yang menimbulkan sifat toleransi, pada bagian tengah jantung berada Dewa Dharma yang menimbulka sifat suka bersahabat, pada mulut berada Dewa Iswara yang menimbulkan sifat kasih sayang, bahan makanan Dewa Brahma yang menimbulkan semangat hidup, pada bahan rasa berada Dewa Wisnu yang menimbulkan sifat prilaku, pada bahan tenaga berada Dewa Mahadewa yang menimbulkan sifat simpati.

Mengenai Panca Maha Bhuta yang dihubungkan dengan tubuh manusia disebutkan: Pertiwi menjadi daging, Apah menjadi darah, Teja menjadi sinar, Bayu menjadi nafas, Akasa menjadi dwara.

Ada juga rumusan Panca Bayu yaitu Bayu Prana, Bayu Apana, Bayu Udana, Bayu Biana, tentang Sapta Pada, Tri Anta Karana, Tri Loka. Dewanya Tri Guna disebutkan: Dewa Rudra sebagai rajas, Dewa Sangkara sebagai tamas, Mahadewa sebagai sattwam.

Bagian Bhuana Sangsipta disebutkan bahwa itulah merupakan jalan menuju kelepasan bagi seorang Yogiswara. Jika sudah memahami tentang isi dan sifatnya maka setidak-tidaknya tentu akan mencapai sorga. Ditegaskan sekali bahwa seorang Yogiswara hendaknya memahami kesadaran diri melalui ajaran falsafah karena merupakan jalan untuk mencapai sorga.

Tutur Parakriya ditutup dengan sebuah mantra pamandiswara yang mana Bhatara Siwa adalah sarinya dunia semua, sebagai penguasa dunia dan sebuah percakapan tentang kewajiban seorang pendeta yang sejati, yang senantiasa mengusahakan kesadaran diri.


Sumber

I Wayan Arya Adnyana
Balai Diklat Keagamaan Denpasar
Ni Wayan Yuni Astuti
Universitas Hindu Indonesia Denpasar
Ida Bagus Putu Eka Suadnyana
STAHN Mpu Kuturan Singaraja
Transkrip Tutur Parakriya
Koleksi Gedong Kirtya, No. IIIB.601/1



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga