Shiwa-Buddha di Kitab Sang Hyang Kamahayanikan


Kitab Sang Hyang Kamahayanikan merupakan kitab kuno yang bersifat Tantris. Memuat ajaran jalan pembebasan (moksha), Kependetaan serta tata aturan hubungan Guru/Nabe dan murid (aguron-guron).

Shiwa dan Buddha adalah dua agama yang lahir di Bharatawarsa. Untuk mengungkap perkembangan Shiwa dan Buddha, tampaknya tidak dapat dilepaskan dari evolusi agama Hindu terutama pada zaman Brahmana. Mengingat ajaran Shiwa maupun Buddha sama-sama lahir dan berkembang pada zaman ini. Ajaran Shiwa merupakan kelanjutan dari agama pra-Weda yang kemudian berakulturasi dengan agama Weda terutama pada zaman Brahmana. Sebaliknya, ajaran Buddha dibangun oleh Siddharta Gautama untuk menentang sejumlah aspek dari agama Hindu khususnya Brahmanisme. Perbedaan prinsip ajaran ini melahirkan pertentangan keagamaan, bahkan pergolakan politik di India. Penentangan terhadap ajaran Buddha di India terutama dilakukan oleh mazhab Shiwa dan Waishnawa, serta golonga Wedantis lainnya. Selain itu, pengaruh kuat dari ajaran Tantrayana juga turut memberikan pengaruh besar dalam perkembangan agama Shiwa, Waishnawa, dan Buddha di India. Sebaliknya, agama Buddha juga mendorong munculnya perbedaan prinsip ajaran antara Shiwa dan Waishnawa pada masa kemudian.

Dengan masuknya agama-agama India maka dikenallah jalan dua arah, yakni “Tuhan turun kepada manusia, dan manusia naik menuju Tuhan”. Ajaran “naik turun” ini dalam rangka hubungan penyatuan manusia dengan “Tuhan” ini, terdapat dalam ajaran ‘Tantrayana’. Tujuan Tantrayana adalah jiwanmukti (meraga sukma) yakni pembebasan diri sementara dalam hidup ini dengan usaha diri sendiri.

Seorang tantris tidak hanya menguasai energy diri sendiri yang tersimpan dalam tubuhnya, tetapi juga menguasai energi universal, sebab mikrokosmos manusia adalah satu zat dengan makrokosmos semesta, sehingga mencapai tingkat kesempurnaan secara spiritual. Tantrayana menghubungkan tubuh dengan semesta melalui cakra atau pusat. Jejak-jejak tantrayana di Bali sangat mudah kita jumpai dalam pelaksanaan tradisi berupacara. 

Dang Hyang Astapaka seorang wiku dari paham Budha Mahayana dari tanah Jawa. Keturunan beliau inilah yang menjaga dan merawat tradisi kependetaan Brahmana Budha sampai saat ini. praktek kependetaan di Bali dimana terkandung unsur-unsur ajaran Ketantraan di dalamnya. Hal tersebut bisa dilihat dari praktek-prakteknya serta kitab-kitab yang menjadi pegangan para pendeta. Dengan perjalanan panjang peradaban Siwa-Budha di Bali dan Nusantara yang membentuk peradaban akulturasi dengan system keyakinan local, bukanlah hal yang mudah untuk memilah kembali pada bagian mana unsur tantra tersebut masih melekat. Apalagi dalam praktek yadnya di Bali kedua pendeta dari paham berbeda tersebut sudah saling mengisi dalam memimpin tiap upacara yadnya. Dominasi paham Siwa turut memberi sumbangsih dalam peleburan dua paham kependetaan tersebut.

Banyak susastera Jawa Kuna yang memperbincangkan tentang Shiwa-Buddha. Kesusasteraan yang bercorak Buddhistik, antara lain: Sang Hyang Kamahayanikan, Sutasoma, Arjuna Wijaya, Kunjarakarna, Nagarakrtagama, Hariwangsa, Tantu Pagelaran, Korawashrama, dan Bubuksah Gagakaking.

Kitab-kitab yang bercorak Shiwaistik, antara lain: Bhuwanakosa, Wrespatitattwa, Mahajnana, Tattwa Mahajnana, Jnana Siddhanta, dan Bhuwana Sangksepa. Meskipun memiliki corak yang lebih Buddhistik ataupun Shiwaistik, tetapi pada intinya kitab-kitab tersebut menguraikan bahwa Shiwa dan Buddha adalah dua prinsip yang Tunggal.
Dalam kurun waktu hampir bersamaan dengan perkembangan Shiwa-Buddha di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yakni antara abad ke-8 sampai ke-15 Masehi, agama Shiwa-Buddha juga telah berkembang di Bali.

Prasasti Sukawana menyebutkan keberadaan dua kelompok orang suci, yaitu Buddha dan Shiwa. Catatan Goris (1968:4) tentang sembilan sekte yang telah berkembang di Bali pada seputaran abad ke-10 juga menegaskan adanya sekte Shaiwa Siddhanta dan Sogata. Dalam sejumlah prasasti tentang sebutan orang suci, yakni Dang Acarya untuk pendeta Shiwa dan Dang Upadhyaya untuk pendeta Buddha. Agama Siwa-Buddha masih hidup di Bali sampai saat ini, terutama dengan masih dilaksanakannya upacara yajna yang dipuput oleh Tri Sadhaka, yaitu Shiwa, Buddha, dan Bhujangga.

Pengenalan Singkat Sang Hyang Kamahayanikan

Dalam Kepustakaan Jawa (1952 dan 1957) yang disusun Prof Dr. R.M. Poerbotjaraka, Sang Hyang Kamahayanikan ditempatkan sebagai sastra tak bertembang dan termasuk salah satu hasil karya sastra paling tua. Di samping itu ada klasifikasi sastra dalam tembang, dan periode angka tahun yang lebih muda. Sang Hyang Kamahayanikan ditulis dalam aksara dan bahasa Sanskerta dan dengan penjelasan bahasa Jawa Kuno. Pada bagian terakhir tertulis nama Raja Mpu Sindok (929-947 M atau 851-869 Saka) dari Kediri, Jawa Timur. Keterangan yang ditambahkan, kitab ini sudah mengalami alih aksara dalam aksara Latin, dan keterangannya ditulis dalam bahasa Belanda oleh J. Kats. Dicetak di Den Haag, pada 1910.

Isi Sang Hyang Kamahayanikan terkait dengan ajaran-ajaran Buddha Mahayana. Antara lain menjelaskan dewa-dewa dalam Budha Mahayana. Penjelasan yang ada dalam Sang Hyang Kamahayanikan tersebut amat cocok dengan raja-raja Buddha yang ada dalam relief di candi Borobudur. Di samping itu, Sang Hyang Kamahayanikan juga memuat bimbingan untuk orang bersamadi, dan beberapa hal yang lain.

Sebuah karya disertasi dari Prof. Dr. Noerhadi Magetsari Candi Borobudur, Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya (1997) antara lain memperlihatkan beberapa teori yang melacak asal usul dari Kitab Sang Hyang Kamahayanikan, terkait dengan penyusunnya dan waktu penyusunannya. Baik dari sudut pandangan arkeologi, dan sudut pandang filologi. Ada dua tokoh yang diacu yakni Dignaga seorang ahli logika dari aliran Yogacara (480-540), dan Sri Isana Bhadrotungadeva Mpu Sindok penguasa dan pendiri wangsa Isana di Kerajaan Kediri, Jawa Timur (930). Dari kedua pandangan tersebut, disertasi tersebut membangun teorinya dengan penelitian yang dilakukannya.

Satu masalah yang ada dengan kehadiran Sang Hyang Kamahayanikan antara lain terkait dengan arti tersembunyi dari bahasa semu yang digunakan karena Sang Hyang Kamahayanikan memuat ajaran rahasia (guhya) dan bagian-bagian yang memuat ajaran lisan dari seorang guru.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga