Tatanan dan Kewajiban Pandita dalam Lontar Siwa Sasana


Lontar Siwa Sesana merupakan sebuah lontar yang diperuntukan kepada para sadhaka yang menganut aliran Siwa Sidhanta dimana, dalam lontar ini berisikan tata cara seorang sisya yang akan menjadi pandita. Dalam lontar ini dijelaskan secara detail mengenai tata cara berguru, hal yang patut diperhatikan sebagai seorang pandita, sampai kepada hukuman-hukuman yang akan diterima jika seorang pandita menyimpang dari ajarannya. Sapai saat ini penulis beranggapan bahwa semua hal yang tercatat dalam Lontar Siwa Sesana masih relevan diterapkan dalam kehidupan sosial jaman sekarang karena semua yang tercantum di dalamnya memeng begitu adanya sesuai dengan tatanan dan kewajiban seorang pandita.

Lontar “Siwa Sasana” ini ditujukan untuk para pandita Siwa. Karena di dalamnya ada menyebutkan bahwa sasana ini untuk pandita Saiva di Jawa, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa lontar ini ditulis di Jawa.

Di dalam Siwa Sasana disebutkan adanya sekte-sekte Siwa yaitu Siwa Siddhanta, Waisnawa, Pasupata, Lepaka, Canaka, Ratnahara dan Sambhu. Diantara nama sekte-sekte itu yang masih sampai sekarang ialah
Siwa Sidhanta untuk menamakan ajaran agama Hindu Indonesia.

Bila diamati ternyata lainlah Siwa Siddhanta Indonesia dengan Siwa Siddhanta di India. Saiwa Siddhanta Indonesia merupakan kristalisasi dari berbagai ajaran agama Hindu khususnya dari kitab-kitab Purana. Sehubungan dengan itu maka Siwa di Indonesia kadang-kadang disebut Siwa Purana.

Siwa Sasana adalah sasana untuk pandita Siwa. Karena agama Hindu Indonesia memuja Bhatara Siwa, maka Siwa Sasana adalah untuk semua sulinggih Hindu Indonesia.

Ajaran Dalam Lontar Siwa Sesana

Dalam Siwa Sasana penggunaan kata-kata sadhaka dang upadhyaya, kadang-kadang berselang-seling. Semuanya menunjuk pada seseorang yang melaksanakan hidup kerohanian sebagai pandita. Acarya dan dang upadhyaya lebih cenderung berarti seorang pandita guru.

Disamping itu ada pandita yang disebut dang acarya wrddha pandita, sriguru pata, dang upadhyaya pita maha, prapita maha, dan bhagawanta yang masing-masing berarti pandita guru yang agung, guru yang mulia yang senang membaca, kakek guru, kakek yan agung, dan bhagawan. Perbedaan diantara para pandita tersebut didalam Siwa Sasana tidak dijelaskan.

Kepada mereka itulah Siwa Sasana ini ditunjukan untuk dilaksanakan dengan tujuan agar mereka dapat mempertahankan martabatnya sebagai pandita, dan menegakkan dharmanya. Suatu uraian yang panjang dalam lontar ini ialah uraian tentang syarat-syarat seorang acarya yang dapat dijadikan guru dan yang harus dihindari sebagai guru.

Dalam sloka (2a) dikatakan. Syarat-syarat acarya yang baik dijadikan guru ialah :

  1. Berkepribadian baik
  2. Sastrawan
  3. Ahli Weda
  4. Menguasai hawa nafsu
  5. Taat melaksanakan brata
  6. Senior dalam umur
  7. Ahli bahasa

Acarya krta diksita yaitu acarya yang menjadi gurunya guru ialah acarya keturunan sadhaka yang memang disiapkan untuk menjadi acarya. Ia juga disebut dang upadhyaya. Acarya yang demikianlah  tempat orang mohon sangaskara (penyucian) dan bhasma (abu suci).

Selanjutnya Dalam sloka (5a), dikatakan, dia yang di-sangaskara oleh acarya seperti itu akan :

  1. Hilang nodanya
  2. Hilang papanya
  3. Bebas dari mara bahaya
  4. Bebas dari duka nestapa

Selanjutnya dalam skola (6b) dinyatakan bahwa Orang harus menghindari acarya yang tidak baik untuk dijadikan guru.

Acarya yang demikian ialah acarya yang : Pengetahuannya rendah, acuh tak acuh, cepat bingung, linglung, kaku.

Duryasa yaitu bermoral rendah seperti rendah budi, congkak, curang, senang mabuk, licik, angkara murka, iri hati, senang berbohong, benci berbuat jasa, bermusuh pada teman, menghina ibu bapaknya, menghina brahmana dan menghina Tuhan. Acarya yang demikian akan terbentur-bentur kesana kemari karena bodohnya sehingga ia akan menanggung hukuman para dewa. Akibat dari semua ini, maka acarya yang demikian itu akan tetap hanyut dalam perbuatan yang melawan dharma sehingga pintu neraka terbuka lebar-lebar untuknya.

Acarya yang demikian akan terbentur-bentur kesana kemari karena bodohnya sehingga ia akan menanggung hukuman para dewa. Akibat dari semua ini, maka acarya yang demikian itu akan tetap hanyut dalam perbuatan yang melawan dharma sehingga pintu neraka terbuka lebar-lebar untuknya.

Selanjutnya dalam sloka (9b) dikatakan bahwa, walaupun seseorang sudah termasuk acarya yang baik, tidak baik tergesa-gesa melaksanakan krta diksa bila belum matang dengan ajaran kependetaannya maka, Ia harus  Mengamat-amati akan sifat-sifat baik dan dosa pada dirinya dan berusaha menjadikan dirinya suci, Melaksanakan tugas-tugasnya sampai selesai, Mengembangkan keluhuran budi dan kecerdasan akal.

Dasar untuk mewujudkan hal-hal tersebut diatas ialah  trikaya yaitu :

  1. Kaya yaitu badan /perbuatan
  2. Wak yaitu kata-kata
  3. Manah yaitu pikiran

Trikaya ini dilaksanakan berdasarkan subhakarma perbuatan-perbuatan baik. Bila ketiga-tiganya sudah dilaksanakan dengan baik maka ia disebut trikayaparamartha seperti yang disebutkan dalam sloka (11b). Seorang dang upadhyaya harus melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan kaya sebagai berikut :

  1. Senang bekerja
  2. Melangsungkan yadnya
  3. Melaksanakan puja dan japa
  4. Memuja Bhatara
  5. Terus mendalami sastra agama
  6. Mengajar
  7. Sopan menerima tamu sadhaka
  8. Membantu yang melaksanakan yoga dengan dana punya yang diperlukan.

Selanjutnya dalam sloka (12b) Seorang Dang Upadhyaya harus melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersangkut-paut dengan wak yaitu :

  1. Memperbincangkan tentang pemujaan kepada para dewa dan Brahmana.
  2. Mendiskusikan pengetahuan, filsafat dan agama.
  3. Mempelajari dan merapal mantra-mantra Weda.
  4. Berkata jujur
  5. Menepati janji
  6. Tidak berkata-kata yang menyakitkan hati.
  7. Tidak mengeluarkan kata-kata kasar
  8. Tidak memfitnah
  9. Tidak berbohong.
  10. Tidak menghina.
  11. Tidak mencerca sesama sadhaka dangupadhyaya
  12. Tidak mencela brata sesama sadhaka.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga