Terjemahan Lontar Siwa Sasana
Hendaknyalah Siwa Sasana ini diperhatikan oleh para sadhaka semua, semua dang acarya mazab Saiwa yang terdiri dari Saiwa siddhanta, Wesnawa, Pasupata, Lepaka, Canaka, Ratnahara dan Sambhu.
Demikian rincian sang sadhaka mazab Saiwa, terutama dang acarya pandita yang agung, sri gurupata, dang upadhayaya, pitamaka, parapitamaha, bhagawanta. Demikian adanya semua.
Mereka semua hendaknya dengan seksama mengusahakan mempertahankan hukum-hukum Siwa Sasana dengan tujuan menegakan kependetaannya, tertib hidupnya, kelangsungan usaha-usahanya, perilakunya yang baik, dan dharmanya yang mulia, lebih-lebih pula tetap berlangsungnya tapa bratanya agar jangan menyimpang dan menyasar dari hukum kependetaan. Itulah sebabnya hukum Siwasasana diajarkan oleh sang pendeta guru agung pada jaman dahulu. Adapun sang sadhaka, dang acarya yang patut dijadikan guru, dan yang tidak baik dijadikan guru, itulah yang akan dijelaskan terlebih dahulu yaitu :
- Sajjanah – orang sejati
- Wredaha wehasa – ?
- Sastrajnah – pandai tentang sastra
- Wedaparagah – ahli weda
- Dharmajnah – pandai tentang dharma
- Sila sampanah – berbudi baik
- Jitendriyah – menguasai hawa nafsu
- Drda bratah – taat melaksanakan brata
Inilah sang sadhaka yang patut dijadikan guru pengajar oleh masyarakat, yaitu pandita guru yang senior, senior dalam umur, acarya yang menguasai ilmu bahasa, menguasai bermacam-macam pengetahuan, ilmu logika, tata bahasa dan lain-lainnya.
Acarya yang ahli Weda, yang menguasai bagian-bagian Sanghyang catur Weda, dapat menghapalkan Sanghyang Sruti dan Smreti. Acarya yang teguh menerapkan dharma, mampu melaksanakan yasa, dana, dan kirti. Acarya yang suci hatinya, berketetapan hati untuk menuruti tuntunan hidup yang saleh, lagi pula suci, bertingkah laku yang baik. Acarya yang dapat menaklukan hawa nafsunya, dapat melepaskan diri dari ikatan kenikmatan duniawi. Acarya yang tabah, teguh, tetap hati dalam tapa brata. Orang mulia seperti itulah yang patut dijadikan dang upadhyaya.
Yang disebut acarya krta diksita (pandita guru yang sudah didiksa) ialah gurunya guru, tempat mendapatkan sangaskara (penyucian) dan bhasma (abu suci), sadhaka yang berwenang memberikan diksa sangaskara kepada sesama manusia ialah keturunan sadhaka terus menerus, yang memang disiapkan untuk menjadi wiku, mematuhi dharma sadhaka mazab Saiwa.
Sadhaka yang demikian itu, adalah wiku yang maha suci dapat disebut dang upadhyaaya (guru besar). Adapun diteliti keturunannya oleh sang penganut mazab Saiwa ketika ingin mendapatkan sangaskara. Hendaknya acarya yang aku tunjukan (kepadamu) juga dipilih. Perhatikan dengan sungguh-sungguh bila memilih salah seorang untuk menjadi guru.
Kesimpulannya, hendaknya sisya ikut berperan dalam usaha mencari guru. Janganlah anakku …………
- Apakah pahalanya menyembah sang sadhaka, wiku yang maha suci.
- Mungkin demikianlah pertanyaanmu.
- Inilah keutamaan kesucian berguru kepada guru yang berbudi luhur.
- Laksmi duhkha sahasrani
- Samsara papa nasanam
- Paratre naraka nasti
- Siva lokam avapnuyat.
Inilah kemuliaannya dia yang telah didiksa oleh dang acarya. Yaitu wiku yang maha suci, pandita yang sudah senior, ialah hilangnya noda kecemaran orang itu. Atau ia tidak akan tersentuh oleh segala marabahaya, duka nestapa, bebas dari sengsara malapetaka. Berapapun banyaknya papa orang, berapapun besarnya, meskipun seribu banyaknya, sebesar bumi dan gunung Semeru besarnya dan beratnya, tentu akan lenyap menjadi hilang sama sekali.
Bila didiksa oleh pendeta guru maha pandita. Besar benar kesucian sang pendeta guru maha agung, mampu menghilangkan papa muridnya. Sebab itu maka hendaknya dipilih pendeta guru yang dapat dijadikan tempat berguru oleh sisyanya. Janganlah berguru kepada guru yang berbudi rendah.
Boleh jadi orang akan terlanjur dipengaruhi oleh sifat-sifat aib sang guru bila mendatangi seorang guru, memohon agar didiksa oleh seorang sadhaka yang buruk tingkah lakunya, sadhaka yang bodoh, yang tidak banyak mengetahui sastra, yang kurang berpengetahuan, yang kurang pertimbangan, yang tidak bijaksana.
Lebih-lebih lagi seorang sadhaka yang tahu sedikit-sedikit saja pengertian yang terkandung dalam pengetahuan, sehingga ia bodoh, sering salah, ditambah lagi bebal, acuh tak acuh, linglung, melongo, kaku, bingung. Bila demikian perilakunya maka itu adalah sadhaka bodoh namanya.
Acarya duryasa ialah acarya yang tidak melaksanakan dharma, curang, berbudi hina, congkak, mabuk yang menyebabkan ia bersifat lirih, angkara murka serta jahat, iri hati, tampak cemburu, mrsawada yaitu segala kata-katanya tidak apat dipercaya. Serta pula dengan berbudi buruk, tidak memperhatikan tuntunan berbuat sesuatu, memalingkan muka dari yang baik benci pada pekerjaanyang berbentuk yasa, menyimpang dari ajaran agama, menghina Tuhan dan Brahmana, bersikap bermusuhan terhadap teman, menentang guru, menghina ibu dan bapaknya.
Bila ada sadhaka yang demikian perilakunya, itulah sadhaka duryasa, Tawan. Tidak benar untuk dijadikan guru oleh seorang pengikut Saiwapaksa. Apakah lagi dosanya wiku yang dungu, duryasa yang tidak benar dijadikan guru oleh orang banyak, melaksanakan diksa pada setiap orang yang ingin menjadi wiku ? Mungkin demikian pertanyaanmu.
Inilah buruknya. Dasarnya orang dungu, tidak tahu petunjuk-petunjuk tuntunan hidup dan kasih sayang kepada orang lain dan tidak sanggup melaksanakan dharma karena bingungnya sehingga menjadi terantuk kesana kemari ………
(mwang anung gawe ayu?) selalu mendapat dosa sehingga mendapat hukuman dewa.
Bila hukuman dewa telah mengusut, akan menanggung aib, menjadi orang tak berguna dan akhirnya membisu tanpa kata-kata. Demikian bahaya kebodohan itu.
Adapun bahayanya duryasa, tetap terlena dalam perilaku yang melawan dharma, tertutup hatinya (?), mengembangkan aibnya, dan besar papanya, membuka lebar-lebar pintu narakaloka dengan tergesa-gesa, berlari-lari ingin mengecap pancagati sangsara, mustahil akan berubah menjadi tingkah laku yang baik.
Itulah sebabnya acarya bila dungu, duryasa perilakunya, tidak patut diusahakan oleh seorang penganut Saiwapaksa untuk menjadi guru.
Kesimpulannya orang yang sadar, janganlah berguru pada seorang sadhaka yang hina dan duryasa, boleh jadi akan terseret ikut jatuh ke Yamaloka. Hendaknya hanya sadhaka yang aku sampaikan dahulu saja usahakan dengan sungguh-sungguh dicari untuk menjadi guru. Wiku yang maha suci, pandita bersih saja hendaknya kamu sembah dan mendiksa kamu.
Telah kusampaikan sang sadhaka yang wajar dijadikan guru. Mari kita paparkan apa yang ingin diwujudkan dalam perilaku sang sadhaka yang sudah menjadi dang upadhyaya.
Bila ada dang acarya yang pantas dijadikan tempat berguru, janganlah hendaknya ia tergesa-gesa melaksanakan diksa bila ia belum sempurna dalam pekerjaan dan belum matang tentang hakekat ajaran kependetaan, atau belum yakin benar akan isi ajaran Siwagama. Janganlah ia tergesa-gesa berbuat, sebab dang upadhyaya tidak boleh hanya menjadikan tanda dan bermaksud membawa kesana kemari ajaran Siwaan itu? Adapun usahanya ialah amat-amatilah pekerti diri sendiri terlebih dahulu agar tidak tampak ngawur. Bagaimana caranya mengamati perilaku itu? Boleh jadi demikian pertanyaanmu.
Perhatikan akan adanya “guna” (sifat-sifat baik) dan dosa pada dirimu, usahakan dengan sungguh-sungguh perkembangan semua sifat-sifat baik dan biarkan supaya menjadi suci.Tinggalkanlah segala macam dosa, tegakkan kependetaan itu, ingat-ingat awal, tengah dan akhir dari padanya. Tugas sang sadhaka selesaikanlah. Buatlah mudah isinya dan penggunaanya. Buatlah lebih baik kelangsungan akan tugas-tugas dan budi pekertinya, terlebih-lebih tentang keluhuran budi, kecerdasan akal dan kesudarmannya.
Adapun sarana untuk mempertahankan itu ialah apa yang disebut trikaya paramartha, pegangan sang sadhaka. Rinciannya ialah :
- Kayika vacikasceva,
- Manasikas tratiyaka,
- Subhakarmaniyovyantu,
- Trikayam iti kavyate.
Tirkaya ialah kaya, wak dan manah. Kaya adalah badan wak adalah kata-kata, manah ialah pikiran. Ketiga-tiganya itu hendaknya ditempatkan sesuai dengan usaha-usaha yang berdasarkan dharma oleh sang pandita. Semuanya supaya berdasarkan subhakarma (perbuatan yan baik). Sebenarnya dharma kaya disebut kayika, dharmanya wak disebut wacika dan dharmanya manah disebut manacika. Semuanya itu supaya diusahakan sampai berhasil berbuat yang baik berdasrkan atas pelaksanaan ajaran dharma. Itulah kayika, wacika, manacika.
Bila ketiga-tiganya sudah kokoh, maka disebut tri kayaparamartha. Demikian kata sang pandita. Apakah lagi yang patut sang sadhaka renungkan tentang trikaya itu? Apakah syarat untuk menuruti dharmanya? Mungkin demikianlah pertanyaan sang sadhaka.
Om inilah pegangannya. Hendaknya ia mengetahui perilaku sang sadhaka bila sudah menjadi dan upadhyaya. Ia harus mantap bekerja, ia harus terdorong memperhatikan segala jenis kerja, Ia selalu meningkatkan membuat yadnya, puja dan japa. Ia selalu memuja Bhatara, selalu mendalami sastra agama dan mengajar, membuat yasa dan kirti, sopan menerima tamu sadhaka, selalu memberikan sedekah yang diperlukan untuk beryoga dan bersemadi memusatkan pikiran, selalu melaksanakan Siwasmarana (pemusatan pikiran pada Bhatara Siwa). Demikianlah perilaku sang sadhaka yang telah menjadi dang upadhyaya.