Tatanan dan Kewajiban Pandita dalam Lontar Siwa Sasana


Betapa dosanya kalau menjadikannya sadhaka, agar engkau ketahui bahayanya. Kalau ada dhang upadhyaya melakukan diksa kepada orang kebanyakan, dunia menuju maha qiamat dan negara menjadi hura-hura. Sebenarnya ia disidangkan oleh para dhang Acarya seluruhnya dan bersama dengan dhang Acarya Pandita senior. Mintalah kepada sidang pertemuan, berkumpul dalam sidang umum, memecahkan tentang hukum pandita Siwa dan mengenal tata laksana Pandita Siwa agar diperdengarkan kepada sadhaka, semua. Adapun tujuannya adalah adanya ketidak tentraman melakukan perbuatan seperti itu. Jatuhkan hukuman pada guru maupun sisianya, karena merusak gurunya. Dikucilkan oleh para sadhaka semua, dicabut gelarnya karena melanggar pensucian. Kembalikan namanya menjadi walaka. Cabut kewajibannya beserta alat upacara siwanya. Setelah dihapuskan semuanya, kemudian inilah yang dilakukan oleh raja. Supaya dibuang, disuruh pergi keluar wilayah jangan diperkenankan bertempat tinggal dipulau jawa. Demikianlah cara menghukum gurunya.

Adapun muridnya, ikat dalam dengan duri kaktus, supaya dibuang oleh raja kelaut memakai sampan. Setelah sampai ketengah laut pancung kepalanya, pisahkan dari tubuhnya. Badan dan kepalanya, buang ketengah samudra. Nah demikian dosanya memberi nama diksa dua kali. Tak dapat tiada akan mendapat papa sengsara. Kesimpulannya, ikhlas hati sang sengsara. Kesimpulannya, ikhlas hati sang sadhaka yang berjiwa bijaksana tetap tegak seperti gunung. Demikianlah hendaknya.

Setelah selesai hal itu, marilah kita bicarakan sekarang tentang orang-orang yang benar-benar suci dan bijaksana, setelah ia memikirkan masak-masak terhadap orang yang patut dijadikan sisya.

Hendaknya engkau jangan ragu-ragu melaksanakan diksa suci secepatnya. Hadapi pudgala itu. Teruskan melakukan diksa. Banyak atau sedikit. Mungkin engkau mempunyai banyak sisia, namun janganlah sampai engkau lupa pada kewajiban sebagai sadhaka yang dijadikaan guru. Tingkah lakumu perlihatkan kepada dunia bagaimana dharma sang sadhaka yang menjadi guru yang patut diikuti.

Agar engkau ketahui, saya memperingatkan. Nah inilah kewajiban sang sadhaka guru. Membicarakan kewajiban sisia dan pudgala. Memberikan pekerjaan, memperingatkan kepada para sisia yang benar dan yang salah. Mengajarkan tentang dosa, tingkah laku dan pancasiksa, melawan guru dan perbuatan sila kepada sisia. Mengingatkan tentang tata cara dari agamanya. Diusahakan agar memegang teguh kepercayaan kepada ketentuan-ketentuan agama Siwa agar sama perbuatannya. Janganlah menyimpaang dari ketentuan itu. Demikianlah caranya mengajar kepada sisia dan budhi sang guru kepada sisianya.

Jangan marah, jangan loba, jangan mencaci maki, jangan iri hati, jangan khianat kepada sisia. Lobha berarti ingin memiliki benda kepunyaan sisia. Parusya berarti lancang tangan berarti memukul, menerkam, menempeleng kepada sisia. Lancang mulut berarti mengajarkan yang menyakiti telinga, menyebar fitnah kepada sisia, irihati, dengki, sakit hati terhadap orang lain, cemburu, menanamkan irihati kepada sisia. Derohi berarti berusaha mencelakakan sisia yang menyebabkan suka membunuh dan membenci. Murka berarti, dusta, jahat, mabuk, tinggi hati, pikiran kotorlah yang menjadi sahabatnya. Selalu membayangkan kepada sisianya. Ingsa karma berarti merencanakan untuk membunuh, termasuk pembunuhan, ingin menikmati tanpa menghadapi kesulitan. Raga berarti merencanakan untuk menjadikan kepuasan hawa nafsu, keinginan jahat dengan jalan curang, menghendaki anak gadis sisia dengan alasan mengawini, melakukan senggama, bercumbu rayu dengan anak istri sisia. Dwesa berarti berusaha mencelakakan sisia, karena dengkinya ingin menghapus, menghukum melakukan dosa, berlaku sadis terhadap sisianya. Janganlah sang wiku melakukan pekerti seperti itu. Hina namanya.

Yang patut engkau lakukan, adalah, janganlah sang guru berhati kejam, melihat sisia papa sengsara mengidap derita. Jangan bersikap seolah-olah tidak tahu terhadap sisia yang salah tingkah laku dan pekertinya. Jangan dibiarkan sisia itu tidak tahu terhadap kewajibannya. Jangan ragu-ragu memberi teguran kepada sisia. Adalah perbuatan dosa membiarkan ia jatuh. Jangan menganggap seorang sisia patita jika tidak jelas faktanya, Jangan cepat-cepat yakin percaya terhadap tingkah laku dan warta sisia. Jangan tidak percaya kalau benar-benar terjadi bukti dari tingkah lakunya. Jangan menghukum cambuk sisiamu. Jangan menghukum sisia tanpa nengetahui tata cara denda dan dosa. Jangan mencegah sisia yang bertingkah laku baik karena marah dan dengki. Jangan belas kasihan kepada siswa tercela dan buruk laku yang disebabkan oleh kepercayaan dan kasih sayangmu. Kesimpulannya, kalau engkau menghukum sisia jangan hendaknya tidak tahu tentang denda dan dosa. Jangan sampai tidak tahu tata cara yang ditetapkan menurut ajaran agama. Namun kalau ada sisiamu yang dimarahi oleh sesamanya ditempat umum, jangan cepat-cepat engkau percaya, terpengaruh oleh sesamanya ditempat umum, jangan cepat-cepat engkau percaya, terpengaruh oleh bunyi dan tingkah laku para pencela. Yang patut engkau lakukan periksalah sebaik baiknya. Perhatikan betul betul dosa yang sebenarnya.

Tanyakanlah, usahakan mengenal kejujuran kalau tak dapat engkau memeriksa sisiamu, perintahkan kepadanya agar membuat kutukan diri sendiri itu, dilakukan diastanasiwa, ditempat agni, didalam kunda ditempat lingga, diparyangan, dikaki Siwa, didepan sang guru dan keluarga pada waktu bertobat. Setelah bertobat tidak juga percaya oleh gurunya, karena besarnya celaan yang ditimpakan oleh umum, maka pergilah menjauhkan diri lagi, melakukan dewasraya, memuja dipuncak batu yang tertinggi, ditempat tirta utama, ditepi samudra, didalam gua, dihutan dan digunung. Itulah tempat yang didatangi oleh sisia.

Bila seorang sadhaka dicemarkan oleh sesama sadhaka, namun tak terhalang sesama sadhaka, namun tak terhalang selama melakukan dewa sakti, tidak patut ia dihina. Sadhaka yang mencemarkan tadi hendaknya dibalas juga.

Dihukum oleh keluarganya sebab sama dengan merusak diksa. Sadhaka yang mencemarkan tadi harus dihukum oleh gurunya, tak dapat diampuni. Demikian peraturannya, yang tercantum dalam Agama.

Bila walaka yang melakukan penghinaan kepada dhang acarya, menuduh patita, sedangkan tidak benar tuduhan itu, hendaknya gurunya mendesak agar sadhaka yang dituduh itu melakukan dewa saksi menghadap ketimur. Bila tidak nyata kebenarannya, janganlah dihukum oleh sang guru. Walaka yang menghina itu dihukum oleh raja, dipancung kepalanya, dipisahkan dari tubuhnya. Darahnya maupun kepalanya dibuang kelaut, dilemparkan ditengah samudra. Demikianlah hukuman walaka yang menghina terhadap sadhaka , merusak diksa sadhaka namanya.

Ada orang menghina sadhaka dengan menuduhnya bukan keturunan brahmana dan tidak memakai bhasma dengan abu, namun benar didhiksa keturunan sadhaka itu oleh gurunya, selidikilah tempat tinggal orang tuanya. Jika benar orang tuanya adalah sadhaka dan (juga) nenek moyangnya, orang yang menghina itu harus dibalas dengan melaksanakan dhiksa menghadap ke timur. Dendanya adalah tuna namanya.

Jika wanita menghina terhadap sadhaka, menuduh rendah derajatnya, menuduh bukan keturunan brahmana dan tidak melakukan bhasmangkara, menurut peraturan, sang guru menyuruh melakukan Dewa saksi menghadap ke timur. Jika tidak benar tuduhan wanita itu, wanita tersebut dihukum raja. Dipotong lidahnya dan bagian ujung hidungnya diberi logam, ditekan dengan tali besi yang sedang membara. Giring agar dilihat orang banyak. Diikat dipinggir jalan. Jangan terbatas penyebab kematiannya.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga