Shiwa-Buddha di Kitab Sang Hyang Kamahayanikan


Pokok-pokok Ajaran dan Nilai Sang Hyang Kamahayanikan

Kajian yang dilakukan Prof Dr Noerhadi Magetsari menyebutkan penelitian yang dilakukan tidak menggunakan sumber yang diterjemahkan oleh Bimas Hindu dan Buddha. Proses penulisan paper ini justru sebaliknya. Pertama, saya sama sekali tidak menguasai bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno. Dari yang dapat diakses setidaknya menggunakan dua sumber: terjemahan Bimas Hindu dan Buddha, kedua terjemahan bahasa Jawa dalam bentuk macapat.

Kedua buku Sang Hyang Kamahayanikan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, pada bagian pendahuluan menempatkan pandangan teologis dan Mantranaya yang diacu. Sebagaimana disebut di atas, Sang Hyang Kamahayanikan memuat rahasia (guhya), yang pada satu sisi disampaikan secara tertulis, di sisi lain juga ada keterangan lisan yang disampaikan oleh guru. Beberapa pokok berikut ada dalam kedua terjemahan dalam bahasa Indonesia dan Jawa dengan penekanannya masing-masing. Antara lain disebutkan sebagai berikut.

  1. Pemahaman struktur “Tri Aksara” terdiri dari kayawak, citta bajra untuk memahami dan menempatkan tata susun benda, ungkapan kata-kata, gagasan ideal serta daya kekuatannya. (1)
  2. Tata laku tapa dan meditasi sebagai jalan olah rohani sampai penghayatannya. Winaya yang memuat aturan pelaksanaan ajaran Buddha akan menuntun bertutur baik dan berperi laku baik (25). Dengan pokok etisnya cila (kebajikan), sammadhi (memusatkan pikiran yang baik) dan prajna (kebijaksanaan) (37)
  3. Mandala yang memuat ajaran rahasia untuk mencapai kebahagiaan dan ketenteraman. (27)

Pokok-pokok ajaran sebagaimana disebut di atas dengan berbagai macam perinciannya, tentu tidak menjadi monopoli khusus dan terbatas bagi pemeluk agama Buddha. Sebagaimana Dharmakirty Sumonggokarso mengungkapkan dalam Pangkur berikut:

Sang Hyang kamahayanikan
Nenggih pusaka sayekti
Bangsa Indonesia luhur
Dadya piwulang nyata
Mustikaning ngelmu jatining manekung
Manembah mring Hyang wisesa
Prayoga den taberi niti

Selain itu, masih ada satu pokok mendasar yang perlu dikemukakan di sini. Dalam berbagai khasanah pembicaraan atau pembahasan, salah satu yang menjadi acuan hidup bagi bangsa Indonesia, terkait perkara rasa. Menyebutkan satu konsep ini seakan mengalami keterbatasan menjelaskannya. Uraian tentang rasa ini diperoleh pada pembahasan yang mempertemukan pengalaman estetik yang sekaligus menjadi pengalaman religius. Memang ada berbagai cara penjelasan. Memang ada berbagai pendekatan, antara lain sebagaimana pernah dikemukakan Prof. N Drijarkara saat menjelaskan pengalaman estetik dan hubungannya dengan pengalaman religius. Menempatkan pengalaman estetik yang sublim kemudian beralih pada pengolahan dalam proses berkarya yang berangkat dari pengolahan pengalaman dan sekaligus mengekspresikannya.

Pada pembahasan sastra Jawa Kuna, Kuntara menyebutkan proses kreatif seorang kawiyogi sebagai pujangga yang menuliskan karyanya, akan mengarahkan diri pada dewa yang dipujanya (istadewata). Sebagai manusia, setiap orang memiliki berbagai rasa, dibedakan dalam daftar akan menjadi 8:

  1. Srngara (asmara)
  2. Hasya (komik)
  3. Karuna (belas kasihan)
  4. Raudra (ganas)
  5. Vira (kepahlawanan)
  6. Bhayanaka (khawatir)
  7. Bibhatsa (ngeri)
  8. Adbhuta (takjub)

Rasa yang dialami tersebut ternyata memiliki kesejajaran dengan 8 jenis emosi yang dialami, yakni:

  1. Rati (cinta)
  2. Hasa (humor)
  3. Soka (sedih)
  4. Krodha (marah)
  5. Utsaha (teguh)
  6. Bhaya (takut)
  7. Jugupsa (muak)
  8. Vismaya (heran)

Di samping itu, ada 1 rasa yang ditambahkan yakni santa (damai). Padanannya dalam emosi adalah sama (tenang). Berbagai rasa ini dari pengalaman psikologi akan menyublim dalam tataran estetik. Dalam dinamika pengalaman estetik tersebut, sebagai yogi, pujangga akan membangun candi-nya dalam karya sastranya itu.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga