Sejarah, Struktur dan Pujawali di Pura Multikultur Batu Meringgit


Multikultur di Pura Batu Meringgit memberikan implikasi terhadap rasa solidaritas dan kesatuan dalam perbedaan agama, memberikan cerminan moral sebagai sebuah simbol kebhinekaan,  sebagai hasil dari kuatnya etos persaudaraan lintas enik.

Secara umum dapat dikatakan bahwa, palinggih multikultur di Pura Batu Meringgit berhasil meciptakan realitas kehidupan agama yang berbudaya, meningkatkan kerukunan umat beragama, mengintensipkan dialog antar umat beragama, serta edukasi multikultur dalam beragama. Keberadan Pura Batu Meringgit sebagai simbul multikultur mempunyai esensi lain yang bersifat pluralisme. 

Kepercayaan masyarakat sekitar bahwa Pura Batu Meringgit memiliki dua faham agama yang berbeda yakni agama Hindu dan agama Budha. Keberagamaan merupakan warisan yang telah dilakoni oleh leluhur pendahulu untuk hidup bermasyarakat di zaman tersebut.

Pura yang kaya akan nilai sejarah ini memiliki berbagai nilai kebudayaan diantaranya terdapat berbagai etnik, suku, ras, dan agama menjadi satu wilayah. Keberadaan Pura Batu Meringgit memberikan pendidikan bagi generasi muda melului bangunan fisik dan perkembangan sejarah Pura, merupakan perwujudan multikultur dari keberanekaragaman etnis di Indonesia.

Sejarah Pura Batu Meringgit

Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat dokumen tertulis yang mampu memberikan ulasan mendetail terkait dengan latar belakang dan proses terbangunnya pura. Pengetahuan mengenai deskripsi historis dari keberadaan Pura Batu Meringgit dapat diketahui melalui cuplikan kecil mengenai keberadaan pura yang termuat dalam purana pura.  Sejarah yang termuat kemudian dipercayai dan diakui secara bersama baik oleh kalangan pemangku, pangempon, pajuru, begitu juga umat Hindu secara umum yang mempercayai keberadaan Pura Batu Meringgit itu sendiri. 

Berdasarkan purana dapat dikatakan bahwa, Batu Meringgit muncul pada zaman kadewatan. Dikatakan bahwa, zaman kadewatan adalah masa kejayaan dari sebuah kerajaan besar bernama Purusada. Kuasa kerajaan Purusada pada zaman kadewatan, digerakkan oleh seorang raja bernama Maharaja Sek Sukaranti. Raja Sek Sukaranti sendiri merupakan keturunan dari hasil  perkawinan yang terjadi antara Hyang Surya dengan istrinya yang bergelar Sang Hyang Wulan, yang kemudian melahirkan garis keturunan besar Shri Maharaja Purusada (termasuk Sek Sukaranti). 

Maha Raja Purusada memiliki putra yang bernama Shri Jayeningrat dan Aji Nuk Wasir. Shri Jayeningrat memiliki istri bernama Dewi Manik Galih. Aji Nuk Wasir (memeluk agama Surya Kencana atau Ciwa-Buddha) memiliki istri benama Shri Naweng Rum.  Perkawinan Aji Nuk Wasir dengan Shri Naweng Rum yang melahirkan Sek Sukaranti. Sedangkan Sek Sukaranti, memiliki putra yang bernama Shri Nukruwa dan Shri  Wisininda (Bhagawan Mangga Puspa). 

Singkat cerita, Aji Nuk Wasir berkelana bersama Dewa dan Rsi Suci sampai ke Bali (Bangsul). Kedatangnnya ke Bali membawa sebuah misi, yakni membangun tempat suci sebagai media untuk berkonsentrasi memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Bangunan yang rencananya didirikan, akan diperuntukan bagi aktivtas puja dari pengiring dan masyarakat Bali. Berkat kewibawaan dan kesaktian dari keturunan  Maha Raja Purusada, akhirnya segala misi yang dimiliki dapat terwjud. 

Selanjutnya dikisahkan bahwa, Shri Maharaja Sek Sukaranti dan pengikutnya yang berjumlah 8000 orang mendapatkan laporan dari seorang patih yang bernama Demang Copong. Demang Copong mengatakan bahwa, Sang Hyang Jayengrat telah melepaskan badan kasarnya dan kembali ke hadapan Tuhang Yang Maha Kuasa. Kematian Sang Hyang Jayengrat, menyebabkan istrinya yang bernama Dewi Manik Galih berkeinginan untuk menyusul kematian suaminya dengan cara melakukan masatya geni (menceburkan diri ke dalam api). Keinginan Dewi Manik Galih untuk melakukan masatya geni merupakan salah satu bukti dari kebesaran rasa cinta dan kesetiaan Dewi Manik Galih terhadap Sang Hyang Jayengrat. Aksi masatya geni yang hendak dilakukan oleh Dewi Manik Galih, tidak dapat dibendung oleh siapa pun, sehingga Dewi Manik Galih bertemu dengan kematiannya dengan cara melaksanakan tindakan masatya geni yang telah dirancang. 

Raja Sek Sukaranti yang saat itu bersthana di Gowan Cina kemudian memeberikan perintah khusus terhadap patih Demang Capong. Raja Sek Sukaranti memerintahkan patih Demang Copong untuk menghanyut tulang (asti) pasangan suami istri (Sang Hyang Jayengrat dan Dewi Manik Galih) ke laut, setelah upacara pembakaran dilakukan. Keputusan raja untuk memerintahkan penghanyutan tulang pasangan suami istri tersebut didasari oleh beberapa hal. Salah satunya adalah pemahaman dari Raja Purusada terhadap keinginan Bhatara Guru (Sang Hyang Ciwa) di Gunung Semeru Jawa, yang bersikukuh untuk membuat pulau baru di sebelah timur Pulau Jawa. 

Setelah menerima mandat dari  Raja Sek Sukaranti, akhirnya patih Demang Copong mempersiapkan segala perlengkapan untuk melaksanakan penghanyutan tulang. Patih Demang Copong, mempersiapkan beberapa perahu yang akan mengangkut iring-iringan, ketika menghanyutkan tulang ke laut lepas. Disisi lain, patih Demang Copong juga mempersiapkan pasukan pengiring yang berjumlah 8000 orang. Pasukan pengiring tersebut, diangkut dengan mempergunakan perahu dua buah (jong rong body). Perahu dua buah yang digunakan untuk mengangkut pasukan pengiring, bernama Jong Bhiru. Kata “Jong Bhiru”yang disematkan sebagai nama perahu, memiliki arti dan makna tersendiri. Kata “jong” artinya ‘perahu’. Sedangkan kata  “bhiru”, memiliki arti ‘utama atau luwih.’  Berasarkan arti kata tersebut, maka dapat dimaknai bahwa Jong Biru merupakan sebuah perahu yang sangat utama, karena dipergunakan sebagai media transportasi atau sarana utama dalam menghanyutkan tulang Dewi Manik Galih dan Shri Jayengningrat yang dalam hal ini adalah salah satu manifestasi Tuhan. 

Setelah menghanyutkan tulang Dewi Manik Galih dan Shri Jayengningrat, para Dewa dan Rsi Suci melakukan yoga dengan khusyuk. Tujuan dari yoga yang dilakukan adalah, memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar cita-cita Bhatara Guru dapat segera terwujud. Setelah selesai melakukan penghanyutan tulang, akhirnya perahu yang mengangkut romobongan tersebut tiba disebelah timur Pulau Jawa. Namun tanpa disangka, terdapat badai kencang yang mengombang-ambikan perahu. Para penumpang yang ada dalam perahu, merasa sangat panic dan ketakutan. Badai besar yang menerjang perahu, merupakan sebuah dampak dari kuatnya pancaran energi  dari aktivitas yoga para Dewa dan Rsi Suci. 

Ditenga terjajangan badai, muncul sabda suci yang terdengar diawang-awang. Sabda suci tersebut, didengar oleh seluruh penumpang yang ada dalam perahu. Sabda yang terdengar, memberikan pesan bahwa yang bersabda adalah raja dari para Dewata. Beliau adalah Sang Hyang Pasupati. Dalam sabda-nya tersebut Sang Hyang Pasupati mengatakan bahwa Beliau berkeingian untuk membangun sebuah pulau baru di sebelah timur Pulau Jawa. Beliau juga mengatakan bahwa esensi dirinya adalah Bhatara Guru (Dewa Siwa). Sang Hyang Pasupati  atau Bhatara Guru menyatakan bahwa, Beliau akan memberikan rahmat dan anugrahnya, pada tempat yang mampu mengentalkan air laut dari tempat perahu tersebut berada. Air laut yang mengental nantinya akan menjadi tanah atau daratan. Tanah atau daratan tersebut nantinya akan menjadi sthana dari Dewi Manik Galih. 

Tidak lama kemudian air laut yang menjadi tempat mengapungnya perahu mengalami pengentalan. Tanpa berselang lama air laut yang mengental juga berubah menjadi tanah, dan akhirnya muncul sebagai daratan. Daratan tersebut akhirnya diberi nama “Jong,” yang merupakan cikal bakal secara perdana dari Pulau Bali. Di atas dataran baru tersebut akhirnya dibangun sebuah candi yang nantinya berfungsi sebagai media pemujaan. Candi yang berhasil dibangun akhirnya diberi nama Candi Purusada. Setelah melaksanakan pembangunan candi, akhirnya Bhatara Guru dan para Dewa sepakat untuk menciptakan gunung. Gunung yang diciptakan dibuat dalam ukuran besar maupun kecil. Adapun gunung yang berhasil diciptakan adalah: (1) Gunung lebah, yang diciptakan oleh Bhatara Mahadewa; (2) Gunung Andakasa, yang diciptakan oleh Bhatara Indra; (3) Gunung Salak, diciptakan oleh Bhatara Masona; (4) Gunung Catur, dibuat oleh Bhatara Wisnu; (5) Gunung Naga Loka, berhasil diciptakan oleh Bhatara Sangkara; (6) Gunung Selanjana, didirikan oleh Bhatara Sarigkara; (7) Gunung Abang, diciptakan oleh Bhatara Brahma; dan (8) Gunung  Tuluk Biu, yang diciptakan oleh Bhatara Guru.


Sumber
I Made Adi Surya Pradnya

Pelinggih Multikultur di Pura Batu Meringgit



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga