Sejarah, Struktur dan Pujawali di Pura Multikultur Batu Meringgit


Pangiring yang selamat dari amukan badai dan proses pengentalan air laut akhirnya menjadi penduduk Pulau Bali. Pengiring tersebut juga merancang beberapa pembangunan pada tanah Bali yang baru terbentuk. Tujuan perdana yang hendak dilakukan oleh pengiring tersebut adalah membangun tempat suci sebagai media pemujaan terhadap Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), serta sesuai dengan kondisi politis kerajaan pada waktu itu. Beberapa candi tempat pemujaan yang berhasil dibangun adalah (1) Candi Purusada sebagai tempat memuja Ida Bhatara Guru, dan merupakan cikal bakal tanah Bali. Pada tempat ini juga dibangun palinggih Bhatara Sakti Jayengrat dan Dewi Manik Galih; (2) Pembangunan tempat pemujaan di Gunung Naga Loka, yang selanjutnya disebut dengan Pura Watu Ringgit (Batu Meringgit), yang difungsikan sebagai tempat memuja kebesaran Sang Hyang Iswara; serta (3) Pura Endek yang kental dengan pemujaan dan anutan faham Ciwa-Buddha. 

Gunung yang diciptakan oleh para Dewa (termasuk Watu Meringgit), dikisahkan memiliki lapisan tanah yang mengandung intan (winten). Di sisi lain, juga mengandung unsur bebatuan lain seperti apasir padi (batuan yang indah). Gunung yang menjadi kawasan Watu Ringgit (Batu Meringgit), telah ditetapkan sebagai stana Tuhan dalam manifestasiNya sebagai Hyang Ciwa (Iswara). Demikian pula dengan gunung lain yang bersumber dari Mahameru seperti, (1) Gunung Pangilengan; (2) Gunung Bratan; (3) Gunung Puncak Sangkur; (4) Gunnug Trate Bang; (5) Bukit Rangda; (6) Bukit Padang Dawa; (7) Gunung Watukaru; (8) Gunung Pulaki; (9) Gunung Naga Loka; (10) Gunung Silanjana; (11) Gunung Tapsai; serta (12) Gunung Toh Langkir (Gunung Agung).

Setelah beberapa lama, Pulau Bali akhirnya diperintah oleh seorang Raja yang bernama Shri Jaya Sakti. Raja Shri Raja Sakti memerintah dan memegang tampuk kekusaan di Bali sekitar tahun caka 1021 atau tahun 1099 masehi. Raja Srhi Raja Sakti, adalah sosok pemimpin yang sangat religius. Dalam menjalankan manajemen kepemimpinannya, Shri Raja Sakti selalu melaksanakan yoga sebagai salah satu wujud bhakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Shri Raja Sakti juga memiliki rasa hormat yang mendalam terhadap para pendahulu atau leluhurnya. Hal ini memnculkan pandangan yang positif dari para rakyat, terhadap kedudukan Shri Raja Sakti. 

Setelah Shri Raja Sakti masuk dalam usia tua, akhirnya tampuk kerajaan diberikan kepada putra Beliau yang bernama Shri Jaya Pangus. Shri Jaya Pangus merupakan sosok pemimpin yang juga sangat disegani oleh para patih dan rakyatnya.  Raja Shri Jaya Pangus memiliki sifat yang sangat baik, pandai, cekatan, dan memiliki tingkah laku serta tata cara memimpin yang tidak jauh berbeda dengan ayah Beliau, Shri Raja Sakti. Semenjak Shri Jaya Pangus memegang tampuk kuasa di Bali, kondisi kehidupan rakyat dan tanah Bali selalu dalam keadaan aman, damai dan sejahtera. Tidak ada musuh dan ancaman yang mampu menghancurkan ajegnya tanah Bali. Di sisi lian para Rsi dan Brahmana sangat aktif memberikan edukasi spiritual terhadap umat atau masyarakat. 

Setelah sangat lama menjabat sebagai raja, akhirnya Shri Jaya Pangus meninggal dunia. Tahtanya sebagai raja Bali kemudian dilimpahkan pada anaknya yang bernama Shri Ekajaya. Namun, pemerintaha Shri Ekajaya tidak memiliki pola kepemimpinan sebagaimana sistem dan sifat pemimpin yang dimiliki oleh ayah dan para pendahulunya.  Shri Ekajaya tidak aktif melakukan upacara yadnya, sebagaimana yang aktif dilakukan oleh kepemimpinan leluhurnya. Sikap apatisme dari raja Shri Ekajaya, tidak  memperkecil waktu kuasanya untuk memimpin Bali. Raja Shri Ekajaya, akhirnya jatuh sakit dan meninggal dunia. 

Adik Shri Ekajaya yang bernama Shri Dhanadiraja akhirnya diangkat sebagai raja selanjutnya. Shri Dhanadiraja memiliki sistem dan tata cara memimpin yang sangat baik. Diceritakan bahwa manajemen kepemimpinan dari Shri Dhanadiraja memiliki pola memimpin yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh leluhurnya. Shri Dhanadiraja dikenal sebagai raja yang arif, bersikap baik terhadap patih dan rakyat. Salah satu perilaku yang menjadi karakteristik raja Shri Dhanadiraja adalah senang bersedekah terhadap para pandhita. Namun, tidak lama kemudian Shri Dhanadiraja masuk dalam usia tua. Oleh sebab itu, jabatannya sebagai seorang raja wajib digantikan, sesuai dengan adat istiadat dan aturan hukum kerajaan yang berlaku. 

Kepemimpinan Shri Danandiraja sebagai raja, pada dasarnya ingin dilimpahkan kepada anaknya yang bernama Shri Jayakasunu. Namun, Shri Jayakasunu yang masih berstatus sebagai keturunan raja, tidak berkenan untuk menggantikan jabatan ayahnya. Oleh sebab itu, Shri Jayakasunu pergi meninggalkan kerajaan, agar terhindar dari tekanan menjadi raja yang ditujukan kepadanya. Shri Jayakasunu meninggalkan kerajaan dan berjalan jauh menuju hutan belantara. Tidak ada pihak kerajaan ataupun rakyat yang mengetahui arah perjalanan Beliau di dalam hutan.

Setelah berjalan jauh ke dalam hutan, Shri Jayakasunu kemudian sampai pada salah satu wilayah hutan yang berada di sisi barat dari Danau Beratan (tepatnya di sebelah selatan Gunung Terate Bang). Pada tempat tersebut, Shri Jayakasunu duduk di sebuah batu. Sembari beristirahat, Shri Jayakasunu memanjatkan doa ke hadapan Hyang Nini Bhatari. Mantapnya ketulusan hati dalam memuja Bhatari Nini, akhirnya Shri Jayakasunu mendapatkan sebuah suasana magis. Beliau, serasa masuk pada sebuah alam dan bertemu dengan Bhatari Nini. Dalam perjumpaan tersebut, Bhatari Nini ber-sabda sesuatu terhadap Shri Jayakasunu. Bhatari Nini mengatakan bahwa khayangan yang Maha Suci sempat mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut adalah dampak dari kelalaian berupacara yang pernah dilakukan oleh garis keturunan Shri Jayakasunu. Tidak hanya khayangan yang mengalami kehancuran. Namun, kematian juga sempat mengguncang umat manusia. Mengacu pada penjelasan yang diberikan oleh Bhatari Nini, akhirnya Shri Jayakasunu mengutarakan maksud intinya untuk memanggil Bhatari Nini. Tujuan pokok Shri Rajakasunu untuk memanggil Bhatari Nini adalah untuk memohon keselamatan sebagai calon raja, serta memohon anugerah untuk menebus segala kesalahan yang sempat dilakukan oleh raja yang bersumber dari leluhurnya.

Permohonan dari Shri Jayakasunu akhirnya diberikan kejelasan oleh Bhatari Nini. Niat baik dari Shri Jayakasunu sebagai calon raja di Bali meluluhkan amarah Bhatari Nini. Bhatari ini kemudian memberikan wejangan kepada Shri Rajakasunu. Wejangan tersebut berisi tentang langkah-langkah yang harus ditempuh oleh Shri Jayakasunu ketika mengembalikan ketenteraman Bali saat ia diresmi menjabat sebagai raja Bali. Salah satu syarat dan langkah yang diberikan oleh Bhatari Nini adalah mengintruksikan Shri Jayakasunu untuk membuat parahyangan (pura) pada batu tempat ia melakukan yoga. Bhatari Nini juga mengintruksikan bahwa, Shri Jayakasunu harus menamai pura tersebut dengan nama Pura Watu Meringgit. Mengingat nama tersebut telah disematkan oleh Bhatara Guru pada zaman sebelumnya, sebagai tempat untuk memuja Sang Hyang Iswara.

Shri Jayakasunu tidak berani menolak instruksi dari Bhatari Nini. Ia pun bergegas untuk melakukan pembangunan pura sesuai dengan sayrat dan langkah yang ditunjukkan oleh Bhatari Nini. Hal ini dilakukan dengan penuh keseriusan dan keikhlasan, sebagai salah satu wujud bhakti dan rasa syukurnya terhadap anugerah Bhatari Nini. Berselang beberapa waktu, akhirnya Shri Jayakasunu berhasil membangun pura sesuai dengan perintah Bhatari Nini. Pura tersebut berhasil dibangun pada tahun caka 1123 atau pada tahun 1201 masehi. Pura yang berhasil dibangun, juga diberinama sesuai dengan perintah Bhatari Nini, yakni Pura Watu Ringgit atau yang saat ini lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Pura Batu Meringgit. 

Setelah berhasil melakukan konstruksi pura sesuai perintah Bhatari Nini, akhirnya Shri Jayakasunu kembali melakukan yoga.  Khusyuknya yoga yang dilakukan oleh Shri Jayakasunu, akhirnya menghantarkan Shri Jayakasunu untuk kembali mendengar sebuah sabda suci. Sabda suci yang diterimanya mengintruksikan Shri Jayakasunu untuk melanjutkan perjalanan ke arah utara di areal pegunungan Naga Loka, tepatnya wilayah Pura Endek. Pada pura tersebut, Shri Jayakasunu diperintahkan untuk kembali melakukan permohonan waranugraha. Intruksi sesuai dengan sabda tersebut, akhirnya dilaksanakan secara berani dan ikhlas oleh Shri Jayakasunu.


Sumber
I Made Adi Surya Pradnya

Pelinggih Multikultur di Pura Batu Meringgit



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga