Upacara Mebayuh Otonan sebagai Pembersihan Karma Wasana


Upacara mabayuh oton merupakan salah satu upacara manusa yadnya yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari derita bawaan atau karma wasana atau dari sifat-sifat buruk yang dibawa sejak lahir. Sebagaimana ajaran agama Hindu bahwa manusia terikat oleh hukum Karma. Keterikatan pada Karma, menyebabkan manusia mengalami samsara atau kelahiran kembali untuk menjalani hasil karma sebelumnya.

Yang dimaksud dengan “Otonan” adalah hari kelahiran bagi umat Hindu yang datang dan diperingati setiap 210 hari sekali berdasarkan perhitungan Sapta Wara, Panca Wara dan Wuku yang berbeda dengan pengertian hari ulang tahun pada umumnya yang didsarkan pada perhitungan kalender atau tahun Masehi. Kata Otonan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang telah menjadi kosa kata bahasa Bali yang berasal dari kata “wetu” atau “metu” yang artinya keluar, lahir atau menjelma.
Dari kata “wetu” menjadi “weton” dan selanjutnya berubah menjadi “oton” atau “otonan”.

Upacara ini memiliki keunikan tersendiri antarsatu daerah dan daerah lain berdasarkan konsep desa kala patra dan desa mawacara.

Upacara mebayuh oton biasanya diperingati dengan menentukan hari, umumnya dipakai adalah wewaran dan wawukon. Wewaran yang umum dipergunakan adalah dua yaitu Panca Wara yang terdiri dari Umanis, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Yang kedua adalah Sapta Wara, yaitu Redite, Coma, Anggara, Budha, Wras-pati, Sukra, dan Saniscara. Sedangkan Wawukon adalah Shinta, Landep, Ukir, Kulantir, Tolu, Gum-bereg, Wariga, Warigadean, Julungwangi Sung-sang, Dungulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Kelurut, Merakih, Tambir, Medan-gkungan, Matal, Uye, Menahil, Perangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Klawu, Dukut lan Watugunung.

Umumnya menurut kepercayaan masyarakat Hindu di Bali, kelahiran atau kehidupan seseorang baik mengenai perangai, tingkah laku, malang-mujur nasibnya bahkan kesehatannya akan sangat dipengaruhi oleh hari seperti lintang, dauh, ingkel serta wewaran.

 

Tujuan Bayuh Oton

Pelaksanaan mabayuh dalam agama Hindu di Bali punya maksud dan tujuan yaitu menyelamatkan manusia dari akibat keburukan hari lahir dan unsur karma phala yang buruk dan masih melekat pada diri manusia serta menyucikan pengaruh bhuta kala yang ada pada diri manusia dan selanjutnya dapat menolong hidup manusia. Kedua, membentuk karakter anak. Upacara bayuh oton juga diyakini dapat memperbaiki sifat buruk seseorang yang dibawa sejak lahir dengan cara melakukan pabayuhan atau membersihkan badan jasmani dan rohani.

A. Menghilangkan Derita Bawaan

Jika dikaji lebih dalam, kata karma merujuk kepada pengertian, suatu tindakan atau akumulasi berbagai tindakan, yang baik atau yang tidak baik, telah terjadi mengikuti jalan pikiran yang sudah dipolakan, terstruktur, sesuai dengan kadar intelektualitas orang yang bersangkutan. Dan tindakan-tindakan yang telah terjadi, membawa konskwensi tertentu pula. Maka semua tindakan, yang baik atau yang tidak baik, yang dilatar belakangi oleh kesadaran, memberikan stigma dalam kurun waktu yang tidak terbatas.

Namun pada sisi lain, ada suatu tindakan yang tanpa didahului oleh suatu pemikiran sadar terlebih dahulu, namun tindakan itu sudah muncul, bersifat reflektoris atau bahkan yang dilakukan semasa bayi.
Wasana dikatakan sebagai bekas-bekas dari tindakan dan/atau pikiran yang telah dilakukannya sendiri, terlepas dari pikiran itu murni berasal dari dirinya sendiri atau merupakan produk pola pikir orang lain, namun telah direkonstruksi seolah murni hasil pemikirannya sendiri. Merujuk hal ini, karma wasana dapatlah diartikan sebagai bekas-bekas tindakan sebagai akibat produk pikiran yang sadar yang mendahuluinya.

“Dalam roda besar Brahman, jiwa mengembara seperti seekor angsa, memikirkan dirinya dan sang pemberi inspirasi sebagai dua entitas yang terpisah. Manakala sang jnana hadir pada dirinya, maka dua entitas itu tidak lagi ada, dia sang jiwa lebur kedalam Jiwa Yang Agung. Dia kini menjadi “dia yang mencapai keabadian”. Brhadaranyaka Upanisad IV,4.4 mengingatkan.

Pada kondisi ini, maka wasana tidak akan diketemukan lagi. Kata Upanisad 11.2.1. menjelaskan: Beberapa jiwa masuk kedalam kandungan untuk ditubuhkan, yang lain masuk kedalam obyek-obyek yang tidak bergerak, sesuai dengan perbuatannya dan pikirannya…”.

Setiap jiwa yang ditubuhkan ulang, tidak akan pernah keliru memasuki obyek-obyek bergerak (hidup) atau obyek yang tidak bergerak (mati) yang sesuai dengan perbuatannya. Jiwa-jiwa individu masuk ketempat-tempat itu tidak akan keliru, tidak salah arah, karena penciptanya dirinya sendiri. Artinya, hanya jiwa itu yang memasuki tempat yang spesifik untuk dirinya, bukan yang lain. Pergerakan menuju kearah sana hanya ada satu sebab, karma, bukan sebab lain, bukan keimanan, bukan karena mengamini suatu tradisi yang ada, namun “hanya itu”, yang sesuai dengan perbuatannya”. Ini juga berarti, dengan munculnya hal seperti ini (one way trafic path-way), kita dibawa kepada satu pemahaman, reinkarnasi menolak adanya kehidupan kekal seperti dalam dunia fenomenal.

Reinkarnasi adalah samsara, pengulangan bentuk kehidupan setelah kematian sampai ada batas waktu tertentu yang diciptakan juga oleh dirinya sendiri. Paham yang ingin dikemukakan oleh reinkarnasi adalah: yang kekal adalah jiwa; bukan badan mated. Logikanya, reinkarnasi “memperbanyak jumlah hidup tiap orang” sampai dia dibersihkan-bersih dari dosa, menentukan secara definitif hidup terakhirnya, hidupnya yang adil.

“Kadyangganing dyun, mewadahning hinggu, huwus ilang hinggunya, pinahilang, kawekas ya ta ambonya, gandhanya rumaket irikang dyun”
Wraspati Tattva 3-35.
Ketika kemenyan dalam dyun sudah habis, aura bau tetap melekat. Inilah karmawasana. Inilah yang membawa samsara.

Atas nama samsara, jiwa tidak pernah keliru mau masuk ke daerah mana, sesuai dengan tindakannya.

“Yata dumadyaken ikang jadma mapalenan, hana dewayoni, hana widhyadarayoni, akibat karmawasana ini pula, maka ada penjelmaaan yang berbeda-beda; orang yang hidupnya penuh kebaikan, ada orang yang hidupnya penuh dengan dukhalara (kesengsaraan) …”
demikian dilanjutkan oleh Wraspati tattva.

Dalam mitologi kematian yang berhubungan dengan karmawasana di Bali, Bhatara Yamadipati, mempunyai juru tulis, daitya yang bernama Sang Suratma, yang merekam semua tindakan semua mahluk, apakah karma baik atau karma buruk semasa hidupnya. Ini dengan sangat jelas menjelaskan makna dari karma wasana, bahwa Rta (Sang Suratma), bekerja di luar kesadaran manusia, mengalir dan tidak ada yang tidak direkam.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa karma wesana memiliki kesamaan dengan derita bawaan. Setiap manusia yang lahir ke dunia diyakini memiliki karma masa lalu – entah itu yang baik maupun buruk – yang akan dinikmati pada kelahiran selanjutnya. Apabila karma masa lalu buruk, maka berdampak pada karma buruk yang juga akan ditemukan pada kelahiran selanjutnya. Begitu juga dengan derita bawaan. Maka dari itu, derita bawaan yang lebih pada dunia bathin dan fisik ini harus dihilangkan dengan melaksanakan upacara ritual, salah satunya adalah Bayuh Oton.

Upacara mabayuh agung dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan upakara yang dipergunakan, ini didasari disamping perbedaan wewaran, wuku dan ingkel. Karena masing-masing punya ukuran pemayuh, tetapi perbedaan umur ini didasari oleh perbedaan unsur bhuta kala atau kekuatan yang dapat menganggu kehidupan manusia, sebab manusia dalam kandungan atau mulai tercipta sudah diikuti oleh saudara empat yang disebut dengan Sang Catur SanakSang Catur ini akan berubah nama dan kekuatannya sesuai dengan unsur atau perkembangan manusia seperti diceritakan pada waktu masih dalam kandungan manusia di mana terjadi sebagai berikut :

Malih banten katuring bhatara nuruning ipun Sang Hyang Kama Ratih, Sang Hyang Kama Jaya. maleh matebus, ma, ih pukulun paduka nira Sang Hyang Suntagi Manik, Sang Hyang Kemik Tuwuh, Sang Hyang Panungguh Urip, sira angamong atas bayune syabu.
Malih dimarane lekad, mategesin Sang Rare, adahang pejati ring Sang Ibu Pertiwi”. “Dilekade rare, punika ajake patpat, yeh nyom, getih, ari-ari luwu, lalima ring Sang Rare, punika ngawenang, reged Sang Rare, punika bersihin sami, ika gawehang banten tunasang ring Dewa, idihang ring manusa, apang ya bersih, ane nganteb banten, apang periksa ngarad kalane, ari-ari, yah nyom, getih, luwune.
Artinya
Lagi pula upakara diberikan kepada Bhatara yang menjadikan ia manusia, terdiri dari Sang Hyang Kama Ratih, Sang Hyang Kama jaya. Lagi pula memberikan upah, kepada Paduka Sang Hyang Suntagi Manik, Sang Hyang Kemik Tuwuh, Sang Hyang Penunggun Urip, yaitu yang memegang atma tenaganya si A, Lagi pula ketika lahir, berpesan sang bayi supaya dibuatkan pejati, untuk Sang Ibu Pertiwi. Pada waktu lahirnya si bayi ikut empat saudaranya yaitu : yeh nyom (merupakan cairan yang melindungi si bayi terhadap sentuhan dari luar). Darah yang mengedarkan sari makanan pada si bayi dan lain-lainnya, ari-ari merupakan tempat melekatnya tali pusar untuk menyerap makanan selama bayi dalam kandungan dan lamad yaitu merupakan lemak yang membungkus jasmani si bayi.
Lama banyaknya dengan sang bayi, itulah yang menyebabkan sakit si bayi, itulah yang dibersihkan semua, dengan membuatkan banten, dimintakan kepada Dewa, dimintakan kepada manusia, supaya bisa ngarad (narik) godaan-godaan yang dikeluarkan oleh ari-ari, lamad, darah dan yeh nyom.

Berdasarkana kutipan di atas : manusia terjadi dari kama jaya dan kama ratih. Pertemuan kama jaya dan kama ratih maka menimbulkan kama sunya (Atas).

Pada waktu lahirnya manusia dari dalam perut yang diikuti oleh saudaranya yang banyaknya empat itu : ari-ari, lamad, darah dan yeh nyom, maka bayi berpesan atau berjanji kepada Sang Hyang Ibu Pertiwi dan kepada Sang Hyang Akasa memberitahukan bahwa sang bayi beserta saudaranya empat (Kanda Pat), disuruh menerima dan menjaga keselamatannya, supaya panjang umur, sang bayi itu berjanji memberi upacara pejati. Di samping itu timbulnya penyakit di dalam diri manusia disebabkan oleh saudara empat ini, jika manusia tidak ingat kepada-Nya, dalam arti yang empat itu hendaknya dikembalikan kepada asalnya dengan cara membuat upacara, dimintakan kepada Dewa-dewa supaya saudaranya bersih, sehingga yang memberikan penyakit tidak terjadi.
Manusia hidup di dunia ini tidak begitu lama, setelah mati ia bertemu lagi dengan saudara empatnya. Di sana ia menerima hasil perbuatannya pada waktu hidupnya di dunia, entah itu baik atau buruk tergantung dari karmanya yang diperbuat semasa hidup. Manusia lahir ke dunia ini serba terbatas adanya, baik itu cara berpikir, berbuat dan tindakannya, maka manusia tidak bisa lepas dari perbuatan baik maupun buruk yang akan diterima hasilnya nanti, seorang yang berjasa dalam melakukan amal soleh atau kebajikan yang suci akan dapat mencapai Tuhan (sorga) dan apabila ia sering berbuat kurang baik atau Adharma maka ia akan menerima pahala yang jelek pula. Manusia tidak bisa ingkar dari hasil perbuatannya entah itu baik maupun buruk, Tuhan maha adil artinya tidak pilih kasih dalam menjatuhkan hukuman, atma yang banyak membawa karma kurang baik, maka digambarkan hidup di neraka, di sana atma diberi hukuman sesuai dengan karmanya atau mendapat pahala sesuai dengan karmanya, penjelmaan manusia dari alam neraka sangat nista, disini terjadi siklus atma entah menjelma semakin baik maupun buruk tergantung dari karmanya.

Demikianlah ke-neraka-an yang dialami oleh atma yang selalu berbuat jahat, dan memberikan atma yang melakukan subha karma, pengaruh karma itulah yang menentukan corak nilai dari pada watak manusia. Bermacam-macam jenisnya dan tidak terhitung banyaknya watak manusia beraneka ragam macamnya, karma yang baik menciptakan watak yang baik dan karma yang buruk menciptakan watak yang buruk sehingga dapat menjadikan manusia hidup menderita.

Janji yang diucapkan merupakan suatu hutang, hutang ini harus dibayar. Hutang yang dibawa oleh atma dapat berpengaruh terhadap hari kelahiran manusia di dunia ini, di mana hari-hari atau wewaran dan wuku dapat mempengaruhi hidup manusia, tetapi umat Hindu meyakini hal itu dapat dibayuh dengan upakara tertentu. Dengan upacara mabayuh diharapkan hidup manusia dapat diselamati dari berbagai bahaya atau rintangan, akibat kelahiran seperti : sakit-sakitan, pikiran kacau (gila), gagal dalam suatu usaha dan kematian.

B. Pembentukan Karakter Anak

Dalam agama Hindu, pembentukan karakter anak sebenarnya sudah dilakukan sejak dini. Itu sudah dimulai ketika ibu dan bapak mengadakan senggama yang harus dilakukan dengan tujuan mendapat anak yang baik. Artinya, upacara ini dimaksudkan sebagai upaya penyempurnaan terhadap diri manusia secara spiritual, niskala.
Pembentukan sikap, watak, dan karakter anak dapat ditempuh melalui banyak hal salah satunya ada upacara otonan. Di Bali kelahiran atau kehidupan seseorang baik mengenai perangai, tingkah laku, malang-mujur nasibnya bahkan kesehatannya akan sangat dipengaruhi oleh hari seperti lintang, dauh, ingkel serta wewaran. 

Apabila seorang anak memahami atau mengetahui karakteristik prilaku dan sifat bawaaan sejak lahir, maka mereka memiliki peluang untuk memperbaiki sikap dan karakter tersebut. Selain itu, digelarnya upacara bayuh oton juga dapat membentuk karakter-karakter yang baik untuk anak. Secara tidak langsung di sana ada internalisasi nilai-nilai religius dalam diri anak. Apalagi sebelum pelaksanaan upacara bayuh agung, si anak akan melalui proses mewacakan terlebih dahulu, setelah itu baru meoton.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga