Komang Ayu, gadis kecil berumur delapan tahun dengan rambut dikepang dua, selalu merasa dunianya ada di dalam layar tablet. Pagi hari, ia bisa menaklukkan naga virtual. Siang hari, ia mengikuti petualangan putri-putri cantik di kartun kesukaannya. Sementara itu, di halaman rumah, Nenek Luh yang sudah keriput, sibuk memilah bunga, menyiapkan canang sari untuk persembahan.
“Ayu….., bantu Nenek petik bunga jepun di sana, Nak, !!! ” panggil Nenek suatu pagi, suaranya lembut.
Komang Ayu hanya menggumam. Matanya terpaku pada layar tablet. “Sebentar, Nek! … Level ini susah sekali !”
Nenek Luh tersenyum maklum. Ia tahu, di zaman sekarang, dunia anak-anak berbeda. Namun, ia tak pernah berhenti bercerita.
“Leluhur kita itu seperti akar pohon, Ayu. Kalau akarnya kuat, pohonnya tumbuh kokoh. Kalau kita rajin memberi canang dan membersihkan Pelinggih, mereka akan menjaga kita.”
Komang Ayu menganggap cerita Nenek itu “kuno”. Buang-buang waktu saja. Pelinggih leluhur di sudut halaman, sebuah bangunan kecil berukir batu yang diselimuti lumut, terasa seperti pajangan tua yang tak banyak gunanya. Pohon Jepun Tua di sebelahnya pun terlihat murung, bunga-bunganya sering layu sebelum sempat Nenek petik.
Suatu sore, Nenek Luh terbaring lemah. Batuknya tak henti. “Nek tidak bisa menyiapkan canang, Ayu,” katanya lirih. “Tolong, Nak. Hari ini kajeng kliwon, leluhur harus diberi persembahan.”
Komang Ayu menghela napas panjang. Terpaksa ia meletakkan tabletnya. Dengan ogah-ogahan, ia mengambil ceper (wadah canang) kosong. Ia memetik bunga-bunga seadanya, mencampur dengan daun sirih yang asal-asalan, dan menaruhnya di Pelinggih. Bahkan bunga jepun yang seharusnya menjadi mahkota canang pun ia biarkan layu di dahan.
Setelah itu, ia kembali ke tabletnya. “Sudah, Nek!” serunya.
Mulai hari itu, hal-hal aneh terjadi. Sinyal tablet Komang Ayu sering hilang, game-nya crash di level paling seru. Lebih parah lagi, buku pelajaran Bahasa Indonesia miliknya, yang akan dipakai ulangan besok, raib! Padahal ia yakin sekali menaruhnya di meja belajar.
Komang Ayu panik. Ia mencari ke seluruh penjuru rumah, sampai ke bawah kolong tempat tidur. Nihil. Ia bahkan melihat Pohon Jepun Tua di halaman terlihat semakin murung, bunga-bunganya tidak mekar sama sekali, hanya daun-daun kuning berguguran.
“ Aduh, bukuku hilang! ” keluh Komang Ayu, hampir menangis. Ia duduk di bawah Pohon Jepun Tua, menatap Pelinggih yang tampak kusam.
Tiba-tiba, ia merasakan semilir angin melewati telinganya. Ada bisikan yang sangat lembut, seperti desiran daun, namun begitu jelas di benaknya: “Jejak kebaikan ada di langkah kaki yang tulus, di setiap bunga yang kau petik dengan hati…”
Komang Ayu merinding. Bisikan itu terasa seperti suara Nenek Luh, namun lebih tua, lebih bijaksana. Ia menatap Pelinggih itu. Benar juga, ia belum membersihkannya dengan benar.
Dengan perasaan campur aduk antara takut dan penasaran, Komang Ayu mengambil sapu lidi kecil. Untuk pertama kalinya, ia mulai membersihkan area Pelinggih dengan sungguh-sungguh. Ia menyapu daun-daun kering, membersihkan debu-debu di ukiran batu. Lalu, ia memetik bunga jepun yang sudah layu di dahan.
Saat tangannya memetik, tiba-tiba, sebuah setangkai bunga jepun yang sangat segar, putih bersih, dan berbau harum semerbak, melayang jatuh tepat di telapak tangannya. Bunga itu terasa sejuk dan bergetar, seolah hidup. Ia melihat ke atas, Pohon Jepun Tua itu seperti tersenyum, dan kini ada beberapa kuntum bunga lain yang mulai mekar.
Dengan hati-hati, Komang Ayu meletakkan bunga jepun segar itu di atas canang yang baru ia buat dengan lebih teliti. Ia berjongkok di depan Pelinggih, menutup mata, dan dengan tulus mengucapkan,
“Sugra pakulun, Nenek dan Kakek leluhur … Maafkan Komang. Semoga Komang bisa lebih rajin lagi…”
Sebuah kehangatan menyelimuti hatinya. Ketika Komang Ayu membuka mata, ia melihat sesuatu yang indah. Seekor kupu-kupu berwarna biru keemasan, yang belum pernah ia lihat sebelumnya, terbang dengan anggun dari balik Pelinggih. Kupu-kupu itu tidak langsung pergi, melainkan hinggap sebentar di bahunya, seolah menyapa.
Lalu, kupu-kupu itu terbang perlahan, meliuk-liuk di udara, menuju ke sudut halaman yang jarang ia datangi, tepat di balik batang Pohon Jepun Tua yang rimbun. Komang Ayu mengikuti kupu-kupu itu.
Dan di sanalah, terselip rapi di antara akar-akar pohon, bukunya yang hilang tergeletak!
Komang Ayu berteriak kegirangan. Ia mengambil bukunya, lalu berlari memeluk Nenek Luh yang sudah merasa baikan. Ia menceritakan semua yang terjadi: bisikan dari pohon, bunga jepun yang jatuh, kupu-kupu, dan buku yang ditemukan.
Nenek Luh tersenyum, mengelus rambut cucunya.
“Leluhur kita tidak hanya ada di Pelinggih, Nak. Mereka ada di setiap kebaikan yang kita lakukan, di setiap bunga jepun yang harum, di setiap napasmu. Mereka tidak butuh persembahanmu, mereka butuh ketulusan hatimu.”
Sejak hari itu, Komang Ayu tidak lagi malas. Ia rajin membantu Nenek menyiapkan canang, membersihkan Pelinggih, dan menyiram Pohon Jepun Tua. Ia tidak lagi melihatnya sebagai tugas, tetapi sebagai cara untuk berkomunikasi dengan leluhurnya, yang kini ia tahu selalu ada, membimbingnya. Tabletnya pun kembali normal, game-nya tidak lagi crash, dan ia merasa lebih tenang serta bahagia.
Bunga-bunga jepun di halaman rumah mekar dengan indah setiap pagi, harum semerbak, seolah tersenyum. Komang Ayu tahu, setiap bunga yang mekar, setiap daun yang bergoyang, adalah bisikan dari leluhurnya, yang selalu menjaganya.
