Langit malam Canggu tidak lagi diterangi bulan, tetapi oleh lampu-lampu neon dari beach club dan deretan billboard yang mempromosikan NFT dan crypto currency. Di tengah hiruk-pikuk modernitas ini, di sebuah gubuk reyot yang tersembunyi di balik hutan bambu, tinggal Jero Balian Ketut (70).
Jero Ketut adalah Balian Usada — penyembuh yang menggunakan ramuan herbal dan mantra penyembuh kuno. Namun, pasiennya kini bukan lagi petani yang sakit karena guna-guna. Pasiennya adalah anak-anak muda Bali yang tiba-tiba sakit mental, panik tanpa sebab, atau mengalami kemunduran finansial yang menghancurkan.
Kasus paling mengganggu adalah I Gede Satya (25), seorang trader kripto yang sukses luar biasa dalam semalam, namun kini terbaring kaku, matanya menatap langit-langit, selalu menggumamkan angka-angka digital yang tak bermakna. Dokter modern menyerah.
“Anak ini tidak sakit, Nyonya,” kata Jero Ketut pada ibu Satya. “Ia dirasuki oleh Aji Pengiwa (ilmu hitam) yang memanfaatkan keserakahan. Kekuatan yang ia kejar terlalu cepat, dan ia lupa Dharma-nya.”
Jero Ketut menyadari bahwa Leak modern tidak lagi hanya mencari janin atau mayat. Mereka mencari energi keserakahan dan kekosongan spiritual yang dihasilkan oleh ambisi cepat kaya di era digital. Mereka mengubah diri menjadi pusaran hawa nafsu yang tak terlihat (sekala) namun dampaknya nyata (niskala).
Malam itu adalah Kajeng Kliwon Enyitan—malam paling angker. Jero Ketut mempersiapkan ritual. Ia duduk bersila di depan sebuah sanggah tutuan (pura kecil di rumah), membakar dupa, dan merapal Mantra Penengen—mantra putih yang melindungi dan menyeimbangkan.
Saat ia bermeditasi, ia merasakan tekanan energi yang luar biasa datang dari arah barat, tempat villa-villa mewah dibangun di atas lahan suci.
Ia menerawang. Di dalam kesadaran Satya yang sakit, Jero Ketut melihat wujud Satya yang masih utuh, dikelilingi oleh ribuan kode digital dan diagram kripto yang berputar cepat. Di tengah pusaran itu, terdapat wujud Rangda (Ratu Leak) yang tertawa nyaring, taringnya menjulur, namun wajahnya tidak berwujud api, melainkan terbuat dari layar LED yang menampilkan grafik pasar saham yang naik-turun gila-gilaan.
Leak ini, Sang Ratu Digital, tidak memakan darah, tetapi memakan jiwa yang lupa diri.
Jero Ketut tahu ia harus berhadapan langsung. Ia tidak bisa melawan dengan kekerasan. Ia harus melawan dengan kesadaran.
Ia mengambil sebuah daun sirih yang telah diisi mantra. Sambil membacakan mantra usada yang menenangkan, ia meludah (nyimbuh) perlahan pada daun sirih itu.
“Om Rangda nirmalaya, tumus, langgeng, urip. Kembalilah pada Dharma, kembalilah pada diri sejati. Kemewahan duniawi hanyalah fatamorgana. Keseimbangan adalah segalanya.”
Jero Ketut lantas berjalan ke kamar Satya. Dengan tenang, ia menempelkan daun sirih bermantra itu ke dahi Satya.
Saat daun sirih menyentuh kulit Satya, terjadi keajaiban magis: Tubuh Satya kejang sesaat. Dari mulutnya, bukan suara teriakan keluar, melainkan suara dering notifikasi ponsel yang nyaring, diikuti tawa Rangda yang terdengar pecah seperti suara speaker rusak.
Di niskala, Jero Ketut merasakan Ratu Digital itu berteriak, marah karena sumber energinya terputus.
“Kau menghancurkan kerajaanku! Mereka semua adalah pengikutku! Mereka semua ingin kaya dalam sekejap!” raung suara gaib itu dalam benak Jero Ketut.
Jero Ketut membalas, “Engkau tidak punya kuasa atas karma baik! Anak ini mencari kekayaan, tetapi engkau menjebaknya dalam keserakahan. Aku mengembalikan kesadaran, agar ia bisa memilih jalannya sendiri, jalan yang sejalan dengan Tri Hita Karana.”
Perlahan, grafik digital di sekeliling Satya meredup. Tubuh Satya rileks, dan ia menarik napas panjang. Matanya terbuka, air mata menetes, bukan karena sakit, melainkan karena sadar.
Satya sembuh. Ia meninggalkan dunia trading yang penuh gejolak. Ia kembali ke desa, mulai bertani, dan hidup sederhana.
Jero Ketut kembali ke gubuknya. Ia tahu, pertarungan melawan Leak modern baru saja dimulai. Selama manusia di Bali terus membiarkan keserakahan, ambisi, dan kekosongan spiritual menguasai, selama itu pula Mantra Penengen harus terus dirapal di tengah kebisingan dunia, menjaga agar sekala (nyata) dan niskala (gaib) tetap seimbang di Pulau Dewata.
