Taksu Tukang Ukir Barong

Gema Taksu Pemahat Topeng Barong


Langit Ubud terasa panas. Di tengah keramaian toko cendera mata yang menjual ukiran kayu replika buatan mesin, hidup seorang Undagi (seniman pengukir) bernama I Wayan Gede (40).

Wayan adalah generasi kelima dari keluarga pemahat kayu di Desa Mas. Palu dan pahatnya bukan sekadar alat, melainkan perpanasan jiwanya. Namun, bengkelnya sepi.

Di etalase modern di seberang jalan, patung-patung Barong raksasa dari pabrik Vietnam, yang dicat mengkilap dan dijual seharga kopi susu, menarik perhatian turis.

“Taksu tidak bisa dimakan, Wayan !!!” sindir adiknya, Nyoman, yang kini sukses menjual vila-vila minimalis.

“Jual sajalah tanah di belakang rumah itu. Buat modal drop-ship ukiran murah, untungnya lebih besar !”

Wayan diam. Ia sedang mengerjakan topeng Barong paling sulit dalam hidupnya. Bukan untuk dijual, melainkan untuk ngayah (persembahan/pelayanan tulus) di Pura Dalem desanya. Kayu yang ia gunakan adalah kayu Jati tua, berusia lebih dari seratus tahun, hadiah dari seorang pemangku (pemimpin ritual) yang percaya hanya Wayan yang bisa “menghidupkan” kayu itu.

Patung ukiran yang dibuat Wayan dikenal memiliki Taksu.

Karyanya, meski sederhana, memancarkan aura. Ada kekuatan wibawa yang membuat orang berhenti, terdiam, dan merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar.

Namun, Taksu itu sulit didatangkan.

Wayan sudah berminggu-minggu duduk di depan topeng Barong itu. Matanya lelah, tangannya gemetar. Setiap kali ia mulai memahat, ia merasa energinya hilang. Pikirannya dipenuhi kebisingan modern : tagihan listrik, cicilan motor, dan cemoohan adiknya.

Ia menyadari, bahwa Taksu lari ketika Idep (pikiran) tidak selaras dengan Sabda (ucapan) dan Bayu (semangat). Ia telah membiarkan keraguan dan ketamakan material menguasai jiwanya.

Puncaknya, Wayan memutuskan berhenti memahat. Ia menutup bengkelnya, meletakkan pahatnya, dan menghabiskan malam dengan memandang langit Bali yang bertabur bintang, jauh dari layar ponsel dan lampu kota.

Tiba-tiba, ia mendengar gema dari dalam rumah : Bunyi pahat yang nyaring, seolah ada yang sedang bekerja di bengkelnya.

Wayan bergegas masuk. Lampu bengkelnya mati, tapi samar-samar, ia melihat siluet kakeknya, almarhum I Gusti Made, sedang berdiri di depan topeng Barong Jati Tua. Kakeknya, sang Undagi legendaris, tampak memegang pahat dengan gerakan yang tak mungkin dilakukan oleh manusia.

“Siapa di sana ?!” seru Wayan, takut sekaligus terpesona.

Siluet itu tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke arah topeng Barong dengan ujung pahatnya, lalu menghilang.

Wayan mendekati topeng itu dengan jantung berdebar. Di bagian dahi Barong, yang sebelumnya polos, kini terdapat satu garis ukiran yang sangat halus, tapi bertenaga. Garis itu begitu hidup, begitu berwibawa, seolah mata Barong itu akan terbuka.

Wayan mengerti. Siluet itu bukanlah hantu, melainkan manifestasi dari Taksu Paica (Taksu anugerah) yang diturunkan oleh leluhurnya melalui kayu tua itu. Kakeknya mengingatkannya : Taksu bukanlah teknik pahat, melainkan ketulusan jiwa dan totalitas (Bayu) dalam ngayah.

Mulai pagi itu, Wayan tidak lagi memikirkan uang atau persaingan. Ia kembali ke esensi. Ia membersihkan Pelinggih Taksu di merajan rumahnya, bersembahyang memohon keheningan, dan menyerahkan dirinya sepenuhnya pada kayu Jati Tua itu.

Ia memahat dengan totalitas, dengan Bayu yang membara dan Idep yang jernih. Setiap goresan pahatnya kini terasa seperti ritual. Ia tidak lagi melihat Barong sebagai benda, melainkan sebagai wadah suci.

Setelah dua minggu, Topeng Barong itu selesai.

Ketika Wayan membawa Barong itu ke Pura Dalem, seluruh desa terdiam. Topeng itu begitu berwibawa, memancarkan energi agung. Orang-orang tidak melihat Wayan Gede, mereka melihat roh Taksu yang merasuki karya itu. Air mata seorang penari senior tumpah, “Ini bukan hanya ukiran, ini jiwa Bali yang hidup kembali!”

Kisah Topeng Barong ber-Taksu ini menyebar cepat. Pesanan datang, bukan lagi untuk cendera mata, melainkan untuk patung yang akan digunakan di pura dan balai banjar.

Wayan Gede tersenyum. Ia tahu, di era pabrik dan mesin cetak,Taksu adalah diferensiasi sejati. Itu adalah semangat yang tak bisa direplikasi, hasil dari dedikasi total, ketulusan, dan keyakinan bahwa seni adalah ngayah—sebuah persembahan suci.

Sejak saat itu, bengkel Wayan kembali hidup, bukan karena strategi bisnis modern, melainkan karena getaran dari setiap pahatan yang ia buat — gema pahat yang berbicara langsung ke jiwa.

 


Pesan Pembangkit Semangat:

  1. Taksu adalah Totalitas: Kekuatan sejati (Taksu) datang dari totalitas, ketulusan, dan kejujuran dalam berkarya (Bayu-Sabda-Idep).

  2. Kualitas Mengalahkan Kuantiitas : Di tengah persaingan modern, nilai spiritual (Taksu) pada karya seni adalah keunggulan yang tidak bisa ditiru mesin.

  3. Kembali ke Akar : Terkadang, untuk maju, kita harus kembali pada niat suci awal (ngayah) dan melepaskan keraguan material.

 



HALAMAN TERKAIT