Carita Jaratkaru, Kewajiban seorang anak pada Leluhur


Adapun Carita Jaratkaru muncul dalam bab V, yang oleh Sri Reshi Anandakusuma dibukukan secara tersendiri dalam bentuk Putru Astika Carita. Cerita ini juga termuat dalam Peparikan Adiparwa hasil kreativitas I Wayan Djapa.

Carita Jaratkaru adalah salah satu cerita bagian dari Adiparwa. Adiparwa merupakan parwa pertama dari delapan belas parwa Mahabharata yang dikenal dengan Astadasaparwa. Sebagai sastra parwa umumnya, Cerita Jaratkaru juga menunjukkan ketergantungannya dari kutipan-kutipan karya asli dalam bahasa Sanskerta yang tersebar di seluruh teks. Intinya cerita ini menekankan pemahaman tentang cinta kasih anak terhadap orang tua, dijabarkan dalam bentuk ruwat. Teks Carita Jaratkaru pada konteks umat Hindu di Bali memiliki makna hakiki sebagai nilai mengenai hubungan leluhur dan anak, namun dalam kenyataan sebagian masyarakat khususnya generasi muda melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai tersebut. Carita Jaratkaru digunakan oleh masyarakat Hindu Bali di dalam mengiringi aktivitas panca yadnya, terutama pada upacara pitra yadnya.

Di Bali Astika Carita lebih populer dengan sebutan Carita Jaratkaru. Cerita ini sangat melekat dan menjadi ikon menarik dalam kehidupan masyarakat Bali, atas pilihan hidup tokoh  Jaratkaru  menjadi seorang brahmacari (nyukla brahmacari) yang oleh masyarakat Bali dipahami sebagai tingkatan hidup membujang atau tanpa mendambakan pendamping selama hidupnya.

Cerita ini berkisah tentang seorang brahmana yang kesehariannya tekun mengumpulkan butir-butir padi untuk ditanak dan dipakai jamuan atau hidangan kepada tamunya serta dihaturkan kepada dewa (Tuhan). Cerita ini mencerminkan satu ketekunan seorang tokoh Jaratkaru yang sejak kecil komitmen untuk melakukan brahmacari, dan hanya melakukan tapabrata demi meningkatkan kecerdasan menempuh pendidikan dengan jalan bertapa.

Pada puncak keberhasilan tapanya, Sang Jaratkaru mendapat anugrah secara bebas/leluasa pergi kemana saja yang ia inginkan untuk melakukan ziarah. Dalam perjalanan ziarahnya sampailah ia pada suatu tempat antara sorga dan neraka, yang disebut ayatanastana. Di tempat itulah secara tidak sengaja ia melihat ātma tergantung di buluh petung yang di dalamnya seekor tikus  mengerat atau berusaha memotong buluh petung tersebut. Keadaan ātma yang bercirikan brahmana tersebut sangat memperihatinkan. Selain kakinya diikat, tubuh yang bergayut di buluh itu terlihat sangat kurus, kusut, lesu dengan rambut putih yang terurai. Inilah yang membuat hati Jaratkaru terenyuh, sedih, dan belas kasihan, seakan ikut merasakan penderitaan ātma tersebut.

Sang Jaratkaru mendekati dan berusaha menanyakan prihal ātma tersebut. Dari percakapan/dialog inilah sebenarnya inti dari Carita Jaratkaru sekaligus menjadi klimaks persoalan yang disampaikan dalam cerita ini.

Yayawarabrata (ayah Jaratkaru atau ātma yang tergantung) menjelaskan ikwal dirinya digantung di buluh petung tersebut adalah lantaran anaknya yang bernama Jaratkaru tidak berketurunan. Doktrin yang ingin ditanamkan dalam cerita ini adalah seseorang yang tidak berketurunan orang tua/leluhurnya akan di gantung di buluh petung. Setidaknya secara ideologis cerita ini menguatkan dan menjadi pembenar bahwa anak yang tidak berketurunan orang tuanya akan disiksa/digantung di buluh petung. Meski cerita semacam ini juga dianggap sebagai mitos pengukuhan, tetapi hal ini tidak dipungkiri mempengaruhi keyakinan dalam kehidupan masyarakat Bali. Cerita ini memberi sinyalemen agar setiap orang berketurunan sehingga tidak memutus tali hubungan antara anak dengan leluhurnya. Hanya kehadiran seorang ‘anak’ yang dapat mengubah status seseorang dapat disebut ‘bapak/ayah’ bagi anaknya atau ‘kakek/nenek’ bagi cucunya.

Carita Jaratkaru mengungkapkan persoalan dilematis, merujuk pilihan hidup brahmacari dari Sang Jaratkaru. Di satu sisi Sang Jaratkaru komitmen ingin melakukan sukla brahmacari sesuai dengan harapan dan cita-citanya dari kecil. Di sisi lain brahmacari sebagai pembujangan seumur hidup yang dilakukan Sang Jaratkaru berkonskuensi memutus tali hubungan antara leluhur dengan keturunannya. Ini berarti ia telah membuat kebuntuan proses reinkarnasi tempat (numitis) bagi leluhurnya yang telah disucikan/meninggal.

Untuk memecahkan dilema hidupnya, Sang Jaratkaru memilih memperistri perempuan yang senama dengan dirinya, yaitu Nagini Jaratkaru. Nama Nagini Jaratkaru menurut Dewa Aspada diuraikan sebagai berikut:

“Naga=ular, dan ni=perempuan yang berbudi halus, sehingga secara harfiah diartikan perempuan yang bermartabat”.

Sedangkan Jaratkaru diuraikan sebagai; jarat=sengsara, dan karu/karuni=welas asih/belas kasihan. Dewa Aspada dalam kirata basa-nya menguraikan makna Jaratkaru sebagai berikut:

“Ja=lahir, rat=dunia, ka=akibat, hru=panah, sehingga hidup di dunia ini adalah akibat kena panah (pikiran)” (hasil wawancara tanggal 9 Oktober 2009).

Dari perkawinan inilah Sang Astika lahir menandai keberhasilan perkawinan Sang Jaratkaru dengan Nagini Jaratkaru yang dapat membebaskan kedua pihak leluhurnya. Yayawarabrata (ayahnya Jaratkaru) melayang lepas dari gantungan buluh petung, dan para ular (saudara-saudaranya Nagini Jaratkaru) terbebas dari upacara sarpha yadnya (korban ular).

Ada nilai-nilai religius yang dilekatkan dalam Carita Jaratkaru ini sehingga konsep yang ditanamkan di dalamnya senantiasa menjadi orientasi kehidupan umat (penganutnya). Ada axioma dari sebuah siklus kehidupan yang ingin dikultuskan bahwa anak wajib memberikan keturunan. Kehadiran anak selain menjadi pelanjut dan penerus keturunan, ia juga menjadi penggerak siklus yang dapat mengubah status yang terlibat di dalamnya. Kelahiran anaklah yang membuat status orang menjadi bapak dan ibu, kakek dan nenek, dan seterusnya. Dalam Sarasamuccaya sloka 244 disebutkan; kunêng ikang anak, gumawe tuhaning bapa ya tuwi, artinya adapun si anak, sesungguhnya membuat  si bapak di panggil orang tua. Dikaitkan dengan Carita Jaratkaru, ‘anak’ menjadi kunci pembuka pintu kebebasan bagi setiap orang tua (leluhur) yang akan menapaki keberangkatannya menuju sorga.

Setiap anak secara pragmatis menjadi tumpuan harapan bagi orang tuanya. Hubungan hirearki yang terjadi antara orang tua, anak, dan cucu ibarat tali yang tidak mesti pernah terputus. Kehadiran tokoh Jaratkaru untuk melakukan nyukla brahmacari akan menjadi bumerang dan menghasilkan kebuntuan bagi penerus/regenerasi keturunan. Namun hal itu batal dilakukan, disebabkan oleh kehadiran tokoh lain (orang tuanya) yang sangat memerlukan belas kasihannya.

Inilah pelik kehidupan bahwa setiap orang tidak boleh hidup hanya mementingkan dirinya sendiri (anresangsya). Setiap kehidupan ditentukan dan menentukan hidup ‘orang lain’, dan tidak mungkin tidak tergantung pada yang lain pula. Jadi pahala (hasil) perbuatan sangat ditentukan oleh kehidupan sosial tokoh di dalam persentuhannya dengan tokoh lainnya.

Kualitas seseorang dapat diukur dari kebaikan yang pernah diperbuatnya pada orang lain. Axioma dalam kehidupan selalu mengikuti proses kausalitas melalui peran pelaku-pelaku atau tokoh-tokoh di dalamnya. Ini pula yang terjadi dengan tokoh Jaratkaru yang akhirnya goyah dan aporia setelah menyaksikan keadaan orang tuanya yang amat memerlukan pertolongannya. Mustahil ia dapat menikmati hasil tapanya kalau orang-orang di sekitarnya, orang-orang yang sepantasnya ia kasihi (orang tuanya sendiri), mendapatkan penderitaan hidup yang tidak diharapkannya.

Pilihan hidup yang dijalani sang Jaratkaru merupakan dilema baginya. Tidak ada yang lebih baik kecuali harus mengorbankan prinsip hidupnya (melepaskan ke-brahmacarian-nya), melakukan grehasta demi tujuan yang lebih mulia, yakni membebaskan orang tuanya. Ada panggilan, motivasi, dan kesadaran diri bahwa ia harus melakukan yang terbaik untuk orang tuanya menjadi anak suputra. Sang Jaratkaru secara dilematis harus memilih jalan tengah tanpa sepenuhnya melanggar/mengorbankan keyakinannya akan jalan brahmacari yang ditempuhnya. Ia memilih kawin dengan perempuan yang senama dengan dirinya. Perempuan senama bisa berarti orang yang mempunyai konsepsi ‘sama’ sehingga darinya dapat melahirkan harmonisasi.

Brahmacari, sebagai konsepsi secara konstruktif diterima masyarakat karena konsep ini mengandung pesan moral bagi setiap orang yang sedang menuntut ilmu pengetahuan dan secara semiotis menjadi simbol laki-laki yang tidak mudah tergoda oleh hasrat nafsu perempuan.

 

Kisah Sang Jaratkaru

Tersebutlah seorang pertapa Brahmana bernama Sang Jaratkaru. Setiap hari pekerjaannya mengambil biji butir-butir padi yang tersebar dijalan. Biji butir-butir padi itu dikumpulkannya dan dicucinya, kemudian ditanaknya dan dipergunakan untuk korban kepada para Dewa. Demikianlah hal yang ia kerjakan tiap hari. Ia tak memikirkan untuk beristri, namun hanya bertapa dan memuja para Dewa yang ia lakukan. Karena rajin bertapa, ia pun menguasai berbagai siddhi (kekuatan). Ia dapat pergi ke segala tempat yang ia kehendaki.
Suatu hari, ia berziarah ke Ayatanasthana, tempat di antara surga dan neraka, dimana ditempat itu leluhurnya sedang menunggu, apakah ia akan naik ke surga atau masuk neraka.

Ketika berziarah, Ia melihat leluhurnya tergantung pada sebuah buluh petung (pohon bambu), mukanya tertelungkup, kakinya diikat, dibawahnya terdapat sebuah jurang dalam menghadap ke neraka. Dia akan terjatuh, kalau bambu tempat bergantung itu putus. Seekor tikus tinggal di dalam buluh ditepi jurang itu, setiap hari mengerat buku batang bambu.

Sang Jaratkaru, berlinang-linang air matanya melihat hal itu. Sang Jaratkaru pun mendekati leluhurnya juga seorang petapa dan tiada pernah dapat makanan.

Sang Jaratkaru bertanya kepada leluhur itu;

“Apakah sebabnya tuanku bergantung pada buluh yang hampir putus oleh gigitan tikus, sedang dibawahnya jurang yang tiada terduga dalamnya?” seru Sang Jaratkaru.

Leluhur itu tidak tahu yang datang adalah anaknya Jaratkaru, ia pun menjawab;

“Keadaan saya seperti ini adalah karena keturunan kami ini putus. Itulah sebabnya saya pisah dengan alam leluhur dan bergantung dibuluh petung ini. Seorang keturunanku bernama Jaratkaru, ia pergi berkeinginan melepaskan ikatan kesengsaraan hidup, ia tidak beristri, karena menjadi seorang brahmacari dari kecil. Itulah yang menyebabkan saya berada dibuluh ini, karena brata semadhinya menjadi sang pertapa. Kalau engkau belas kasihan kepada saya, pintalah kepada Sang Jaratkaru supaya memiliki keturunan, supaya saya dapat pulang ke tempat para alam leluhur.”

Sang Jaratkaru tersayat hatinya melihat leluhurnya menderita kesusahan.

“Saya inilah yang bernama Jaratkaru, seorang keturunanmu yang gemar bertapa dan bertekad menjadi Brahmacari. Apapun kalau itu menjadi jalan untuk ke alam leluhur, janganlah khawatir, saya akan menghentikan pertapaan saya dan mencari seorang istri. Namun yang saya kehendaki, istri yang namanya sama dengan nama saya supaya tiada bertentangan dalam perkawinan. Dan bila sudah mempunyai anak, saya akan kembali menjadi brahmacari”.

Demikianlah kata Sang Jaratkaru, pergilah ia mencari istri yang senama dengannya. Ia pergi ke semua penjuru, tetapi tidak menemukan istri yang senama dengannya. Karena tidak tahu harus berbuat apa lagi, ia pun mencari pertolongan supaya dapat menghindarkan dirinya dari sengsara. Masuklah ia ke hutan sunyi, menangislah ia sambil mengeluh kepada semua Dewata. Berkatalah ia pada semua makhluk,

“Hai segala makhluk termasuk makhluk yang tidak bergerak, saya ini Jaratkaru seorang brahmana yang ingin beristri. Berilah saya istri yang senama dengan saya, biar saya mempunyai anak, supaya leluhur saya bisa pulang ke sorga.”

Tangis Sang Jaratkaru itu terdengar oleh para naga. Sang Naga Basuki pun mencari Sang Jaratkaru dan memberikan adiknya Sang Naga yang diberi nama Nagini Jaratkaru supaya berputra seorang brahmana, yang juga akan dapat sang Naga menghindarkan dirinya dari korban ular (yadnya sarpa).

Akhirnya Sang Jaratkaru pun beristri Naga Nagini Jaratkaru yang akan memberikannya putra dan membebaskan roh leluhurnya dari kesengsaraan juga membebaskan Sang naga dari korman ular.

Suatu hari, Jaratkaru duduk dekat istrinya, berkatalah Jaratkaru kepada istrinya;

“Saya berjanji dengan engkau, jika engkau mengucapkan apa yang tidak menyenangkan kepadaku, apalagi melakukan perbuatan yang tidak pantas, jika seandainya hal itu dilakukan olehmu, maka aku akan meninggalkan engkau”.

Demikianlah kata Jaratkaru kepada istrinya. Merekapun hidup bersama.

Setelah beberapa lama mereka hidup bersama, mengandunglah si naga perempuan Jaratkaru. Terlihatlah tanda kehamilan itu oleh si suami. Maka dia meminta supaya ditunggui ketika tidur, dia bermaksud mau meninggalkan istrinya. Memohonlah dia untuk dipangku kepalanya oleh istrinya, katanya:

“Pangkulah olehmu kepalaku waktu tidur”.

Dengan hati-hati si istri memangku kepada si suami. Sangat lama dia tidur, hingga waktu senja, sudah waktunya untuk sembahyang. Si naga perempuan Jaratkaru merasa bingung, dalam hatinya berkata:

“Sekarang adalah waktu sorenya para dewa. Waktu ini tuan brahmana harus membuat doa. Sebaiknya dia dibangunkan. Jikalau menunggu sampai dia terbangun, pastilah dia akan marah, karena dia sangat takut kalau terlambat sembahyang karena itu bagi dia merupakan tugas agama kepada para dewa”.

Lalu dibangunnyalah si suami:

“Tuanku Brahmana, bangunlah tuanku. Sekarang waktu telah senja tuanku, waktu untuk melakukan tugas agama. Bunga telah tersedia serta bau-bauan dan padi.”

Demikianlah katanya sambil mengusap wajah si suami. Kemudian bangunlah Jaratkaru. Cahaya kemarahan memancar pada matanya dan memerah mukanya karena marah besarnya.

“Engkau naga perempuan yang sangat jahat, engkau sebagai istri menghinaku, engkau sampai hati menggagu tidurku. Tidak layak lagi tingkah lakumu sebagai istri. Oleh karena itu akan kutinggalkan engkau sekarang ini. “

Demikianlah dia kemudian berjalan meninggalkan si istri. Si istri mengikuti berlari dan memeluk si suami:

“Maafkan hamba tuanku. Bukan maksud hati untuk menghina, jika hamba membangunkan tuanku, itu hanya mengingatkan sembahyangmu tiap senja. Salahkah itu, untuk itu aku menyembah tuanku, seyogyanyalah engkau kembali, tuan yang terhormat. Jika hamba telah beranak, di mana anak itu akan menghapuskan korban ular bagi saudara-saudaraku, maka tuanku dapat membuat tapa lagi.”

Demikianlah kata si naga perempuan meminta belas kasih. Jaratkaru menjawab:

“Alangkah pantas sikap si naga perempuan. Engkau mengingatkanku untuk memuja dewa ketika senja tiba. Tetapi hal itu tidak dapat mengubah kataku untuk meninggalkan engkau. Aku tidak akan tersesat. Itu kehendakku. Janganlah engkau kuatir. Asti, itulah nama anak itu. Anak itu akan menolong engkau kelak dari korban ular. Tenangkanlah hatimu”.

Kemudian pergilah Jaratkaru. Dia tidak dapat ditahan. Si naga perempuan memberitahukan kepada Naga Basuki akan kepergian si suami. Dia memberitahukan semua ucapan Jaratkaru dan memberitahukan bahwa perutnya ada isinya. Bersuka citalah Basuki mendengar itu semua. Setelah beberapa lama, lahirlah anak laki-laki dengan tubuh sempurna. Dinamailah anak itu Astika, karena si bapak mengucapkan “Asti”.

Dipeliharalah dia oleh Basuki, dididik serta diasuh menurut segala apa yang diharuskan bagi Brahmana, dirawat dan diberi kalung Brahmana. Dengan lahirnya Astika, maka arwah dari leluhur Jaratkaru yang menggantung di ujung bambu itu melesat ke Pitraloka, menikmati pahala tapanya. Patuhlah Astika, sehingga dapat membaca Weda. Diijinkannyalah dia untuk mempelajari segala sastra, mengikuti ajaran Bhrgu. Demikianlah cerita tentang Astika. Nakan itu juga adalah orang yang membuat naga Taksaka terhindar dari korban ular maharaja Janamejaya.


Sumber

I Nyoman Duana Sutika (Unud Denpasar)
I Gusti. Ngurah. Jayanti (BPSNT Denpasar)



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Blog Terkait