Perkawinan “Padagelahang”, alternatif bagi perkawinan Nyentana


Salah satu fase penting hidup manusia dalam bermasyarakat adalah perkawinan. Dikatakan penting karena perkawinan dapat mengubah status hukum seseorang. Semula dianggap belum dewasa dan dengan dilangsungkannya perkawinan dapat menjadi dewasa atau yang semula dianggap anak muda (deha) dengan perkawinan akan menjadi suami istri (alaki rabi), dengan berbagai konsensus yuridis dan sosiologis yang menyertainya.

Bentuk perkawinan yang umum dilaksanakan di Bali yaitu perkawinan biasa (memadik) dan perkawinan Nyentana. Dalam perkawinan biasa, si gadis meninggalkan rumahnya dan diajak kerumah keluarga pengantin laki-laki. Hal ini sesuai dengan sistem kekerabatan yang dianut di Bali, yaitu patrilenial (kebapaan).

  • Perkawinan Biasa (Mepandik) , Yaitu dalam perkawinan pihak laki-laki berstatus purusa, dan pihak perempuan berstatus pradana. Purusa dalam pengertian ini adalah: sebagai pelanjut keturunan dalam keluarga. Ini merupakan jenis perkawinan yang termasuk perkawinan biasa. Perkawinan ini dilakukan dengan cara meminang atau melamar perempuan tersebut dan disetujui oleh kedua belah pihak keluarga.
  • Perkawinan Nyeburin / Nyentana :  dalam perkawinan ini pihak perempuan sebagai purusa, sedangkan mempelai laki-laki yang berstatus pradana. Pada awalnya, perkawinan nyeburin dilakukan dalam upaya untuk mencegah putusnya garis keturunan dalam keluarga, tetapi perkembangan selanjutnya adalah untuk tetap mempertahankan anak perempuan tersebut dalam keluarga.
  • Perkawinan Ngerorod / Nyerod (detail)

Satu jenis perkawinan yang belum lazim dilaksanakan oleh masyarakat Bali adalah perkawinan ” Padagelahang / Negen ayah dua / madua umah / Mekaro.”. *Padagelahang dalam bahasa indonesia kurang lebih artinya “Sama sama memiliki”.

Memilih perkawinan biasa, keluarga perempuan pasti keberatan, karena keluarga ini akan ditinggalkan oleh satu-satunya anak perempuan yang dimiliki. Kalau memilih perkawinan Nyentana, keluarga laki-laki pasti tidak setuju, karena keluarga ini akan ditinggalkan oleh satus-atunya anak laki yang dimiliki.

Dalam hal ini pasangan suami istri tidak melangsungkan perkawinan biasa dan juga tidak melangsungkan perkawinan Nyentana, melainkan memilih bentuk alternative di luar dua bentuk perkawinan yang secara tradisional dikenal dalam hukum adat Bali.

Bentuk perkawinan Padagelahang belum banyak dikenal dalam masyarakat Bali, walaupun demikian dalam kenyataannya sejumlah keluarga telah melangsungkan perkawinan Padagelahang dalam istilah yang berbeda.

Sistem perkawinan dengan Padagelahang hampir mirip dengan perkawinan Nyentana, tetapi masing-masing mempelai diberikan hak sebagai pewaris pada kedua rumah dari kedua pihak keluarga.

Oleh karena itu upacara perkawinan dilaksanakan di dua tempat secara bergantian. Selanjutnya juga  terdapat upacara mejaya-jaya, dalam tatanan utamaning nista terdapat upakara munggah di Palinggih Kamulan, sebagai upacara pebersihan setelah melakukan upacara pebyokaonan.

Pelaksanaan majaya-jaya dilakukan memohon kepada Bethara Guru untuk membersihkan kama bang dan kama petak, serta memohon doa restu secara niskala kehadapan Bethara Guru (leluhur) di Sanggah Kemulan. Pengertian mapamit bukanlah anak perempuan itu dibuang dari keluarga, akan tetapi dia sudah sampai pada batas masa brahmacari asrama akan mengalih menjadi grehasta asrama (permisi akan kawin). Dipandang dari sudut pewaris, setelah  melangsungkan mepamit, berarti seorang wanita telah meninggalkan kewajiban di rumahnya, kemudian melaksanakan kewajiban di rumah suaminya, sehingga hak warisnyapun dilepas.

Rupanya pada tahapan inilah pelaksanakan perkawinan Padagelahang mengalami pergeseran, pada beberapa perkawinan mengabaikan upacara mepamit bagi si wanita, karena sudah ditetapkan sebagai purusa dalam keluarga. Dengan demikian perlu mendapatkan pengertian yang luas tentang hubungan antara pewaris dan mepamit dalam perkawinan Padagelahang.

Perkawinan Padagelahang menggeser pengertian mapamit ke dalam pengertian yang baru, yakni seharusnya upacara majayajaya itu tetap saja dilaksanakan bagi kedua mempelai, sebab menuju kepada pengertian dalam ajaran agama Hindu, bahwa mapamit itu salah satu unsurnya adalah sebagai titik balik masa brahmacari menuju ke masa grehasta serta membersihkan kama bang dan kama petak.

Tidak melangsungkan mapamit, oleh karena sang pria dan sang wanita tidak berpindah tempat kemanapun sebagai ahli waris di keluarga tersebut. Perkawinan Pada gelahang sesungguhnya dalam upacara majaya-jaya, hanya sebatas memohon kesaksian terhadap leluhur (bathara Guru) untuk melangsungkan perkawinan.

Penyebab Perkawinan Padagelahang di Bali

Padagelahang, tentu ada berbagai faktor yang mendasari sehingga hal ini dapat terjadi dan dilaksanakan oleh masyarakat.  Perubahan sosial baik dalam tata cara upacara keagamaan maupun tata cara perkawinan dewasa ini pada berbagai segi telah mengalami pembaharuan, terutama dalam hal kesetaraan gender yang memungkinkan adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Sedikitnya dapat memberikan pengaruh terhadap munculnya alternatif lain dalam tatanan perkawinan adat Bali, sebagai hal yang belum lumrah dilaksanakan yakni perkawinan Padagelahang, tentu ada berbagai faktor yang mendasari sehingga hal ini dapat terjadi dan dilaksanakan oleh masyarakat.

A. Melanjutkan Keturunan dan Ahli Waris

Pada setiap perkawinan di Bali tentu didasari oleh adanya keinginan untuk meneruskan keturunan, selain sebagai kebutuhan biologis secara alamiah. Secara naluriah, manusia diberikan anugrah oleh Tuhan untuk memiliki kemampuan tumbuh dan berkembang.
Namun manusia juga memiliki keterbatasan dalam hal meneruskan keturunan. Terdapat keluarga yang tidak dapat meneruskan keturunannya, dalam hal ini tidak memiliki anak dari perkawinannya, atau dalam satu keluarga hanya memiliki anak perempuan saja.

Tentu dalam khasanah adat dari suku lain hal ini bukan merupakan sebuah masalah, jika dalam satu keluarga hanya terdapat anak perempuan saja. Pada adat Jawa Tengahan dan Jawa Timuran misalkan, dapat dijumpai dimana anak perempuan dan lelaki diperlakukan dengan hak-hak yang sama, yakni dalam hal warisan dari orang tuanya dibagi rata.

Dalam hal kewajiban juga sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap keluarga dalam hal ini kedua orang tua mereka, untuk merawat orang tua mereka sewaktu tua nanti, demikian juga dalam hal hak-hak sebagai warga di lingkungan tersebut.

Termasuk juga dalam hal melaksanakan kebaktian terhadap leluhur mereka setelah mereka meninggal adalah kewajiban dari anakanak mereka secara bersama-sama. Oleh karena sistem kekeluargaanya adalah sistem parental, antara laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama dalam meneruskan garis keturunan keluarga mereka.

Perkawinan Padagelahang sesungguhnya merupakan sebuah alternatif bagi perkawinan Nyentana, dalam keluarga yang tidak memiliki seorang anak lelaki, akan menetapkan salah satu anak
perempuannya atau satu-satunya anak perempuannya yang dapat meneruskan keturunan dan warisan keluarganya sebagai sentana rajeg, yakni seorang anak wanita yang ditetapkan sebagai purusa (lelaki). Sehingga diharapkan nantinya akan ada seorang pria yang ditetapkan statusnya sebagai predana (wanita) .

Pada beberapa keluarga yang dilihat tidak mengalami masalah, oleh karena pihak pria yang ditetapkan sebagai predana dapat menerima wewenangnya dalam keluarga yang dibatasi terhadap hak
waris dari keluarga si wanita, serta hak-hak lain yang seharusnya dalam sistem adat Bali digariskan terhadap lelaki. Namun pada beberapa keluarga, merasakan keberatan dengan sistem ini, sehingga tidak jarang mengalami kendala perkawinan, oleh karena pihak pria tidak mau ditetapkan dalam status Nyentana, dan dihapus hak-haknya.

Sisi lain jika dari pihak pria juga sebagai pewaris tunggal dalam keluarganya, baik ditetapkan oleh keluarganya mapun karena sebagai anak tunggal. Dalam hal ditetapkan sebagai pewaris keluarga, oleh karena saudara lelaki lainnya dianggap tidak dapat melanjutkan keturunan, lantaran sakit keras atau juga karena sebab tidak memiliki keturunan laki ataupun putung (sama sekali tidak bisa memiliki keturunan). Sehingga perkawinan Padagelahang menjadi alternatif berimbang dalam membina keluarga tersebut.
Pengaturannya juga memenuhi kula dresta dalam keluarga tersebut, yakni dapat dengan menetapkan satu anak sebagai pewaris di keluarga wanita, dan satu anaknya lagi ditetapkan sebagai pewaris di keluarga pria.

Mengenai kewajiban-kewajiban yang melekat pada keluarga wanita sebelum ditetapkannya salah satu anak sebagai penerus dan pewaris di keluarga wanita, maka kewajiban-kewajiban adat dilakukan dengan ngempel. Hal ini dilakukan oleh karena keterbatasan waktu untuk mengikuti setiap kegiatan (yadnya) yang dilaksanakan dalam adat di keluarga si wanita.

B. Tanggung Jawab Religius

Secara sosial pihak keluarga dalam adat Bali memegang peranan penting, yakni menjalankan perannya dalam hal kepentingan sosial di masyarakat. Sebagai terminologi, periodisasi, isi gagasan
tampaknya masih menjadi problema dan menyandang muatan kontroversi. Namun hal tersebut tidak seberapa mengganggu perkembangan isu dan substansi yang ditawarkan oleh perkawinan Padagelahang itu.

Sebagai trend, kawin Padagelahang sudah sejak kemunculannya diwadahi dalam berbagai kemasan ritual terlebih dilegalisasi desa mawacara, maka kawin Padagelahang secara substansi justru berkembang biak hingga kini, ibarat sesuatu yang tak mungkin terelakkan. Bahkan dari sudut ini substansi kawin Padagelahang sepertinya baru lahir dan berkembang. Tak berlebihan hampir disegala lini wacana, mulai agama, adat, sosial, moral, hukum, filsafat sampai teologi menuai berhamburan kerangka-kerangka pikir baru yang hanya dapat dimengerti jika kita memahami segala isu yang bermula dilemparkan oleh fenomen kawin Padagelahang.

Tentang hak dan kewajiban sebagai akibat kawin Padagelahang. Seharusnya dibedakan secara tegas antara hak legal dan hak moral. Dalam konteks ketika pelaksanaan kawin Padagelahang salah satu syarat untuk sahnya perkawinan itu “tidak melakukan upacara mepamit”.

C. Ide-ide Kesetaraan Gender

Bali merupakan pulau yang memiliki adat istiadat/ budaya yang sangat melekat erat dengan kehidupan masyarakat setempat yang sebagian besar beragama Hindu, dan segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Budaya Patriarkhi dan sistem purusa merupakan salahsatu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya permasalahan gender di masyarakat Bali, karena ada anggapan bahwa peran laki-laki lebih tinggi dibandingkan anak perempuan, ini membutuhkan kegigihan kaum perempuan dan
kelompok masyarakat yang mendukung perubahan.
Dalam hukum keluarga dengan sistem kekeluargaan ”purusa”, ada anggapan seolah-olah purusa itu laki-laki padahal yang sesungguhnya tidak identik dengan laki-laki, karena ahli waris juga bisa perempuan, bila keluarga tidak memiliki anak lakilaki. Bila ada anak laki-laki dan perempuan, maka otomatis anak laki lakilah sebagai ahli waris. Disinilah letak perbedaan anak laki dan perempuan yang ada dalam keluarga.

Perkawinan “Padagelahang” merupakan pergeseran budaya yang positif, yaitu Perkawinan“Negen Dadua” telah memunculkan hak anak / anak-anak perempuan di Bali untuk mendapatkan hak waris dari orang tuanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem perkawinan ini merupakan persamaan derajat, khususnya terhadap anak/anak-anak yang lahir perempuan karena masyarakat Bali menganut sistem patrilinial/ budaya Patriarkhi.

D. Kemajuan di Bidang Pendidikan

Belum dapat ditampik bahwa kemajuan dalam bidang pendidikan memberikan pengaruh terhadap berbagai segi kehidupan masyarakat Bali dewasa ini. Intelektualitas berupaya untuk mencarikan solusi atas permasalahan yang dihadapi, sehingga dapat hidup eksis di tengah-tengah masyarakat global, bertemu dengan ideide yang lebih dianggap melindungi hak-hak sebagai warga negara. Terutama dalam hal hak untuk mendapatkan perlindungan hukum.

Hal ini lebih dikuatkan lagi dengan adanya pembaharuan dalam bidang hukum, sehingga dalam perspektif peraturan perundang-undangan, bahwa wanita dan hak-haknya harus dilindungi hukum.
Pada posisi perlindungan hukum maka wanita akan lebih dapat sebagai wanita yang bermartabat, berkeadilan sosial, mendapatkan keadilan dalam hal demokrasi, perlindungan dari perlakuan pelecehan seksual termasuk juga perlindungan dari pemaksaan dalam hal perkawinan sebagai perlakuan yang melanggar hukum. Pendidikan  akan memberikan pengetahuan tentang kesadaran terhadap adanya kesetaraan dalam hak dan kewajiban antara pria dan wanita, sesuai dengan kemampuan dari masing-masing.

Perkawinan Padagelahang merupakan salah satu dari alternatif lain dalam memberikan solusi terhadap perkawinan yang terjadi antara masing-masing anak tunggal di keluarga mereka, atau ditetapkan sebagai sentana rajeg bagi wanita yang tidak memiliki saudara pria, atau karena sebab-sebab lainnya. Sehingga dengan perkawinan

Padagelahang, tidak membatalkan sebuah perkawinan yang memiliki permasalahan tidak diapresiasinya kebutuhan perlindungan terhadap perkawinan dalam sistem adat Bali, sehingga meskipun memiliki keterbatasan yakni beratnya tanggung jawab di masing-masing keluarga mereka namun dengan tanggung jawab yang berat tersebut, pada kenyataannya dengan kesadaran akan hak maisng-masing antara wanita dan pria dalam keluarga juga adanya musyawarah dalam keluarga memungkinkan dapat memberikan solusi terhadap adanya permasalahan hak-hak anak di kemudian hari yang terlahir dari perkawinan Padagelahang.

E. Perlindungan terhadap Hak-Hak Anak

Dalam perkawinan Padagelahang di Bali sesungguhnya ingin memberikan kepada anak mereka hak-hak sesuai dengan jaminan undang-undang . Dalam hal ini keturunan dalam hasil dari perkawinan Padagelahang menggariskan kepada anak mereka untuk memiliki hak waris, sebagai hak mereka dilahirkan, serta menjamin hak-hak mereka  dalam hal kelayakan untuk memberikan jaminan terhadap tidak adanya diskriminasi dari perlakuan orang-orang dewasa.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga