Pelaksanaan Natab Banten Otonan

Pedoman Pelaksanaan Natab dan Tetandingan Upakara Otonan


Dalam arsitektur spiritualitas Hindu Bali, kehidupan manusia dipandang sebagai sebuah perjalanan siklis yang tidak berhenti pada satu titik kelahiran biologis semata. Kelahiran manusia ke dunia (Mayapada) merupakan momen krusial pertemuan antara Atma (percikan keilahian) dengan Panca Maha Bhuta (lima elemen alam) yang membentuk Stula Sarira (badan kasar). Oleh karena itu, pemeliharaan kesucian dan penyelarasan energi antara mikrokosmos (Bhuana Alit) dan makrokosmos (Bhuana Agung) menjadi mandat teologis yang diwujudkan melalui ritual Manusa Yadnya. Salah satu bentuk Manusa Yadnya yang paling fundamental dan repetitif dalam siklus hidup manusia Bali adalah upacara Otonan.

Berbeda dengan perayaan ulang tahun dalam tradisi Barat yang berbasis pada kalender Gregorian (matahari) dengan siklus 365 hari, Otonan berbasis pada Kalender Bali (Pawukon) yang merupakan kombinasi kompleks antara Saptawara (siklus 7 hari), Pancawara (siklus 5 hari), dan Wuku (siklus 30 minggu), menghasilkan siklus 210 hari.1 Pertemuan variabel-variabel waktu ini dipercaya menciptakan karakteristik energi spesifik yang mempengaruhi watak, nasib, dan kesehatan seseorang.

Fokus utama artikel ini adalah memberikan rincian operasional yang presisi mengenai tata cara tetandingan (penyusunan sarana persembahan) pada tiga tingkatan utama: Nista (sederhana/alit), Madya (menengah), dan Utama (agung). Lebih dari sekadar daftar inventaris, ini akan menguraikan suksma (makna implisit) dari setiap komponen banten, liturgi mantra yang menyertainya, serta tata laksana Natab yang merupakan inti dari transfusi energi spiritual kepada yang diupacarai. 

Sebelum melangkah pada teknis penyusunan banten, sangat krusial untuk memahami ontologi dari Banten itu sendiri dalam konteks Otonan. Banten bukanlah sekadar makanan yang dipersembahkan, melainkan bahasa simbolik (Niyasa) yang menjembatani kesadaran manusia dengan dimensi Ilahi.

Konsep Wewaran dan Pengaruhnya Terhadap Tetandingan

Dasar pelaksanaan Otonan adalah pertemuan Pancawara (Umanis, Paing, Pon, Wage, Kliwon) dan Saptawara (Redite hingga Saniscara). Setiap hari kelahiran memiliki dewa pelindung (Urip) dan letak geografis spiritual (Pengider Bhuwana) yang berbeda.

  • Analisis Unsur : Dalam tetandingan banten, warna tumpeng atau bubur (jenang) seringkali disesuaikan dengan arah mata angin kelahiran. Namun, dalam standardisasi Otonan umum, dominasi warna putih dan kuning (simbol Dewa Siwa dan Budha/Mahadewa) sering digunakan sebagai representasi kesucian dan kemakmuran.
  • Siklus 210 Hari : Pada usia 6 bulan (satu Oton), seorang bayi dianggap telah memiliki Dasa Bayu (sepuluh sumber tenaga vital) yang stabil. Jika pada upacara 3 bulan (Nyambutin – 105 hari) fokusnya adalah penyambutan indera, maka pada 6 bulan fokusnya adalah penguatan Idep (pikiran) dan Bayu (tenaga).

Tri Mandala dalam Struktur Banten

Struktur banten Otonan, baik pada tingkat Nista maupun Utama, selalu mencerminkan struktur alam semesta :

  1. Kepala (Utama) : Representasi hubungan dengan Hyang Widhi (Tuhan), diwujudkan dalam banten Daksina, Peras, dan Suci.
  2. Badan (Madya) : Representasi pemeliharaan hidup, diwujudkan dalam banten Ayaban, Sodan, Tumpeng.
  3. Kaki (Nista /Bawah) : Representasi penetralisiran kekuatan negatif (Bhuta Kala), diwujudkan dalam banten Byakaon, Caru (pada tingkat utama), dan Segehan.

Artikel ini menolak pandangan simplistik bahwa tingkat “Nista” berarti “hina”. Dalam teologi Hindu Bali, Nista berarti Sari atau inti. Upacara Nista mengambil esensi terpenting, sementara Utama melengkapinya dengan Angga (bagian tambahan) yang memperkaya secara estetika dan sosial.



HALAMAN TERKAIT
Baca Juga