Geguritan Tamtam


Mendalami Karya Sastra Geguritan Tamtam

Untuk memperoleh makna sebuah karya sastra, pembaca harus memahami secara keseluruhan karya sastra yang hendak dipahami. 

Dari sudut perwatakan atau penokohan, dan latar, bahwa watak tokoh yang ditonjolkan dalam Geguritan TamTam adalah tokoh yang sangat gemar belajar untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Hal ini terjadi pada tokoh Tamtam dan tokoh Dewi Adnya Swari, yang dilukiskan oleh pengarang sejak awal cerita. Sang tokoh dilukiskan pada saat akan menjelma telah mempunyai perhitungan yang matang, yakni memilih pasangan suami istri yang tepat sebagai perantara kelahirannya supaya nanti menjadi orang yang bijaksana dan menguasai dunia. Hal itu dilukiskan pada bait 6 10. Berikut ini dikutip bait 7, 9 yang mendukung uraian di atas.

Agung alit kawaspada, patemun anak merabi, manelebang kediatmika, dasa sila tatas sami, asta brata wus kauri, punika sane katuju, dane Ginul ngawatara, tanah Hindune kaungsi, molih ditu, anak teleb ring kotaman 
Terjemahannya:
Tua muda diperhatikan, pertemuan suami-istri, yang menerapkan kebajikan, memahami dasa sila, asta brata telah dikuasai, itulah yang dituju, I Ginul ke utara, menuju tanah Hindu, di sanalah ditemui, orang yang menerapkan keutamaan.

I Ginal mangkin kocapan, bingung ngalih panumadi, memilihin tos utama, mangda agung ngodag gumi, pulo sanga kasusupin, tan ana masuk ring kayun, ring tanah Mesir punika, manggih ratu ngastawari, sami adung, ngastawa mangda maputra.
Terjemahannya:
I Ginal sekarang dibicarakan, bingung mencari tempat untuk lahir kembali, sebab memilih orang-orang utama, supaya besar dan berkuasa, pulau sembilan diselusuri, tidak ada berkenan di hati, di tanah Mesir itu, menemui Ratu ngastawari  (permaisuri raja sedang memuja, memohon), semua serasi, berharap supaya mempunyai anak.

Dari kutipan di atas sangat jelas bahwa keluarga yang mempunyai ilmu pengetahuan, menjaga keharmonisan serta selalu menerapkan kebaikan dapat melahirkan orang utama. Hal itu dipertegas lagi dengan petuah-petuah yang diberikan oleh tokoh ayah kepada Tamtam, yang termuat pada bait 13, 14, 15, 16. Berikut ini hanya dikutip bait 14, 16.

Siksa dewa ngamong manah, anak sebet kadi tatit, pesun manah dadi karsa, tetiga punika cening, momo angkara ulurin, gelah anak gelah aku, ngacep-acep apang wirya, malih sumbung ngaku ririh, anak sadu, tan wenang asapunika (Tam Tam, Sinom 1, bait 14).
Terjemahannya:
Betul-betul pikiran itu harus dikendalikan, kecepatannya seperti kilat, keluarnya pikiran jadi keinginan, tiga itu nak, ketamakan dituruti, milik orang milik-ku, berharap-harap berkuasa, dan sombong mengaku pintar, orang baik dan bijaksana, tidak pantas seperti itu.

Patute ngebekin jagat, maweh maring daging gumi, asung lwir tembresan toya, olas asih lemah wengi, tiru dewa apti sang lwih, darana yoga lantar ipun, semadine mamutusang, aywa dewa pati gunjih, duh sang bagus, elingang dewa elingang (Tam Tam, Sinom 1, bait 16).
Terjemahannya:
Kebenaran memenuhi dunia, disebarkan pada seisi dunia, seperti rembesan air, tolong menolong dan saling kasih siang malam, teladani anakku berharaplah pada orang utama, darana yoga (ajaran pemusatan pikiran dalam yoga) dasarnya, yogalah memutuskannya, janganlah ragu-ragu, anakku, ingatlah selalu.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa orang tua (ayah) Tamtam menyadari sepenuhnya arti “pendidikan”, dan “hakikat kebenaran” yang diterapkan dalam kehidupan. Di sini juga terkandung nilai “pendidikan sikap” dari orang tua kepada anak. Dilanjutkan juga dengan nasihat agar Tamtam menuntut ilmu dan menerapkannya dengan berpegang pada dharma dan kebenaran. Kutipan berikut ini menyatakan hal tersebut.

Da joh paek ngadu liat, okane nulia nyaurin, singgih bapa wantah titiang, nyuksmayang tutur jati, matetaki saking mangkin, melaksana nene patut, lunga mangumbara desa, ngulati dharmane jati, saking tuhu, menelebang kadiatmikan (Tam Tam, Sinom 1, bait 17).

Bapannyane kenyir nanggal, lamun saking cening jati, manyungkemin kasukseman, diastuke nora mabalik, suka lila bapa cening, lamun pikardine putus, tiruneng dewa ring jagat, margi dewa apang becik, aja surud, darma putuse jejerang (Tam Tam, Sinom 1, bait 18).

Di lain pihak, tokoh Dewi Adnya Swari, yang terlahir di kerajaan Mesir dan memperoleh pendidikan dari Bhagawan Tresna Windu dilukiskan sebagai tokoh yang mampu menyampaikan pesan-pesan tentang cara menjalani hidup dan kehidupan dan mampu mengalahkan banyak raja (raja-raja Asia). Hal ini terlihat dalam dialog-dialog dalam sayembara adu kepandaian.

Dialog pertama dilakukan oleh raja Siliwangi dari Utara Desa kepada Dewi Adnya Swari tentang banyaknya dan makna “tri” dalam jagat raya ini dan dalam diri sendiri. Dialog ini dijawab dengan baik oleh Sang Dewi.

Misalnya tri dalam “jagat raya” ini, dapat dicari di pasar, seperti matang, masak, dan mentah (lebeng, nasak, dan matah), isi bumi/jagat raya adalah mandeg, lahir, dan tumbuh (ngendeg, lekad, dan mentik). Semua itu disebut dengan tri kaya, yakni tri artinya tiga, kaya artinya kekayaan bumi/jagat raya.  Tri nadi adalah tanah, langit dan apah yang menyebabkan tumbuh rasa senang, tetapi itu tidak langgeng sebab bisa mati bisa hidup, bisa hilang bisa datang.  Tri dalam “diri sendiri” adalah trimala, yang meliputi membela kesalahan; membela yang disenangi, dan saling membalas rasa malu. Tri murti, yang meliputi perbuatan, perkataan, dan pikiran yang tidak baik (tindak, munyi, dan manah).  Tri beda yaitu sifat yang tidak berpijak pada kebenaran, yang meliputi: memaki kebenaran, tidak taat ajaran agama, mencari sesuatu dengan tidak halal (darma sadune keceda, agamane kelempasin, ngulah pikolih prajani). Tri naya adalah perbuatan yang bersifat menipu, yang meliputi: berkata dusta, berpura-pura seperti orang bijaksana, ingin terkenal dengan tipu muslihat.  Tri sandhi berbuat dengan mengorbankan orang lain demi kepentingan diri sendiri, yang meliputi: mengharap kematian orang lain dengan akal jahat, angkara murka, dan mementingkan diri sendiri.  Tri guna, yaitu satwam diingkari, rajah dan tamah dituruti.

Dialog kedua terjadi antara Dewi Adnya Swari dengan Raja Sri Narendra Kanda Bumi dari Wayabiya. Sri Narendra Kanda Bumi hanya mengandalkan ketampanan dan kekuasaannya dan tidak berbekal sastra. Beliau mendapat pertanyaan dari Sang Dewi, yakni tentang wiswa dan Arda Candra. Sri Narendra Kanda Bumi tidak dapat menjawab dan mengaku kalah lalu pulang.

Dialog ketiga dengan Raja Burbumi dari Rum. Raja Burbumi menggunakan daya guna sandi. Sang Putri sangat mengetahui daya upaya Raja Burbumi. Karena itu, ia siaga menghadapi dengan tekniknya sendiri. Sang Dewi mengajukan pertanyaan tentang sukla, dan swaran lontar tan pesurat. Jawab Raja Burbumi rupa sukla tidak perlu diperlihatkan, sedangkan lontar polos jawabnya adalah orang yang siang maupun malam kerjanya hanya tidur bangun dan selalu diberitahu. Raja Rum lalu bertanya tentang kasukan jagat. Dijawab oleh Sang Dewi dengan benar dan Raja Rum kalah dan pergi seperti orang gila.

Raja Kagapati dari Pascima datang dengan segala guna-guna, jimat, uang kepeng arjuna, manik asem, dan lain-lain. Dewi Adnya Swari sangat pandai lalu diterapkanlah tri naya untuk menghadapi Raja Kagapati. Putri membawa tempat sirih atau pecanangan atau pabuan dan adu pandang. Lalu Dewi Adnya Swari berpura-pura meminta obat kepada Raja Kagapati sebab ia sakit sangat berat. Lalu Dewi rebah. Raja Kagapati sangat senang dan bernyanyi karena mabuk kemenangan. Dewi Adnya Swari lalu bertanya tentang kamimitan. Raja Kagapati tidak memperhatikan dan tidak menjawab pertanyaan itu dan ia tetap bernyanyi. Akhirnya, Kagapati ditangkap karena dianggap gila.

Raja Kasi juga ingin mengikuti sayembara walau kalah, ia ingin berguru untuk mendapatkan pengetahuan. Karena itu, Dewi Adnya Swari mengajari Raja Kasi sebelum mempunyai istri, samara-gama gugu supaya mempunyai keturunan yang utama yang disebut putra sesana. Sebelum memilih istri dipikirkan dengan sematang-matangnya. Istri utama dari bangsa apa pun yang penting masih muda (anom), memahami ajaran dan semua keluarganya menjalankan kebaikan, bukan dari keturunan orang gila, bukan orang sombong. Salah memilih istri adalah jika mengambil saudara tiri, sepupu, saudara kandung, janda saudara tua maupun saudara adik, sebab keturunan akan sakit-sakitan, janda tiga kali juga tidak baik sebab akan putus keturunan dan jiwa melayang, anak yang tidak diketahui ayahnya (anak babinjat) sebab bisa mati atau putus keturunan. Pilihlah istri yang juga mencintai serta laksanakan upacara perkawinan. Setelah istri mengandung disertai dengan perbuatan baik dan selalu berdoa. Setelah selesai, Raja Kasi pulang.

Setelah semua raja Asia kalah, maka sayembara boleh diikuti oleh rakyat, jika kalah akan dibunuh, jika menang dijadikan suami dan raja.

Tamtam yang berada di Pura Brata mendengar berita itu. Lalu pulang bertemu dengan orang tuanya dan menyampaikan berita itu. Tamtam direstui oleh orang tuanya. Ia pun mengikuti sayembara dengan pertanyaan telas. 

Dewi Adnya Swari telah merasakan sesuatu sehingga suaranya seperti takut-takut. Dewi Adnya Swari tidak dapat menjawab sebab hatinya deg-degan dan tidak tahu jawabannya. Ia pun menunda jawaban selama tiga hari. Kemudian dilaksanakan tipu muslihat untuk mendapatkan jawaban dari Tamtam.

Pada hari ketiga, jawaban disampaikan oleh Sang Dewi, tetapi sebelum Tamtam dikatakan kalah, ia menjelaskan kecurangan Sang Dewi dan menunjukkan bukti gelang milik Dewi Adnya Swari. Dewi pun dinyatakan kalah dan menikah dengan Tamtam. Tamtam menjadi raja dengan nama Jayapurusa dan sekaligus menjadi guru seluruh raja Asia. Tamtam dapat mengalahkan Dewi Adnya Swari karena ia terus-menerus menambah ilmunya dengan melakukan pengembaraan untuk memperoleh ilmu. Karena keuletannya itu, ia berhasil dan mampu mengangkat derajatnya.

Dari sudut alur, Geguritan TamTam menggunakan alur tradisional, yang juga disebut alur kronologis. Cerita dimulai dari situation sampai denoumen. Dalam alur tersebut, yang paling banyak dilukiskan adalah peristiwa sayembara adu kepintaran.

Bahkan pengarang melukiskan sampai peristiwa perubahan nasib Tamtam. Alur cerita sangat renggang sebab pengarang memasukkan dialog-dialog yang panjang dalam satu peristiwa, karena pengarang ingin menonjolkan nilai-nilai kehidupan melalui tokoh cerita, dengan tujuan membekali budi pekerti para pembacanya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Geguritan Tamtam bertemakan “pendidikan, ilmu pengetahuan dan budi pekerti sebagai cermin kualitas hidup”.

Amanat yang dapat disimak dari Geguritan Tam Tam adalah ajaran “dasa sila”, yaitu sepuluh tuntunan dasar dalam hidup ini. Berikut dikutipkan jawaban Tamtam terhadap pertanyaan Dewi Adnya Swari tentang yama-niyama.

Yama ika solah Bhuda, mamutusang solah luwih, budi ngami sri-yasa, dasa sila wus kahuri, tan lingu ring daging gumi, diatmika wantah satuwut, pangungsine kenirwana, solahe suluhin sahi, katah ipun, adasa wantah punika (Tam Tam, Sinom 2, bait 49).
Terjemahannya:
Yama adalah sikap Budha, selalu melaksanakan perilaku baik, budi mendasari perilaku, dasa sila telah dihayati, tidak tertarik pada isi dunia, tuntunan kebenaran selalu diikuti, sebagai jalan menuju nirwana (penyatuan kepada Tuhan), perilaku selalu diintrospeksi, banyaknya, adalah sepuluh.

Bacakanne ne kaucap, mawiwika olas asih, ngalap kasor munyi melah, pageh mengastiti widhi, menerima nora elik, kasugihan tan kahitung, pageh kadi surya mentas, sampun dasa jangkep sami, katah ipun, bacakaning dasa sila (Tam Tam, Sinom 2, bait 50)
Terjemahannya:
Dasar yang dibicarakan, berdasarkan cinta kasih, mencapai kemenangan dengan berkata benar, sangat taat berdoa kepada Tuhan, memiliki sesuatu tidak terlalu bangga, kekayaan tidak berarti, kukuh seperti matahari berjalan dari Timur ke Barat, telah bulat sepuluh banyaknya, yang disebut dasa sila.

Selain amanat yang telah disebutkan di atas, sebenarnya Geguritan TamTam masih banyak memberikan amanat-amanat yang lebih sempit sekupnya dibanding amanat yang telah disampaikan di atas. Amanat-amanat dimaksud, antara lain: (1) tentang menciptakan keturunan yang baik, (2) tentang pendidikan, (3) tentang sifat satria, (4) tentang hakikat kebenaran dan hakikat tujuan hidup, (5) tentang hukum karma phala. Berikut ini dibahas lebih lanjut amanatamanat dimaksud.

Amanat tentang menciptakan keturunan yang baik Amanat tentang keturunan yang baik telah dibicarakan pada bagian awal Geguritan Tam Tam. Telah diuraikan di depan bahwa Ginal dan Ginul mantan murid Aji Saka hendak lahir ke dunia. Mereka memilih pasangan suami-istri yang taat beragama dengan harapan supaya mereka terlahir menjadi orang yang pandai dan bijaksana serta menguasai dunia. Hal ini dibicarakan pada bait 1 ─ 10 pupuh Sinom 1. Berikut ini hanya dikutip bait ke-4 dan 5 sebagai contoh disertai dengan terjemahan bebas.

Saking meled nyeritayang, panumadin anak becik, wiwit saking pulo Jawa, Gina Ginul maka sami, sisian ida peranda sakti, Aji Saka sane dumun, mengadakan anak melah, wirya budi tan sinipi, silar silur, manumadi dadi lanang (Tam Tam, Sinom 1, bait ke- 4).
Terjemahan:
Ingin sekali menceritakan, kelahiran orang baik, berasal dari pulau Jawa, bernama Ginal Ginul, mantan murid Aji Saka, yang menghasilkan orang baik, san- gat berbudi, bergantian mereka lahir menjadi laki-laki.

Cutet mangkin ceritayang, doning ceceh manumadi, parluntate mangkin kocap, petan dane makekalih, manglayang nyusup ring sepi, ngawang awang dane sampun, ditu reke masubaya, sanggupe pacang numitis, mangda kasub, wicaksana ngodag jagat (Tam Tam, Sinom 1, bait ke-5).
Terjemahan:
Inti ceritanya kini diceritakan, karena sering lahir ke dunia, akhirnya dikisahkan, pembicaraan keduanya, yang melayang-layang di awan, sambil berjanji, tentang kesanggupannya lahir kembali, supaya menjadi orang terkenal, bijaksana dan menguasai dunia.

Secara eksplisit, hal itu juga dikisahkan ketika Dewi Adnya Swari berbicara tentang keturunan yang baik kepada Raja Kasi. Raja Kasi sebagai peserta sayembara yang tujuan pokoknya memang hanya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan walaupun kerajaannya menjadi taruhannya. Bait-bait yang berbicara tentang hal tersebut di atas adalah bait 1 ─ 5 pupuh Sinom 2. Berikut hanya dikutip bait ke-1 dan ke-4 disertai terjemahan bebas:

Saking anom jwa dabdabang, mejanji ring anak istri, mangastawayang semara, keto patute sang kalih, sadurunge pacang merabi, pengacepe sampun patuh, siang dalu ngajap tawang, sentanane mangda luwih, yaning adung, wenten ciri kapaswecan (Tam Tam, pupuh Sinom 2, bait ke-1).
Terjemahan:
Dari muda telah dipikirkan dengan matang, berjanji dengan seorang perempuan, memuja asmara, begitu mereka seharusnya, sebelum menjadi suami-istri, harapannya harus sama, siang malam, keturunannya harus baik/sempurna, jika telah sesuai, pasti ada hasilnya.

 

Wewehin antuk laksana, bobotane pelapanin, peteng lemah mangiyasaang, lanang istri mangastiti, ngastitiang rarene pasti, pamijile pang rahayu, keto kecaping agama, tan patut ika piwalin, duh Sang Prabu, mangda maputra utama (Tamtam, pupuh Sinom 2, bait ke-4).
Terjemahan:
Sertai dengan perbuatan, kandungan diperhatikan dengan baik, siang malam suami-istri memohon, supaya bayi lahir selamat, begitulah dalam ajaran agama, tidak perlu disangkal, Ratu Sang Prabu, supaya berputra utama.

Dari kutipan di atas, jelas sekali pengarang berpesan kepada pembaca mengenai cara-cara yang harus ditempuh untuk pembentukan keluarga yang baik. Di sini pun terkandung pendidikan keluarga.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

BACA JUGA