Tat twam asi. Dia, itu, adalah AKU juga. Karena di dalam dia, di dalam masing-masing mereka. Di dalam setiap ciptaanku adalah AKU. Karena itu, semua kamu, semua manusia adalah bersaudara. Semua makhluk manusia adalah bersaudara, satu dalam kemanusiaan, satu dalam berbumi dan satu dalam alam semesta.
Hormat kepada diri sama artinya dengan hormat kepada orang lain. Perlakukanlah orang lain seperti kamu ingin diperlakukan. Ini adalah pesan-pesan arif dari para pendahulu-pendahulu kemanusiaan, dari para arif bijak zaman dahulu. Para tetua-tetua kita, para leluhur bangsa ini.
Budaya luhur dari para leluhur bangsa kita seperti itu hingga kini masih terpelihara dengan baik. Nampak sampai kini masyarakat kita sangat hormat menerima tamu, saat menerima wisatawan. Mereka penuh senyum, welcome, dengan hangat menerima mereka, walau belum kenal sekalipun sebelum-sebelumnya.
Sayangnya, budaya luhur seperti itu mudah dan sering dimanipulasi oleh mereka yang licik yang kurang bertanggung jawab.
Budaya rendah hati kadang dianggap sebagai budaya bodoh. Mengapa bangsa-bangsa Eropa (Belanda, Inggris, Portugis) dan juga kemudian bangsa-bangsa Arab yang semula hanya ingin berdagang (mencari rempah rempah) sangat nyaman tinggal di bumi Nusantara ini belasan abad yang lalu. Bahkan sebagian dari mereka kemudian menjadi leluhur dari sebagian bangsa ini. Salah satunya sebab pasti karena leluhur bangsa terbuka. Karena leluhur bangsa ini, yang memiliki budaya luhur seperti itu menerima mereka dengan sangat baik. tanpa penerimaan yang baik, niscaya mereka tidak betah. Bahwa penerimaan yang baik dengan keramah-tamahan para leluhur itu kemudian dimanipulasi, bangsa ini diperdaya, ditipu, dan kemudian bahkan dijajah untuk waktu yang sangat panjang.
Budaya empati pada mereka yang lagi kurang bernasib baik, budaya ramah, budaya senyum kepada sesama (tamu/wisatawan) adalah budaya Timur yang sangat baik. Budaya seperti itu tidak banyak dijumpai di belahan barat dunia ini. Identitas sebagai bangsa yang ramah adalah sebuah pujian yang tulus. Hanya saja kita tidak ingin budaya ramah penuh senyum itu dimanipulasi sebagai budaya bodoh, sikap lemah, sikap rendah diri yang dapat diperolok, ditipu dan dieksploitasi.
Sekali lagi perlu digaris bawahi bahwa budaya rendah hati jangan dimanipulasi menjadi budaya rendah diri. Budaya rendah diri, budaya tidak percaya dengan kemampuan diri bukanlah budaya luhur. Dan jika budaya itu pernah ada dan bahkan dia sebagian dari bangsa ini ada yang menderita rasa rendah diri (harus diakui masih ada), hal demikian harus dinyatakan sebagai budaya keliru dan harus ditinggalkan.
Budaya Pemaaf dan Mengakui Kelebihan Orang Lain
Mengakui sebuah kesalahan dan meminta maaf, bukanlah sebuah wajah indah, tetapi adalah sebuah budaya yang sangat mulia. Kejujuran mengakui sebuah kekurangan diri, walau nempaknya tidak cantik juga sangat mulia. Bukankah sebuah kebenaran tiada manusia yang sempurna. Juga, budaya berani mengakui kelebihan orang lain, respek, dan memberikan penghargaan yang pantas kepada mereka, walau terkesan merendahkan diri, juga adalah sesuatu yang sangat mulia.
Mengulurkan tangan kepada sang pemenang dan mengucapkan selamat, adalah sebuah budaya yang amat luhur. Kalah, juga bukanlah sebuah kehinaan. Bukankah karena ada yang kalah, maka baru akan ada sang pemenang. Kalahpun adalah sesuatu yang terhormat, sangat terhormat.
Kebenaran memang tidak selalu manis, tidak selamanya gurih, enak. Kebenaran atau kenyataan-kenyataan yang dialami dalam kehidupan seorang dewasa kadang asam, kecut, bahkan tidak jarang pahit yang harus dihadapi, harus ditelan.
Kenyataan seperti itu diungkap dalam sebuah ritual budaya potong gigi (metatah) saat seorang anak memasuki masa remaja/dewasa. Pesannya adalah, hadapi kenyataan hidup dewasa itu seperti apa adanya, dan pasti tidak semuanya manis.
Budaya Berbuat Baik itu Baik
Manusia sangat sering gagal mengendalikan dan bahkan kadang sangat permitif dengan dorongan indrawi mereka. Kontrol internal melalui janji sorga bagi mereka yang berbuat baik dan tidak melanggar norma-norma luhur, serta ancaman neraka bagi mereka yang berbuat jahat dan melanggar normanorma agama maupun hukum, ternyata tidak sepenuhnya mampu mengendalikan perilaku negatif manusia. Model janji sorga-neraka seperti yang telah dicoba ribuan tahun selama ini untuk mengajarkan agar manusia berbuat baik dan menghindarkan mereka dari perbuatan tidak baik, ternyata tidak sepenuhnya efektif.
Walau kebanyakan orang takut berbuat jahat sebagian terbesarnya pasti karena takut akan hukuman api neraka yang menyiksa. Kini banyak orang tidak lagi takut dengan ancaman neraka.
Bukankah banyak sekali tokoh-tokoh masyarakat, wakil rakyat, pemimpin umat dan pemimpin bangsa, bahkan tokoh birokrasi di departemen agama sebuah negeri, diberitakan sangat sering
diadili, dimasukkan penjara karena perbuatan yang tidak baik, seperti korupsi, mencuri uang rakyat. Tidak jarang kita mendengar di berita televisi seorang guru agama menganiaya siswanya, melakukan pelecehan seksual dan bahkan memperkosa murid yang semestinya dibimbingnya. Metode sorga-neraka saja pasti tidak cukup.
Masih perlu ditambahkan dengan metoda lain, terutama pada segmen-segmen masyarakat yang lebih terdidik.
Bagaimanapun pendidikan agama masih tetap perlu diajarkan kepada umat, dengan tekanan lebih kepada aktualisasi dalam perilaku baik, dalam budi pekerti yang baik dan bukan pada melaksanakan simbol-simbol ritual yang lebih banyak memberi pemuasan rasa dan emosi. Budaya berbuat baik itu harus di didikan sejak anak-anak masih kecil, dimulai dari contoh-contoh kecil di keluarga. Berbuat baik harus dijadikan motto bagi setiap anak. Kalaulah kamu tidak mampu menjadi yang terbaik, tetapi lakukanlah segala sesuatu itu dengan sebaik-baiknya, yang terbaik yang mampu kamu lakukan.
“Anda dan saya berbuat baik, bukan lagi karena dorongan mendapatkan sorga. Kita berbuat baik karena kita tahu, berbuat baik itu baik dan berbuat jahat itu jelek”,
Sorga tidak hanya ada di alam setelah kematian, tetapi sorga justru telah ada saat di alam nyata ini, di dunia ini. Saat perbuatan baik kita mampu membuat senang banyak orang. Saat kita mampu berbuat baik untuk banyak manusia lain.