Pelaksanaan Upacara Ngelinggihang Dewa Hyang


Upacara yadnya adalah salah satu bentuk Bhakti umat Hindu  kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang diejawantahkan melalui Karma dan Jnana. Bhakti, Karma dan Jnana merupakan satu kesatuan dalam pelaksanaan ajaran agama Hindu, Bhakti kepada Tuhan tidak mungkin dilakukan dengan tanpa kerja dan kerja yang benar adalah kerja yang didasarkan atas pengetahuan (jnana).

Dalam kegiatan upacara keagamaan Hindu ketiga jalan tersebut benar-benar luluh menjadi satu, upacara dilangsungkan dengan penuh rasa bhakti, tulus dan iklas untuk itu umat bekerja mengorbankan tenaga, biaya, dan waktu, itu juga dilakukan dengan iklas dan upacara yang dilakukan juga mengacu pada kitab suci atau sastra. Dalam kitab agama disebut Yadnya Widhi yaitu peraturan-peraturan beryadnya (Sudharta, dkk. 2007:1). Identitas manusia Bali dapat ditentukan dari cara seseorang mengekspresikan nilai budaya Bali dalam kehidupannya. Akan tetapi masih dibutuhkan kehati-hatian dalam merumuskan kebudayaan Bali yang dapat mewakili semua daerah yang ada di Bali. Mengingat budaya Bali di masing-masing daerah menunjukkan ciri-ciri yang bervariasi, unik dan khas. Namun yang menjadi icon Bali secara umum adalah pura dan upacara yadnya-nya.

Adapun yang melatar belakangi munculnya Yadnya yang diyakini masyarakat Hindu di Bali, adalah sebagai berikut :

  1. Bahwa masyarakat Hindu Bali menyadari alam semesta ini beserta isinya diciptakan oleh Hyang Widi berasarkan Yadnya. Oleh sebab itu sudah sewajarnya kita membalasnya juga dengan jalan pelaksanaan Yadnya.
  2. Masyarakat Hindu di Bali menyadari adanya ajaran Tri Rna, yang mengajarkan bahwa setiap orang yang terlahir kedunia terikat oleh tiga jenis hutang, yaitu hutang kehadapan Hyang Widi ( Dewa Rna) yang diimflementasikan dalam bentuk Yadnya yang terdiri atas Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Hutang jasa berupa pengetahuan kepada para Resi/ Guru (Rsi Rna) bentuk imflementasinya berupa Rsi Yadnya. Hutang kehadapan Orang Tua (Pitra Rna) yang melahirkan dan memberi kita Rupa sehingga disebut Guru Rupaka berupa badan melalui pemberian makanan dan kasih sayang sehingga kita bisa tumbuh sebagai mana mestinya. 
  3. Konsep Ngayah. ngayah adalah perwujudan rasa bhakti umat Hindu kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan mempersembahkan kerja dan tidak mengharapkan imbalan karena ia yakin bahwa kerja yang dilakukan adalah kewajiban atau swadharma. Jagi ngayah merupakan sikap dan sifat sosio-religius masyarakat Hindu Bali yang dijadikan sistem nilai dan norma kemudian diimplementasikan dalam sistem tindakan sosial di Desa Pakraman, serta diwujudkan dalam bentuk material-material budaya yang agung dan sebagai falsafah masyarakat Hindu Bali. Bali yang tanpa Desa pakraman, Bali yang tanpa Pura, Bali yang tanpa yadnya dan Bali yang tanpa toreransi, kesantunan dan tanpa kejujuran berarti Bali yang telah hilang ke-Bali-annya karena identitas masyarakat Hindu Bali ada pada unsur-unsur tersebut dia atas.

 

Pengertian Ngelinggihang Dewa Hyang

Secara etimologi kata Ngelinggihang  kata dasarnya yaitu linggih yang mempunyai pengertian duduk, sedangkan ngelinggihang mempunyai pengertian dudukkan, persilakan para dewa yang dipuja telah disemayamkanpada bangunan suci yang baru selesai (Tim Penyusun, 354:1978). Ngelinggihang sering disebut ngenteg linggih. 

Ngenteg Linggih adalah upacara penobatan/mensthanakan Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya pada palinggih atau bangunan suci yang dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat terutama manakala dilangsungkan segala kegiatan Upacara di pura yang bersangkutan.

 Kata dewa (deva) berasal dari kata div yang berarti bersinar. Dalam bahasa Latin dues  berarti  “dewa” dan “divus” berarti bersifat ketuhanan. Dalam bahasa Inggris istilah Dewa sama dengan deity, dalam bahasa Perancis “dieu” dan dalam bahasa Italia “dio”. Dalam bahasa Lithuania, kata yang sama dengan “deva” adalah “dievas”, bahasa Latvia: “dievs”, Prussia: “deiwas”. Kata-kata tersebut dianggap memiliki makna sama. “Devi” (atau Dewi) adalah sebutan untuk Dewa berjenis kelamin wanita. Para Dewa (jamak) disebut dengan istilah “Devatā” (dewata).

Dalam tradisi Hindu-Jawa dan Bali umumnya, istilah Bhatara dipakai untuk merujuk kepada Dewa. Dalam tradisi Agama Hindu Dharmadi Bali, istilah Bhatara diucapkan Bêtara, dan disamakan atau bahkan diidentikkan dengan Dewa, karena sama-sama berfungsi sebagai pelindung, contohnya: Bhatara Wisnu, Bhatara Brahma, Batara Kala, dan sebagainya. Bhatara berasal dari kata “bhatr” yang berarti pelindung. Bhatara berarti “pelindung”. Jadi bhatara adalah aktivitas Sang Hyang Widhi sebagai pelindung ciptaaNya, karena itu dalam pandangan agama hindu semua hal dialam semesta ini dilindungi oleh Sang Hyang Widhi dengan gelar bhatara.

Sedangkan kata Hyang dapat diartikan sebagai Dewa (ta), dewa-dewi ( Madiwarsito, 1981:229), sedangkan ditinjau dari filosofi Hyang mengandung pengertian suatu keberadaan spiritual yang dimuliakan atau mendapatkan penghormatan yang khusus biasanya ini dipersonifikasikan yang bercahaya dan suci.

Dewa Hyang disini diartikan keadaan atma/roh setelah meninggalkan tubuh, masih dibungkus oleh suksema sarira yang terdiri dari panca tanmatra dan dasendria, tri guna, cita dan karmawasana sehingga dilaksankan upacara pengabenan, selanjutnya dilaksanakan upacara ngerorasin/memukur

Dalam lontar ligia disebutkan bahwa setelah upacara memukur, roh / atma orang yang diupacarai disebut dewa pitara / dewa hyangyata awaning sang dewa pitara umungsi ana ring Acintya Bhuana, sehingga dengan keadaan demikian atma memerlukan upacara nuntun dewa hyang.  Dalam tradisi di Bali dikenal dengan sebutan meajar-ajar, yang dilanjutkan dengan nuntun dewa hyang / dewa pitara yang selanjutnya akan disethanakan sebagai Bhatara Guru disanggah / merajan / paibon sesuai dengan tradisi kelauarga masing-masing.

Kaitannya atma yang telah disucikan menurut lontar Gayatri, sang dewa pitara berada di alam swah loka, swah loka itu adalah alam para dewa, penyatuan ini dapat dilakukan dengan upacara ngelinggihang / ngentegang dewa hyang dengan tujuan menyatukan, menyetarakan kedudukan roh leluhur yang terdahulu dengan roh leluhur yang baru diupacarai dan dapat dipuja setiap saat melalui kayangan masing-masing.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga