- 1Rincian Ngaben Sederhana
- 1.11. Tata Cara Mendem Sawa
- 1.1.11. Mabersih / Mresihin
- 1.1.1.1A. Upakara yang disiapkan
- 1.1.1.2B. Pelaksanaan memandikan sawa
- 1.1.1.3C. Persembahan
- 1.1.1.4D. Mendhem / Ngurug
- 1.1.22. Mapepegat
- 1.12. Ngaben Mitra Yajna
- 1.1.1Tata cara Pelaksanaanya
- 1.1.1.1Perlengkapan
- 1.1.1.2Pelaksanaan pemandian jenazah
- 1.1.1.3Upakara-upakara di Setra
- 1.1.1.4Pelaksanaan Pembakaran Mayat
- 1.13. Ngaben SAWA Pranawa
- 1.1.1A. Untuk Sawa yang baru Meninggal (Amranawa Sawa)
- 1.1.2B. Untuk Sawa yang Telah Dipendhem
- 1.1.2.1Menggali tulang
- 1.1.2.2Pembakaran tulang
- 2Arti Simbolik Upakara dan Bebantenan Ngaben
- 2.1.2.1Awak-awakan
- 2.1.2.2Tirtha
- 2.1.2.2.1A. Tirtha Pembersihan
- 2.1.2.2.2B. Tirtha Panglukatan
- 2.1.2.2.3C. Tirtha Pamanah
- 2.1.2.2.4D. Tirtha Pangentas
- 2.1.2.3Papaga
- 2.1.2.4Jempana
- 2.1.2.5Bale Pangastryan
- 2.1.2.6Tatukon Pengiriman
- 2.1.2.7Ganjaran serta penyertanya
- 2.1.2.8Kajang
- 2.1.2.9Kereb Sinom
- 2.1.2.10Angkep Rai
- 2.1.2.11Pengulungan
- 2.1.2.12Lante atau Rante
- 2.1.2.13Selepa
- 2.1.2.14Bandusa
- 2.1.2.15Tumpang Salu
- 2.1.2.16Tatindih
- 2.1.2.17Wukur
- 2.1.2.18Sawa Karsian
- 2.1.2.19Pangrekan
- 2.1.2.20Adegan (Pisang Jati)
- 2.1.2.21Angenan
- 2.1.2.22Sok Bekel
- 2.1.2.23Lis Pering
- 2.1.2.24Kesi-kesi deling / Jemek
- 2.1.2.25Iber - Iber
- 2.1.2.26Tah mabakang-bakang
- 2.1.2.27Penuntun
- 2.1.2.28Sanggah Cucuk dan Damar kurung
- 2.1.2.29Kaki Patuk dan Dadong Sempret
- 2.1.2.30Wadah / Bade
- 2.1.2.31Tragtag
- 2.1.2.32Ubes-ubes
- 2.1.2.33Pemanjangan
- 2.1.2.34Cegceg
- 2.1.2.35Bale Gumi
- 2.1.2.36Bale lunjuk / Bale Salunglung
- 2.1.2.37Bale Pering
- 2.1.2.38Patulangan
- 2.1.2.39Jempana
- 2.1.2.40Bale Pawedaan
- 2.1.2.41Sanggar Surya
Dari beberapa penelusuran terhadap Lontar di Bali, ngaben tidak selalu besar biayanya. Ada beberapa jenis ngaben yang justru sangat sederhana. Ngaben-ngaben jenis ini antara lain Mitrayadnya, Pranawa dan Swasta. Namun demikian, terdapat juga berbagai jenis upacara yang tergolong besar, seperti sawa prateka dan sawa wedhana.
Sebelum sampai pada uraian pokok, perlu juga dikemukakan pengertian dasar lebih dahulu, sehubungan dengan tulisan ini. Pengertian dasar itu antara lain :
- Ngaben. Ngaben secara umum didifmisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asal-usul etimologi, itu kurang tepat. Sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal. Kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Boleh juga disebut ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben.
- Mitrayajna
Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya Ieluhur. Yajna berarti korban suci. istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada Lontar Yuma Purwana Tattwa, karena tidak disebutkan namanya yang pasti. - Pranawa. Pranawa adalah aksara Omkara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa.
- Swasta. Swasta artinya lenyap atau hilang. Adalah nama jenis ngaben yang sawanya tidak ada (tan kneng hinulatari).
- Sawa Prateka. Sawa Prateka adalah jenis ngaben untuk sawa (mayat) yang baru meninggal, belum sempat diberikan upacara penguburan.
- Sawa Wedhana. Sawa Wedhana adalah jenis ngaben yang dilakukan untuk mayat yang telah mendapatkan upacara penguburan (ngurug).
- Asti Wedhana. Asti Wedhana adalah upacara bagi tulang yang sawanya telah dibakar.
- Sawa. Sawa adalah jenasah badan kasar orang yang sudah meninggal.
- Atma. Atma adalah roh atau yang menyebabkan hidup.
Melaksanakan Pitra Yajna adalah kewajiban pretisantana (pewaris). Sebelum selesai melaksanakan Pitra Yajna ini, Ia belum berhak mewarisi. Tugas Pretisantana adalah sampai melinggihkan dan memujanya di Sanggah Kamulan. Setelah kewajiban ini dilaksanakan, barulah Pretisantana itu berhak atas warisan. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan Pitra Yajna leluhumya akan terkait pada hukum pewarisan. Seorang Pretisantana akan kehilangan hak warisnya bila ia ninggal kadaton dan tidak melaksanakan kewajibannya.
Upacara sampai pada sawa wedana, yang artinya, penyelenggaraan upacara terhadap sawanya yang pokok. Sedangkan upacara mroras adalah upacara penyucian rohnya, atau atma wedana. Roh atau Atma yang telah disucikan disebut Dewa-pitra, yaitu pitra yang telah mencapai tingkatan dewa (Siddhadewata).
Oleh karena itu, upacara setelah mroras, tidak lagi tergolong Pitra Yajna, tetapi sudah masuk Dewa Yajna. Upacara ini adalah Ngalinggihang atau nuntun Dewa Hyang.
Secara garis besarnya, ngaben itu dimaksudkan adalah untuk memproses kembalinya Panca Mahabhuta dan mengantarkan Atma ke alam Pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi.
Dalam lontar Puja Mamukur disebutkan :
Om Prthiwi Apah Teja Bayu Akasa, Prthiwi sangkaning gandha mulih ring prthiwi, apah sangkaning masa mulih ring apah, teja sangkaning rupa mulih ring teja, bayu sangkaning ambekan mulih ring bayu, akasa. sangkaning sahda mulih ring akasa.
(Puja Mamukur, lb. 8a).
Juga disebutkan :
Om ragha saking tirtha muling ring tirtha, wewayangan saking bayu mulih ring bayu, sarira sangkaning tanana mulih ring tanana, les muring prabha sumuruping bayu langgeng, ragha mulih maring kepalu, bayu mulih ring idep, Atma mulih maring wisesa.
(Upacara palebon, hal.3).
Om kulit mulih ring prthiwi, daging mulih ring tanah, getih mulih ring teja, balung mulih ring bayu, otot mulih ring wodon, sabda mulih ring greh, kedepan mata mulih ring tatrep, soca tengen mulih ring surya, soca kiwa mulih ring candra, sumsum mulih maring sagara, om rambut mulih maring akasa.
(Upacara palebon, hal. 28).
Dengan mengutip tiga kutipan diatas, jelaslah bagi kita akan maksud upacara ngaben itu, adalah mengembalikan unsur yang menjadikan badan atau ragha kepada asalnya di alam ini, kedua adalah mengantarkan Atma ke alam Pitra dengan memutuskan keterkaitannya dengan ragha sarira. Hal ini diwujudkan dengan upacara sawa dengan tirtha pangentas.
Tirtha pangentas teges iptm ngemasang pilresnan sang mati ring sarat”
(Upacara Pali Urip. lb. 9).
artinya:
Tirtha pangentas artinya memutuskan kecintaan di dunia.
Dalam perjalanan Atma itu perlu bekal atau beya yang merupakan oleh-oleh bagi saudara empatnya yang sudah menunggu dalam wujud sebagai kala, yaitu : Dora kala, Mahakala, Jogor manik dan Suratma.
Dengan bekal atau beya itu diharapkan Atma dapat kembali dengan selamat. Demikianlah antara lain maksud upacara ngaben itu.
Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan bagi atma dengan selamat dapat pergi ke alam Pitra. Oleh karenanya, ngaben sesungguhnya tidak bisa ditunda-tunda. Mestinya begitu meninggal segera diaben.
Dengan mengambil jenis ngaben “sederhana” yang telah ditetapkan dalam lontar, sesungguhnya ngaben akan dapat dilaksanakan oleh siapapun dan dalam keadaan bagaimana juga.
Sementara menunggu waktu setahun, untuk di aben, sawa harus dipendhem di setra. Untuk tidak menyebabkan suatu hal yang tidak diinginkan, sawa yang dipendhem pun dibuatkan upacara-upacara tirtha pangentas. Dan proses pengembalian unsur Panca Maha Bhuta terutama unsur prthiwinya akan berjalan dalam upacara mapendhem ini. Seperti dinyatakan dalam pembuatan tirtha pangentas mapendhem dengan mantra sebagai berikut:
Om ragha amoring ring prthiwi, bayu amoring ambekan, Atma tumibeng hning, lesa 3x’
Yang artinya
Om badan bersatu dengan tanah, nafas bersatu dengan angin, Atma pada keheningan.
Lebih diperinci lagi pada pawisik Sang Wiku kepada Sang Atma sebagai berikut:
Melepaskan Sang Atma dari ikatan duniawi dengan mantra:
“Om sang Kekejering Rat, angiberaken Atma, Paratma, marikila Atmapitara, dewa pitara kita, hulun angentasakeni ri kita ….. “.
Artinya:
Om Sang Kakej ering Rat (yang menggetarkan dunia), terbangkanlah Atma ini, Paratma, berjalan kamu Atmapitara, saya mengantarkan lepas padamu…”
Untuk mendapatkan keselamatan dan kesenangan dengan mantra.
Om amangulih ring sang magawe hayu lawan sira sang amilepas, sama amangguhan suka rahayu, luputa ring ila-ila, upadrawa, sakala niskalla, uma ngguhang sukha rahayu, dhirghayusa yowana wet hurip, Om Sriya wena namah swaha”
(Upacara pengabenan, hal 42).
Yang artinya:
Om kembali pada yang beryajna dan bagi mereka yang dilepas (Sang Pitra), sama-sama mendapatkan keselamatan dan kesenangan, umur panjang awet muda dan hidup, Om hormat kepada kecemerlangan.
Untuk mendapatkan sorga bagi Sang Pitra dengan mantra:
“Pakulan Sang Dewa pitara, mangke sira linepasakan, muliha sira mareng swargasira, aywa sira anutaken dalam ring Nairiti, dhalan ring Airsanya tutakenira “
Yang artinya :
Sang Dewa Pitara sekarang kamu dilepaskan, pulang kamu ke sorga, jangan kamu mengikuti jalan barat daya, yang di timur laut ikuti.