Pawintenan Dan Sesananing Pemangku (Pinandita)


Pemangku (Pinandita) dalam Agama Hindu menempati kedudukan yang sangat penting. Peranan Pemangku tampak sangat menonjol dalam penyelesaian suatu Yadnya. Lebih lagi dalam pelaksanaan Yadnya yang cukup besar, akan menjadi kurang sempurna kalau tidak di antar oleh Rohaniawan yang dipandang sesuai untuk itu. Dalam pelaksanaan Yadnya di Bali, dikenal ada tiga unsur utama yang sangat berperan dalam pelaksanaan yadnya yaitu,

  1. Yajamana. Yaitu pelaksana Yadnya atau pemilik Yadnya
  2. Pancagra. Yaitu Sang Widya atau para tukang yang berperan dalam menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam bentuk upakara serta kelengkapannya
  3. Sadhaka. Yaitu para Rohaniawan yang bertugas mengantarkan Yadnya tersebut dengan Puja, Seha, Mantra dan Weda.

Pemangku (Pinandita) yang di pandang sesuai untuk mengantar atau menyelesaikan suatu Yadnya, sangat erat kaitannya dengan besar kecilnya tingkat Yadnya itu sendiri. Untuk tingkatan yadnya yang besar, patut di puput oleh Sulinggih, yaitu rohaniawan yang sudah di Dwi Jati.

Sedangkan tingkatan yadnya kecil, cukup di antar oleh rohaniawan tingkat Eka Jati, yaitu Pemangku (Jero Mangku). Menurut Lontar Kesume Dewa yang menjiwai Pemangku adalah I Rare Angon. Selanjutnya dikatakan, umanjing ring bhuwana alit, terletak pada pegantunganing ati. Itulah yang menjadi Jiwa suksma pada diri Pemangku. Rare Angon ini sesungguhnya adalah Brahman, Ida Sanghyang Widhi Wasa, Sang Pencipta, yang menjiwai Bayu, Sabda, Idep, Rasa, Cita, Karsa, Bhudi, Manah dan Ahangkara.

Di dalam menghantarkan suatu yadnya Pemangku hendaknya memakai Genta (Bajra, Gentha, Kleneng), sebab tanpa Genta terasa kurang sempurna, yang disebut dengan istilah Angaruhara atau Ahiyahiya, karena Ida Bhatara tiada turun ke Kahyangan.

Sebagai pedoman, seorang Pemangku juga harus menguasai ajaran Sang Kulputih dan Kesuma Dewa. Kata Pemangku berasal dari 3 suku kata yaitu Pa, Mang dan Ku. Mang adalah merupakan salah satu kata dari “Dasa Aksara”, merupakan aksara suci dari Bhatara Iswara. Seperti diketahui senjata dari Bhatara Iswara adalah Bajra. Maka itu Pemangku berhak memakai Bajra dalam melakukan tugasnya.

Tetapi beberapa sumber mengatakan, Bajra, Genta atau Kleneng sebenarnya bendanya sama. Yang disebut Bajra adalah bagian atasnya (pegangannya), Genta adalah yang berbunyi (yang dipukul), sedangkan Kleneng adalah palitnya (pemukulnya). Maka itu Bajra, Genta atau Kleneng bendanya sama. Selanjutnya dikatakan pemakaian Bajra merupakan salah satu syarat dalam menuntun atau menjembatani Ica Ida Bhatara pada waktu Beliau turun ke Jagat Pada ini.

Tugas pokok Pemangku adalah memimpin upacara di Pura dan menjaga kesucian Pura. Sedangkan tugas tambahannya adalah melayani umat/masyarakat yang memerlukan untuk memimpin upacara yadnya. Maka itu, sebelum menjadi Pemangku hendaknya harus menjalani Pawintenan.

Pemangku yang sudah melaksanakan penyucian diri sampai tingkat Pawintenan, patut menggunakan Puja Astawa/seha sesuai dengan ajaran Kusuma Dewa. Sedangkan yang telah melaksanakan upacara penyucian diri pada tingkat yang lebih besar, serta sudah mendapat ijin dari sulinggih, barulah berhak menggunakan Puja Astawa/Seha seperti yang tercantum dalam ajaran Sang Kulputih.

Sedangkan sebutannya masih tetap dengan sebutan Pamangku atau Pamangku Gede atau Pamangku Putus. Karena kewenangannya, pada dasarnya sama dengan batas kewenangan Pamangku pada umumnya, kecuali dalam menggunakan Puja Astawa/Seha.

Syarat-Syarat Pemangku

Syarat-syarat sebagai seorang yang akan dinobatkan menjadi Pemangku adalah sebagai berikut :

  • Sehat Rohani dan Jasmani. Seorang calon Pemangku diharapkan tidak mengalami Ceda Angga (cacad asli) dan kelainan jiwa
  • Tidak Pernah Dihukum. Seorang calon Pemangku tidak pernah kena hukum penjara atau kena cor (sumpah terhadap Widhi)
  • Anggota Masyarakat. Seorang calon Pemangku boleh dari anggota masyarakat yang baru atau berdasarkan keturunan dan tentunya beragama Hindu
  • Cerdas dan Pintar. Seorang calon Pemangku diharapkan tidak alpa sastra
  • Sudah Di Winten. Seorang yang akan dinobatkan menjadi Pemangku harus disucikan melalui upacara Upanayana(pewintenan) dari seorang Sulinggih dan dilaksanakan di Pura tempat penyungsungan berdasarkan Tri Upasaksi”.

Pawintenan Pemangku

Pawintenan adalah salah satu upacara dalam manusa Yadnya. Mewinten berasal dari kata Winten (inten), yaitu sebuah nama permata yang berwarna putih, sifatnya mulia, dapat memancarkan sinar berkilauan, banyak disenangi orang serta tidak terpengaruh oleh lingkungan. Jadi Mewinten berarti penyucian diri secara lahir batin. Secara lahir bertujuan membersihkan diri dari kekotoran, secara batin bertujuan untuk memohon penyucian diri dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.

Upacara mewinten ini biasanya dilaksanakan setelah yang bersangkutan, sebelumnya melaksanakan upacara Pangidep Hati, sesuai dengan tuntutan Pustaka Suci Sang Hyang Aji Saraswati. Dimana dikatakan, bahwa seseorang sebelum diberikan pelajaran Mesastra, patut dimohonkan Pangidep Hati, agar di dalam belajar mendapatkan tuntunan ke arah yang lebih terang. Setiap orang yang akan menjadi Pemangku, harus didahului proses Pangidep Hati dan Pawintenan.

Tujuan Pawintenan

Didalam beberapa Pustaka suci jelas dikatakan bahwa Tujuan Pawintenan adalah,

  1. Memohon kesucian lahir dan batin, melalui pengendalian diri terhadap hawa nafsu yang disebabkan oleh pikiran
  2. Memohon Waranugraha di dalam mempelajari ilmu pengetahuan kesucian
  3. Mendidik secara lahir dan batin, agar kehidupan manusia makin menjadi sempurna
  4. Meningkatkan status manusia dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi, secara lahir batin
  5. Menjadikan manusia itu sempurna, sehingga dapat berhubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
  6. Mendapatkan perlindungan secara spiritual sehingga luput dari segala gangguan
  7. Meningkatkan budi daya manusia sehingga lebih mulia
Tingkatan Pawintenan

Tingkat Pawintenan ini pada dasarnya ada tiga tingkat yaitu,

  1. Pawintenan Alit. Pawintenan ini biasanya dilaksanakan di suatu Pura yang sedang menyelenggarakan upacara Piodalan dengan sarana upakara mempergunakan Pabangkit
  2. Pawintenan Madia. Pawintenan ini dilaksanakan di suatu Pura yang menyelenggarakan upacara Piodalan dengan sarana upakara mempergunakan Padudusan Alit
  3. Pawintenan Utama.. Pawintenan  ini dilaksanakan di suatu Pura yang menyelenggarakan upakara Piodalan dengan sarana upakara mempergunakan Padudusan Agung.
Jenjang Pawintenan

Selain berdasarkan tingkat upacara, pelaksanaan Pawintenan juga berpedoman pada jengjang tingkat kerohaniawan yaitu

  1. Pawintenan Saraswati. Pawintenan ini dilaksanakan paling awal, yaitu sebagai pembukaan untuk menyucikan dirinya secara lahir dan batin, untuk mengabdikan dirinya mulai belajar mendalami ilmu pengetahuan.
  2. Pawintenan Merarajahan. Pawintenan  ini merupakan lanjutan dan peningkatan dari Pawintenan Saraswati, untuk lebih mendekatkan apa yang telah diperoleh menjadi lebih mantap
  3. Pawintenan Dengan Bisikan/Panugrahan. Pawintenan ini merupakan lanjutan dan peningkatan dari Pawintenan Marerajahan, yang bertujuan untuk lebih mendekatkan lagi pengabdiannya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, beserta manifestasinya, agar selanjutnya dapat pula menerima panugrahan pawisik atau bisikan bila diperlukan.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga