Siwaratri Kalpa : Lubdhaka oleh Mpu Tanakung


Mpu Tanakung adalah seorang Kawi Wiku yang mumpuni dalam bidang sastra, beliau berkata :

“wruh ngwang nisphala ning mango jenek alanglang I kalangen ikang pasir wukir (KS,I:21) artinya,”

aku tahu, percuma saja menikmati keindahan, jika hanya melanglang buana lalu terpesona menikmati keindahan pemandangan pasir-gunung “ analog dengan wacana itu Mpu tanakung menyapa kita bahwa, “ Percuma saja kita menikmati kekawin Siwaratri, jika hanya mempesona menikmati lapis-lapis kulitnya saja berupa wirama, jalan ceritra, dan permainan bunyi, permainan kata-kata yang membangun kekawin itu tanpa berusaha menyimak makna simbolik yang terkandung di dalamnya.

Ceritra Lubdhaka dalam Siwaratri

Seorang pemburu bernama Lubdhaka, setiap hari mengelilingi hutan dan gunung. Hidupnya tidak pernah susah. Ia selalu bersenang-senang dengan anak dan istrinya. Sejak kecil ia tidak pernah berbuat kebenaran, kebajikan, perbuatannya hanya membunuh binatang seperti rusa, badak dan gajah. Itulah yang dilakukan setiap hari sebagai satu-satunya mata pencaharian yang dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.

Pada hari keempat belas bulan ketujuh (panglong ping pat belas ke pitu), Lubdhaka berburu seorang diri kedalam hutan memakai bajuhitam kebiruan . Perjalannya ke dalam hutan menuju timur laut, ketika itu hujan gerimis, Ia melewati Pura besar (dharma agung) yang keadaanya sudah rusak, namun dewanya tetap kokoh berstahana di dalam relung pelangkiran. Oleh karena kekuatan keutamaan dari malam Siwa (siwaratri), keadaan hutan menjadi sepi. Keadaan ini membuat Lubdhaka berjalan sampai jauh ketengah hutan.

Karena merasa penasaran, Lubdhaka terus menelusuri hutan selama satu hari berputar-putar mengelilingi lereng gunung. Setelah sore ia sampai di sebuah ranu besar yang didalamnya terdapat Siwalinggga (tidak ada yang membuat ), Perjalanan berputar-putar membuat Lubdhaka lesu, payah,haus,lapar. Karena itu, ia beristirahat dan minum air serta mencuci muka sambil menunggu binatang yang mungkin datang minum air.

Namun harapan itu sia-sia, karena sampai malam tidak ada binatang yang datang minum air. Akhirnya ia memutuskan untuk menginap di seputar ranu itu. Untuk menghindari bahaya (dari sergapan binatang), ia memanjat pohon bilva dan menaungi ranu dan membawa busur serta anak panahnya. Setelah larut malam ia tidak bisa menahan kantuknya. Agar tidak tertidur, ia memetik daun pohon maja (bila) itu satu persatu sampai fajar. Tanpa disengaja daun-daun yang dipetiknya jatuh di dalam ranu dan semua kandas mengenai Siwalingga. Dewa Siva yang sedang beryoga disitu sangat senang memperhatikan ketekunan lubdhaka menyertai yoganya.

Keesokan harinya, setelah pagi, keadaan di sekitar , mulai terang disinari matahari. Ia berkemas-kemas pulang, setibanya dirumah dijemput oleh istri dan anak-anaknya dengan rasa gembira. Setelah diceritrakan perjalanannya tidak mendapat buruan, suasana berubah menjadi sedih karena mereka sedang lapar. Mungkin istri dan Lubdhaka juga tidak tidur semalam karena menanti kedatangan ayah atau suami yang tidak kunjung pulang.

Beberapa tahun kemudian, Lubdhaka jatuh sakit dan kematian tidak dapat dielakan. Atmanya melayang-layang di angkasa. Dalam keadaan demikian, Dewa Siva segera memerintahkan abdinya (para gana) untuk menjemputnya agar dibawa ke Siwaloka. Tindakan itu dilakukan Dewa Siva karena beliau masih ingat dengan perbuatan lubdhaka yang sangat terpuji, yaitu melakukan brata Siwaratri pada panglong ping pat belas sasih kepitu pada zaman kreta dahulu semasih hidupnya.

Walaupun hal itu tidak sengaja dilakukannya, karena brata itu yang utama, dapat membersihkan segala dosa. Berapapun banyaknya berbuat kejahatan akan dilebur oleh keutamaan brata itu. Oleh karena itu, sudah sepantasnya Lubdhaka untuk menikmati kebahagiaan di Siwaloka.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga