Tentang Aji Saka dan Aksara Jawa – Bali


Tentang Aji Saka sendiri, terdapat berbagai literatur yang mengkisahkan sejarah Ajisaka dalam versi yang berbeda.

Prabu Isaka atau Ajisaka adalah putra dari Prabu Iwasaka atau Bathara Anggajali adalah putra dari Bathara Ramayadi atau Empu Ramadi adalah putra Sang Hyang Ramaprawa, anak Sang Hyang Hening putra Sang Hyang Tunggal.

Prabu Ajisaka diperintahkan untuk berangkat melakukan tapa brata ke sebuah pulau yang sangat panjang. Kata “panjang” dalam bahasa Jawa artinya “dawa”, yang oleh Sang Hyang Guru disebut “jawa” atau “pulau jawa”.

Di dalam perjalannya ke Pulau dawa (Pulau Jawa) yang cukup panjang dari Aceh sampai Bali (masih bersatu). Prabu Ajisaka untuk pertama menginjakkan kaki dan bermukim di Gunung Hyang atau sekarang bernama Gunung Kendeng di daerah antara Probolinggo dan Besuki (Daerah Jawa Timur) dengan nama Empu Sangkala.

Aji Saka kemudian menemukan dua Raksasa yang terbujur kaku (mati). Ketika Ajisaka melihat tangan mereka masing-masing menggenggam “daun lontar yang berisi tulisan”, di tangan raksasa yang satu bertuliskan huruf “purwa” (kuno) dan satunya lagi huruf Thai. Setelah dua tulisan tersebut disatukannya, Ajisaka menciptakan Abjad (Aksara) Jawa yang terdiri dari 20 huruf.

 

Versi cerita yang umum di masyarakat adalah:

Dahulu kala, ada sebuah kerajaan bernama Medang Kamulan yang diperintah oleh raja bernama Prabu Dewata Cengkar yang buas dan suka makan manusia. Setiap hari sang raja memakan seorang manusia yang dibawa oleh Patih Jugul Muda. Sebagian kecil dari rakyat yang resah dan ketakutan mengungsi secara diam-diam ke daerah lain.

Di dusun Medang Kawit ada seorang pemuda bernama Aji Saka yang sakti dan baik hati. Suatu hari, Aji Saka berhasil menolong seorang bapak tua yang sedang dipukuli oleh dua orang penyamun.

Bapak tua yang akhirnya diangkat menjadi ayah oleh Aji Saka itu ternyata pengungsi dari Medang Kamulan. Mendengar cerita tentang kebuasan Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka berniat menolong rakyat Medang Kamulan. Dengan mengenakan serban di kepala Aji Saka berangkat ke Medang Kamulan.

Perjalanan menuju Medang Kamulan tidaklah mulus, Aji Saka sempat bertempur selama tujuh hari tujuh malam dengan setan penunggu hutan, karena Aji Saka menolak dijadikan budak oleh setan penunggu selama sepuluh tahun sebelum diperbolehkan melewati hutan itu.

Tapi berkat kesaktiannya, akhirnya Aji Saka tiba di Medang Kamulan yang sepi. Di istana, Prabu Dewata Cengkar sedang murka karena Patih Jugul Muda tidak membawa korban untuk sang Prabu.

Dengan berani, Aji Saka menghadap Prabu Dewata Cengkar dan menyerahkan diri untuk disantap oleh sang Prabu dengan imbalan tanah seluas ikatan kepala yang digunakannya.

Saat mereka sedang mengukur tanah sesuai permintaan Aji Saka, ikatan kepalanya terus memanjang sehingga luasnya melebihi luas kerajaan Prabu Dewata Cengkar. Prabu marah setelah mengetahui niat Aji Saka sesungguhnya adalah untuk mengakhiri kelalimannya.

Ketika Prabu Dewata Cengkar sedang marah, ikatan kepala Aji Saka melilit kuat di tubuh sang Prabu. Tubuh Prabu Dewata Cengkar dilempar Aji Saka dan jatuh ke laut selatan kemudian hilang ditelan ombak.

Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Ia memboyong ayahnya ke istana. Berkat pemerintahan yang adil dan bijaksana, Aji Saka menghantarkan Kerajaan Medang Kamulan ke jaman keemasan, jaman dimana rakyat hidup tenang, damai, makmur dan sejahtera.

Setelah menjadi raja, Ajisaka teringat kepada Sembada, salah seorang abdinya yang ditinggalkan di Pulau Majethi di pegunungan Kendeng. Abdinya tersebut diperintahkan untuk menjaga keris pusaka Ajisaka.

Sebelum pergi ke Medang Kamulan, Ajikasaka memang berpesan agar keris itu dijaga baik-baik. Jangan sampai keris itu diserahkan kepada orang lain, kecuali Ajisaka sendiri yang mengambilnya.

Ajisaka kemudian memanggil abdi setianya Dora, kemudian diberi pesan oleh Ajisaka untuk mengambil keris dan mengajak Sembada ke Medhang Kamulan. Dia tidak boleh kembali ke Medhang Kamulan sebelum berhasil melaksanakan perintah Ajisaka.

Berangkatlah Dora memenuhi perintah Aji Saka. Bertemulah ia dengan sahabat dekatnya yang masih tetap setia berada di pegunungan Kendeng. Setelah berbincang-bincang melepas kerinduan, Dora menyatakan maksud kedatangannya.

“Aku diutus junjungan kita untuk mengambil keris pusaka yang dititipkannya kepadamu.”

Sembada sama sekali tidak curiga mendengar ucapan Dora. Namun, ia tidak bisa menyerahkan keris pusaka milik Aji Saka itu kepada sahabat dekatnya itu.

“Untuk engkau ketahui wahai Dora sahabatku, junjungan kita pernah berpesan kepadaku untuk tidak sekali-kali menyerahkan keris pusaka itu kepada siapa pun juga! Aku dipesannya untuk hanya menyerahkan keris pusaka itu kepadanya saja. Junjungan kita itu juga telah berjanji kepadaku untuk mengambiL keris pusakanya sendiri.”

“Sembada sahabatku, apakah engkau mencurigai aku? Demi Sang Hyang Dewata Agung, aku sungguh-sungguh menjalankan perintah junjungan kita!” ujar Dora untuk meyakinkan.

Namun, tetap juga Sembada tidak berkenan memberikan keris pusaka milik Aji Saka itu. Ia tetap bersikeras hanya akan menyerahkan keris pusaka itu kepada Aji Saka sesuai amanat yang diterimanya. Sementara Dora juga tetap bersikeras untuk meminta keris pusaka Aji Saka sesuai perintah yang diterimanya.

Keduanya saling bersikeras hingga akhirnya terjadilah perselisihan di antara mereka. Perselisihan itu terus meruncing hingga akhirnya terjadilah pertarungan di antara dua sahabat dekat itu.

Dilain tempat, Aji Saka terus menunggu di istana Kerajaan Medang Kamulan. Benar-benar heran ia, karena Dora yang diutusnya belum juga kembali. Karena penasarannya, Aji Saka pun bergegas pergi menuju pegunungan Kendeng.

Tak terkirakan terperanjatnya Aji Saka ketika Ia mendapati dua abdi setianya itu telah tewas. Mengertilah Aji Saka jika kedua abdi setianya itu telah bertarung demi menjaga amanat yang diberikannya. Sembada telah mati-matian menjaga amanatnya untuk tidak memberikan keris pusaka titipannya kepada siapa pun selain kepada dirinya sendiri, sementara Dora mati-matian pula meminta keris pusaka itu sesuai perintahnya.

Ajisaka merasa sangat bersalah karena secara tidak langsung menyebabkan kematian dua abdi setianya. Benar- benar ia terharu dan memberikan kehormatan besarnya terhadap Sembada dan Dora yang begitu setia kepadanya. Keduanya rela mati demi menjaga amanat dan perintah yang mereka emban. Sebagai wujud penghormatannya atas kesetiaan dua pembantunya, Aji Saka lantas menuliskan huruf-huruf di atas batu. Bunyi tulisan itu adalah:

  • ha na ca ra ka : ada utusan (Dora dan Sembada yang masing-masing diutus dan diperintah oleh Ajisaka)
  • da ta sa wa la : bertengkar (keduanya bertengkar karena tanggung jawab dan kesetiaan dalam melaksanakan perintah Ajisaka)
  • pa dha ja ya nya : seimbang kesaktiannya (Dora dan Sembada mempunyai kesaktian yang setara)
  • ma ga ba tha nga : keduanya terbunuh (Dora dan Sembada meninggal setelah berperang)

Dalam versi yang berbeda, di dalam buku “Nawang Sari” (Fajar Pustaka Baru:Yogyakarta:2002) DR. Damardjati Supadjar mengatakan terjadi salah kaprah pemahaman kandungan makna dari aksara seperti tersebut diatas. Damardjati Supadjar mengutip ungkapan Ki Sarodjo “ bagi perasaan saya rangkaian huruf di dalam carakan jawa itu bukannya menambatkan suatu kisah, melainkan suatu ungkapan filosofis yang berlaku universal dan sangat dalam artinya..”

Sebuah teori geologi kuno menyebutkan, proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara, yang bertabrakan dengan lempengan sebelah utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian melahirkan Gunung Himalaya.

Konon, proses tersebut terjadi pada 20-36 juta tahun yang silam. Anak benua yang di selatan sebagian terendam air laut, sehingga yang muncul di permukaan adalah gugusan-gugusan pulau yang merupakan mata rantai gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara, yang sebagian adalah Nusantara, yang pada zaman dahulu disebut Sweta Dwipa. Dari bagian daratan ini salah satunya adalah gugusan anak benua yang disebut Jawata, yang satu potongan bagiannya adalah pulau Jawa. Jawata artinya gurunya orang Jawa. Wong dari kata Wahong, dan Tiyang dari kata Ti Hyang, yang berarti keturunan atau berasal dari Dewata.

Konon karena itulah pulau Bali sampai kini masih dikenal sebagai pulau Dewata, karena juga merupakan potongan dari benua Sweta Dwipa atau Jawata.

Atas izin Wisnu, Mahapati Negrum dan Aji Saka berangkat ke tanah Jawa untuk menghadap Hyang tunggal di Gunung Tidar. Tidar dari kata Tida; hati di dada, maksudnya hidup. Supaya selamat, oleh Wisnu, Mahapati Ngerum dan Aji Saka diberi sifat kandel berupa rajah Kalacakra, agar terhindar dari wabah penyakit dan serangan anak buah Batara Kala.

Kisah di atas hanya merupakan gambaran, bahwa ada makna yang tersirat di dalamnya. Wisnu dan Aji Saka itu dwitunggal, bagaikan matahari dan sinarnya, madu dan manisnya, tak terpisahkan.

Maka itu, keraton Wisnu dan Aji Saka itu di Medang Kamulan, yang maksudnya dimula-mula kehidupan. Kalau dicermati, intinya adalah kawruh ngelmu sejati tentang kehidupan manusia di dunia, sejak masih gaib hingga terlahir di dunia, supaya hidup baik, sehingga kembalinya nanti menjadi gaib lagi, perjalanannya sempurna.

Singkat cerita, perjalanan ke tanah Jawa dipimpin oleh Aji Saka dengan jumlah warga yang lebih besar, 80 ribu atau 8 laksa, disebar di berbagai pelosok pulau. Sejak itulah, kehidupan di tanah Jawa Dwipa yang disebut masyarakat Kabuyutan telah ada sejak 10.000 SM, tetapi mulai agak ramai sejak 3.000 SM.

Sesudah kedatangan pengaruh Hindu, muncul kerajaan pertama di Jawa yang lokasinya di Gunung Gede, Merak. Rajanya Prabu Dewawarman atau Dewa Esa, yang bergelar Sang Hyang Prabu Wisnudewa. Raja ini memperkuat tahtanya dengan mengawini Puteri Begawan Jawa yang paling terkenal, yakni Begawan Lembu Sura atau Kesawasidi di Padepokan Garba Pitu (penguasa 7 lapis alam gaib) yang terletak di Dieng atau Adi Hyang (jiwa yang sempurna), juga disebut Bumi Sambara (tanah yang menjulang tinggi). Puterinya bernama Padmawati atau Dewi Pertiwi.

 




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Blog Terkait