Makna Cerita :
Dalam proses kelahiran, Yeh Nyom (Air Ketuban) adalah yang pertama keluar dari arah Utara, menandai perbedaan titik awal individu. Secara tradisional, manifestasi Kanda Pat dalam diri (Buana Alit) diyakini sebagai berikut: Ari-ari (Plasenta) menjadi Banaspati Raja, yang secara umum diasosiasikan dengan arah Timur/Putih; Lamas (Vernix Caseosa atau selaput lemak) menjadi Banaspati, diasosiasikan dengan arah Barat/Kuning; Getih (Darah) atau Tali Pusar menjadi Prajapati, diasosiasikan dengan Selatan/Merah; dan Yeh Nyom (Air Ketuban) yang merupakan esensi dari keberadaan individu, menjadi I Ketut, yang berpusat di diri .
Perbedaan orientasi awal ini, khususnya keluarnya Yeh Nyom dari Utara, bukan hanya detail ritualistik. Hal ini menunjukkan bahwa proses kelahiran adalah tindakan yang mengkhususkan jiwa dari tatanan kosmik universal. Manusia yang baru lahir, sebagai I Ketut, memulai hidupnya dengan pergeseran orientasi, yang secara implisit menetapkan inti dari perjalanan spiritualnya: kebutuhan untuk terus-menerus menyelaraskan Buana Alit yang terpisah dengan Buana Agung yang mencakup segalanya. Keselarasan kembali inilah yang menjadi prasyarat untuk mencapai keseimbangan sejati
Kisah I Ketut ini menegaskan bahwa Kanda Pat pada intinya adalah ideologi keseimbangan. Perjalanan I Ketut bukanlah ritual satu kali, melainkan Jalan Kepatutan yang harus dijalani terus menerus. Kanda Pat bertindak sebagai cermin abadi, yang terus-menerus menunjukkan kepada individu apakah I Ketut sejati telah berhasil mengendalikan Buta Kala di dalamnya. Selama upaya menjaga keseimbangan ini terus dilakukan, baik melalui jalur tradisional maupun melalui wacana modern, esensi filosofis Catur Sanak akan tetap relevan dan abadi.
Dalam kosmologi Bali, setiap kehidupan yang baru lahir didahului oleh sebuah kontrak metafisik, janji yang terukir di antara ruh dan semesta. Ini adalah momen sakral, di mana batas antara sekala (yang terlihat) dan niskala (yang tak terlihat) menjadi amat tipis, menyambut lahirnya seorang I Ketut ke dunia. Di kedalaman filosofi Bali, konsep ini diwujudkan melalui ajaran Kanda Pat. Secara etimologis, Kanda memiliki makna yang kaya, mencakup saudara, wejangan, nasihat, cerita, perilaku, kekuatan gaib, dan yang paling penting, kepatutan (propriety atau kesesuaian moral). Sementara itu, Pat secara jelas bermakna empat.
Oleh karena itu, Kanda Pat diinterpretasikan sebagai empat saudara spiritual yang penuh kasih, yang berjanji untuk selalu mendampingi manusia, mulai dari tahap embrio, saat kelahiran, sepanjang kehidupan, hingga kematian. Keempat entitas ini bukanlah sekadar mitos, melainkan perwujudan kekuatan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), yang memastikan bahwa jiwa manusia tidak pernah sendirian dalam perjalanan kosmiknya. Keberadaan Kanda Pat ini merupakan kekayaan budaya yang besar bagi masyarakat Bali, bertindak sebagai fondasi ideologis bagi upaya masyarakat untuk mencapai keseimbangan dalam hidup.
I Ketut, sang subjek sentral dalam narasi ini, adalah I Ketut Petung (Pancer). Peran ini menempatkannya sebagai pemegang Angga Sarira (raga/tubuh). Ia adalah pusat mikrokosmos, dan empat saudara spiritual lainnya—Anggapati, Mrajapati, Banaspati, dan Banaspati Raja adalah Catur Sanak yang bersumpah melindunginya. Sejak lahir, mereka mengawal dan membantu, bertindak sebagai pelindung yang lembut.
Namun, perlindungan ini bersifat kontraktual dan kondisional. Ajaran Kanda Pat mengajarkan bahwa jika manusia mengabaikan atau tidak “memperlakukan mereka dengan pantas” (kepatutan), maka kekuatan pelindung ini dapat berbalik. Mereka bertransformasi dari saudara yang membantu menjadi kekuatan penghukum, yang menekan manusia menyebabkan masalah, baik yang bersifat fisik maupun spiritual. Tugas utama I Ketut dalam cerita ini sebagai manusia yang dilahirkan, merupakan tugas setiap manusia Bali, adalah hidup dalam kepatutan agar dapat menjaga janji tak terlihat ini. Kegagalan dalam mempertahankan kepatutan adalah undangan terbuka bagi Buta Kala internal dan eksternal untuk menguasai raga.