Chanakya Niti Sastra – Ilmu Politik, Kepemimpinan dan Moralitas


KEPEMIMPINAN HINDU DALAM NITI SASTRA

Dalam Niti Sastra diajarkan bagaimana bersikap menjadi seorang pemimpin dan begaimana bertindak sebagai seorang pemimpin. seperti yang tertera pada Kakawin Niti Sastra, 1.4 dibawah ini:

“Ring jadmadhika meta cittaseping sarwa pingenaka, ring stri madhya manohara pria wuwustangde manah kung lulut, yang ring madhyani sang pandita m neap tattwopadeca prihert, yang ring madhyanikang musuh mucapaken wak cura singhakerti”

Artinya:

Orang yang terkemuka harus bisa mengambil hati dan menyenangkan hati orang; jika berkumpul dengan wanita, harus dapat mempergunakan perkataan-perkataan manis yang menimbulkan rasa cinta birahi jika berkumpul dengan pendeta, harus dapat membicarakan pelajaran-pelajaran yang baik, jika berhadapan dengan musuh, harus dapat mcngucapkan kata- kata yang menunjukan keberaniannya seperti seekor singa.

Seorang pemimpin juga bisa dikatakan sebagai raja karena memiliki wewenang untuk membimbing atau menuntun. Pemimpin memiliki wewenang untuk mensejahterakan orang yang dipimpinnya. Pemimpin yang baik tidak pernah memikirkan dirinya sendiri, akan tetapi lebih mementingkan kepentingan umum dibanding kepentingan pribadi. Seperti yang dikatakan dalam kitab Arthasastra Buku I, Bab XI, bagian 19, ayal 34 adalah sebagai berikut:

Kebahagian rakyatnya adalah letak kebahagiaan raja, dan apa yang bermanfaat bagi rakyatnya jttga bermanfaat bagi dirinya sendiri. Apa yang berharga bagi dirinya sendiri be/urn tentu bagi Negara, telapi ada yang berharga bagi rakyatnya adalah bermanfaatfbagi dirinya).

Seorang pemimpin tidak boleh hanya memikirkan diri sendiri apalagi memikirkan untung dan rugi dalam memimpin. Memimpin adalah suatu pengorbanan yang tulus iklas demi kesejahteraan bersama. Apabila seseorang memimpin hanya mencari keuntungan saja hendaknya jangan dipilih menjadi seorang pemimpin. Seperti yang tertera dalam Kitab Arthasastra Buku I, Bab XI, bagian 19, ayat 33 sebagai berikut:

Bagi seorang raja, sumpah (sucinya) adalah kesediaannya untuk bekerja, pengorbanan dalam urusan pemerintahan adalah pengorbanan sucinya, imbalan dari pengorbanan adalah sikap yang adil, (dan) inisiasi dari pengorbanannya adalah pentasbihannya.

 Berdasarkan kutipan kitab Arthasastra diatas dikatakan bahwa pemimpin sebagai pengayom, bagi masyarakatnya. Seorang pemimpin harus berusaha mensejahterakan rakyatnya, karena itu wujud dari keberhasilannya menjadi seerang pemimpin. Apabila seorang pemimpin tidak mampu untuk mensejahterakan rakyatnya, apalagi membuat rakyatnya menderita dia tidak bisa dikatakan sebagai pemimpin yang berhasil. Dalam memimpin hendaknya dilakukan dengan sepenuh hati, dan jangan memimpin hanya untuk mencari keuntungan saja. Menjadi seorang pemimpin harus siap menanggung resiko apapun demi menjalankan tugas negaranya.

Syarat-syarat Pemimpin

Setiap orang bisa untuk menjadi seorang pemimpin, akan tetapi tidak semua orang bisa memimpin dengan baik. Memimpin bukanlah sesuatu yang mudah seperti membalikan kedua telapak tangan kita. Dalam kitab Arthasastra dikatakan bahwa Seorang raja atau pemimpin hendaknya memiliki sifat Uthana (giat) dan jangan memiliki sifat Pramada (lengah). Berikut tertera dalam Arthasastra, buku I, Bab 19, bag.16:

  • Ayat 1  :  Bila seorang raja uthana (giat), pengikutnya menjadi giat mengikuti ketauladanannya.
  • Ayat 2  :  Bila ia pramada (lengah), mereka ikut lengah bersamanya.
  • Ayat 4  :  Selanjutnya raja yang lengah akan jatuh ke tangan musuh-musuhnya.
  • Ayat 5  :  Oleh karena itu, ia sendiri hams aktif (penuh energi).

Dari kutipan diatas dapat dipetik kesimpulan bahwa apapun yang dilakukan seorang pemimpin akan diikuti oleh bawahannya. Seseorang ketika ingin menjadi seorang pemimpin haruslah memiliki keinginan serta keahlian yang cukup memadai ketika menjadi seorang pemimpin. Dalam sastra Hindu dikatakan seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut :


Sumber :

Drs. I Wayan Darna, M.Pd.



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga