Kepemimpinan Hindu dalam Tutur Bhagawan Kamandaka


Tutur Bhagawan Kamandaka memuat ajaran kepemimpinan Hindu, sesuai dengan ajaran kepemimpinan dalam zaman Jawa Kuna. Ajaran tersebut tampaknya memang pernah dijadikan pedoman oleh para pemimpin (raja) pada zamannya, serta telah diterap­kan dalam pemerintahannya. Lontar tutur Bhagawan Kamandaka ini memakai bahasa Jawa Kuna dan Sansekerta  dan ditulis dengan Aksara Bali.
Ada beberapa konsepsi kepemimpinan yang termuat dalam Tutur Kamandaka ini. Konsepsi tersebut antara lain, konsepsi hubungan antara raja (pemimpin) dengan purohita (pendeta kerajaan), konsepsi catur warga, catur yuga, catur pariksa dan catur warna dan sebagainya. Konsepsi ini diharapkan supaya benar-benar dipahami oleh seorang pemimpin, kalau ia ingin sukses dalam kepemimpinannya.

Hubungan Raja Dengan Purohita

Dalam lembaran 2b lontar tutur Bhagawan Kamandaka ini, ada disebutkan: 

Nihan kadenira sang prabhu, mangenakena sira purohita, brahmana siddhi, dang acarya kunang purohitahan nira, sang wruhing dharma sakti kadi postika.
Artinya :
Berikut ini perbuatan yang mesti dilaksanakan oleh seorang raja, ia hendaknya mengangkat seorang purohita, (pendeta kerajaan) yang benar-benar siddhi (mempunyai kekuatan rohani), sang purohita hendaknya sekaligus sebagai pendeta guru, yang memahami berbagai ajaran kerohanian. 

Seorang raja mesti didampingi oleh seorang purohita yang benar-benar dalam saat­saat yang baik dan tepat dapat memberikan petunjuk-petunjuk dan atau nasehat kepada sang raja. Jadi kedudukan seorang purohita adalah kedudukan struktural fungsional. Begitu pen­tingnya kedudukan seorang purohita, maka ia mestilah orang yang benar-benar dapat dianggap sebagai orang yang mem­punyai ketinggian rohani, dan sekaligus sebagai guru dari para pendeta (dang acarya).
Sebagai bandingan, dalam kakawin Ramayana, kakawin atau karya sastra tertua dan puncak karya manusia Indonesia, masalah kehadiran seorang purohita diuraikan secara sangat mendasar. Disebutkan:

Brahmana ksatriya n padulur/ jatinya parasparopasarppana ya/ wiku tan panatha ya hilang/ tan pawiku kunang ratu wisirna//
Artinya :
Brahmana (pendeta) dan kesatria (pemimpin) adalah ber­jalan seiring/ sesungguhnya dasarnya adalah saling mendekati/ pendeta yang tidak memiliki raja akan rusak/ adapun raja tanpa pendeta akan hancur juga//
(I, 49 )

Tutur Bhagawan Kamandaka telah menyuratkan masalah ini pada bagian awal, pertanda masalah hubungan antara raja dengan purohita dilihat juga sebagai masalah terpenting. Setelah itu baru diuraikan betapa perlunya seorang raja mencari sahabat dan pengikut-pengikutnya. 

 

Konsep Kepemimpinan Bhagawan Kamandaka

 

1. Konsepsi Catur Warga

Istilah catur warga sering kita temui dengan istilah catur purusa artha. Catur Purusa Artha terdiri atas kata-kata catur berarti empat, purusa berarti jiwa atau manusia dan artha berarti tujuan hidup. Jadi Catur Purusa Artha berarti empat tujuan hidup manusia yang utama.

Catur warga terdiri dari kata­ kata catur berarti empat, dan warga berarti terjalin erat atau golongan. Jadi Catur Warga berarti empat tujuan hidup yang terjalin erat satu dengan yang lainnya.
Pengertian-pengertian tersebut dapat diperjelas dengan kalimat bahwa Catur Purusa Artha atau Catur Warga tersebut adalah empat tujuan hidup manusia yang mewujudkan suatu perpaduan yang utuh. Perpaduan yang utuh perlu ditekankan, supaya tujuan tersebut tidak dilihat sebagai suatu yang cerai­berai. Catur Purusa Artha atau Catur Warga tersebut terdiri atas: Dharma, Artha, Kama dan Moksa.

Menurut ajaran ini, tujuan hidup manusia pada hakekatnya adalah Moksa atau Kelepasan (dapat juga diterjemahkan dengan “kemerdekaan “).

Dalam kakawin Ramayana dijelaskan, bahwa seorang raja akan mencapai dharma, artha dan kama, apabila ia dapat mem­berikan dharma, artha dan kama tersebut kepada rakyatnya. Dharma bagi raja itu hendaklah berarti memberikan kesempatan kepada rakyatnya untuk dapat memenuhi kewajiban-kewajiban ibadat dan susila mereka, dengan jalan kebaktian dan melaku­kan hidup kebatinan. Artha (kekayaan) bagi sang raja hendaklah berarti dengan kekayaan yang diperolehnya, menjaga kehidup­an orang-orang lain hingga luput dari kesukaran. Dan kenikmat­annya (kama) hendaklah terletak dalam kemungkinan yang di­berikannya kepada orang lain untuk dapat merasakan ke­nikmatan. Semangat menguntungkan diri sendiri yang biasanya terletak dalam perjuangan untuk memperoleh harta benda dan kenikmatan di sini tidak diketemukan. Yang tampak ialah menjaga dan memberi orang lain kesempatan untuk menge­nyaminya. Tri warga untuk raja yang utara berarti memungkinkan rakyatnya untuk mendapatkan Tri Warga.

2. Konsepsi Catur Periksa

Walaupun tidak secara berurutan konsepsi catur pariksa, dalam tutur Bhagawan Kamandaka ini dipakai istilah yang berbeda misalnya Dhanda Upaya, tampaknya ingin ditonjolkan oleh pengarang, sebagai suatu konsepsi yang amat penting yang harus dipahami oleh sang raja dalam menjalankan pemerintahan. Bagian-bagian dari catur pariksa terdiri dari Sama, Bheda, Dana, Dhanda, sering dibolak-balik susunannya, serta kadang ­kadang digabung dengan konsepsi lain yang tidak umum dalam konsep kepemirnpinan Jawa Kuna.

Catur Pariksa (empat hal dalam menentukan sikap) di tempat-tempat lain dalam buku-buku kepemimpinan juga di sebut catur naya sandhi. Sesungguhnya yang menjadi pokok dalam konsep ini adalah Dhanda (hukum). Dalam konteks ini masing-masing bagian dari Catur Pariksa tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 

  1. Sama. Setiap orang sebagai manusia dengan hak-hak azasinya mesti mendapat perlakuan hukum yang sama dan dengan cara sama serta seadil­ adilnya.
  2. Bheda. Keadilan hukum itu ditentukan atau sesuai dengan perbedaan besar kecilnya pelanggaran/ kesalahan. Dilihat juga dari hakekat makhluk hidup, terutama manusia adalah terjadi dari untuk sumber yang sama tetapi mengambil bentuk lahir yang berbeda-beda. 
  3. Dana. Hukum yang ditimpakan hendaknya semata­mata didasarkan pada pelimpahan kasih yang tulus ikhlas. 
  4. Denda. hukum di atas dengan landasan Sama, Bheda dan Dana adalah semata-mata dengan tujuan menolong dengan memperkecil dan bila mungkin meniadakan dosa-dosanya lahir dan bathin untuk melepaskan dirinya dari lingkar samsara.

Dalam hubungannya dengan kerja sama dengan pihak lain perlu juga diperhatikan keempat bagian Catur Pariksa tersebut, yang dalam konteks ini lebih tepat disebut catur Naya Sandhi (empat macam cara berupaya yang tepat). Dalam konteks ini masing-masing diberi makna, yakni :

  1. Sama. Bahwa kita harus mampu menentukan sikap dan memiliki dengan siapa kita harus selalu bekerja sarna dan sejauh mungkin dapat ber­usaha mengendalikan nafsu jahat, angkara mur­ka dari pihak musuh,. sarnpai memberi manfaat.
  2. Bheda. Bahwa kita mampu mengambil posisi yang tepat terhadap kawan yang berbeda ideologi atau ber­beda dalam pikiran dan tujuan, sehingga kita sanggup menunjukkan kemampuan kita dalam menegakkan undang-undang dan hukum secara murni.
  3. Dana. Bahwa dengan demikian kita dapat memberi bantuan (dana) yang tepat atau menerima bantu­an orang lain tanpa suatu syarat yang merugikan perjuangan.
  4. Denda. Bahwa kita harus berani bertindak tegas ter­hadap siapa saja yang ternyata melanggar un­dang-undang/hukum, demi keadilan dan ke­benaran dan tegaknya kewibawaan pemerintah.
3. Konsepsi lainnya

Konsepsi terurai di atas sebagai konsepsi pokok yang diajarkan oleh Bhagawan Kamandaka kepada murid beliau (seorang raja). Masih ada konsepsi-konsepsi penunjang yang juga sangat penting diketahui oleh seorang raja. Misalnya konsepsi tentang catur yuga (empat Jaman), konsepsi catur wama (empat kelas dalam masyarakat) dan yang lain.
Tentang catur yuga antara lain terurai dalam lembaran 20b – 21 b. Antara lain dikatakan bahwa, perincian catur yuga tersebut adalah kretta, treta, dwapara dan kalisanghara. Apabila sang raja dapat memahami ciri jaman tersebut, sudah tentu ia akan dapat bersikap lebih bijaksana.

Konsepsi lain yang tak kalah pentingnya yang patut di­ketahui oleh seorang raja adalah konsepsi catur warna. Catur warna adalah empat golongan dalam masyarakat yang mem­punyai tugas dan kewajiban tertentu sesuai dengan kemampu­annya. Kata warna dalam konteks ini mempunyai makna sifat dan bakat kelahirannya dalam mengabdi pada masyarakat ber­dasarkan kecintaan yang menimbulkan kegairahan kerja. Jadi catur wama adalah empat golongan karya dalam masyarakat Hindu yaitu Brah­mana, Ksatria, Wesya dan Sudra.

  1. Brahmana adalah golongan yang setiap orangnya memiliki ilmu pengetahuan suci dan mempunyai bakat kelahiran untuk mensejahterakan masyarakat, negara dan umat manusia dengan jalan mengamalkan ilmu pengetahuan dan dapat memimpin upacara keagamaan.
  2. Ksatria ialah golongan yang setiap orangnya memiliki ke­wibawaan cinta tanah air serta bakat kelahiran untuk memimpin dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat, negara dan umat manusia berdasarkan dharmanya.
  3. Wesya ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki watak-watak tekun, trampil, hemat, cermat dan keahlian serta bakat kelahiran untuk menyelenggarakan kemakmuran masya­rakat negara dan kemanusiaan.
  4. Sudra ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki kekuatan jasmaniah ketaatan, serta bakat kelahiran untuk se­bagai pelaku utama dalam tugas-tugas memakmurkan masya­rakat negara dan umat manusia atas petunjuk-petunjuk golong­an karya lainnya.

Uraian tentang catur wama dalam Tutur Bhagawan Kaman­daka kita temui dalam lembaran 24a. Dalam lembaran tersebut diuraikan pembagian dari catur warna juga disebut catur janna, serta kewajibannya masing-masing, yang berbeda satu dengan yang lain :

  1. Kewajiban Brahmana dinyatakan mempunyai kewajiban memahami ajaran sastra, ilmu pengetahuan dan agama. Ia senantiasa memuja Tuhan mohon keselamatan seluruh umat manusia.
  2. Kewajiban Ksatria adalah menjaga negara, senantiasa bertingkah laku yang baik, senantiasa ingat dan menjalankan tugas kepemimpinan.
  3. Kewajiban Wesya yaitu menghadapi dan melaksanakan segala yang berkaitan dengan perdagangan, membuat pasar, melaksanakan jasa, dan derma, hormat kepada raja, bakti kepada sang pendeta, serta menjaga dengan baik apa yang diajarkan oleh sang pendeta (lihat lembaran 24b).
  4. Kewajiban Sudra adalah bertani atau bersawah, memberi suguhan kepada tamu serta teguh melaksanakan manusa sasana (aturan-aturan hidup manusia).

Penekanan pada perlunya sang raja mempelajari ajaran­ajaran kerohanian (agama) tampak sekali dalam tutur Kaman­dakan ini. Ajaran kerohanian akan dapat dijadikan pegangan yang kokoh, dapat dijadikan cermin oleh sang raja dalam meaksanakan tugasnya sebagai pemimpin.
Di samping itu sang raja hendaknya menyadari juga bakat kelahirannya. Ia dilahirkan sebagai golongan ksatria, dan golong­an itu telah mempunyai tugas dan kewajiban yang tertentu. Berhasilnya seorang raja memenuhi tugasnya itu berarti ia telah sukses sebagai pemimpin. 


Sumber
Tutur Bhagawan Kamandaka

Drs. Ida Bagus Gede Agastia
Penyempurna
Siti Maria
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
1993



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga