- 1Ajeg Bali Melalui Tri Hita Karana
- 2Filosofi Tri Hita Karana
- 3Sisi Perdamaian dan Konflik "Budaya" di Bali
- 4Kebutuhan Menahan Diri
- 5Tri Hita Karana dalam Praktek
- 5.1Sradha sebagai wujud aspek Parhyangan
- 5.2Bhakti sebagai wujud aspek Pawongan
- 5.3Cinta Kasih sebagai wujud aspek Palemahan
- 6Pelestarian Lingkungan Saat Hari Raya
- 6.1Implemantasi Tri Hita Karana pada Tumpek Pengarah
- 6.1Makna Teologis
- 6.2Makna Ekoreligi
- 6.3Makna Pendidikan Komunikasi Dengan Tumbuh-Tumbuhan
- 6.4Makna Sosio Kultural
- 7Harminisasi dengan Konsep Sanga Mandala
Tri Hita Karana mencakup pendekatan komprehensif dan holistik dalam menangani masalah perdamaian di Bali. Ini tidak hanya menangani sisi material atau ideasional dari perdamaian tetapi juga sisi transendental dan kosmologis. Tri Hita Karana berupaya menggambarkan orang Bali sepenuhnya, tidak hanya dari perspektif individu dan sosial, tetapi juga ekologis dan kosmologis. Kondisi manusia yang damai tidak hanya bergantung pada materi, sosial, atau psikologis, tetapi juga pada kondisi spiritual. Singkatnya, Tri Hita Karana berusaha untuk “memanusiakan manusia” dengan menempatkan mereka sebagai bagian dari sesuatu yang lebih besar: alam semesta itu sendiri.
Dengan memanusiakan manusia, kita dapat menghindari salah satu penyebab utama konflik dan kekerasan: merendahkan manusia lain. Jika manusia tidak manusiawi atau dilucuti dari penghormatan hak-martabat mereka, mereka akan melawan. Perspektif Tri Hita Karana dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah ini. Di sisi lain, Tri Hita Karana juga bisa menjadi pedoman dalam menangani konflik di Bali, atau bahkan di dunia. Kita bisa melacak akar konflik dalam Tri Hita Karana. Munculnya konflik dapat ditelusuri kembali ke gangguan dalam keseimbangan Tri Hita Karana. Singkatnya, Tri Hita Karana dapat menyelesaikan perdamaian melalui pandangan holistik.
Era globalisasi sangat berpengaruh pada melemahnya sendi-sendi kehidupan lama bersama yang telah dilestarikan dalam suatu masyarakat, dan dampaknya pada pergeseran nilai-nilai moral masyarakat. Mempertahankan nilai-nilai moral atau karakter bangsa sebagai prioritas utama sebagai salah satu prinsip pendidikan adalah membentuk manusia seutuhnya, dalam arti “Membangun Tubuh dan Membangun Jiwa-Nya”, tidak peduli seberapa kecil krisis moral yang terjadi di masyarakat , secara tidak langsung akan bisa merangkul nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Danim (2003: 63), pendidikan sejatinya adalah proses pembentukan moral masyarakat yang beradab, masyarakat yang muncul dengan wajah manusia yang normal dan kemanusiaan. Artinya, pendidikan yang dimaksud di sini lebih dari sekedar sekolah (pendidikan bukan hanya jaringan komunitas) tetapi pendidikan sebagai jaringan komunitas (education us network komunitas). Untuk membangun kesadaran manusia Tri Hita Karana maka, mempertahankan budaya dan peradaban Bali harus menjadi tujuan bersama, untuk mencapai tujuan ini akan lebih efektif melalui pendekatan pendidikan.
Pendidikan diharapkan memberikan kontribusi positif dalam membentuk orang yang memiliki keseimbangan antara kemampuan intelektual dan moralitas. Dengan menyelaraskan kedua komponen ini pada posisi yang tepat, diharapkan akan mengarahkan individu untuk menemukan jalan yang lurus, jalan yang akan membuka mata hati dan kesadaran umat manusia. Untuk membantu Grhastha Ashrama atau umat manusia menemukan cara kesadaran atau kebajikan dan kebahagiaan umat manusia, salah satunya dapat ditemukan dalam buku Wrhaspati Tattwa 25, sebagai berikut.
Silam yajñās tapo danam
prabrjya bhiksu hyevaca
yogasicapi samasena
dharmasya eko vinirnayah
Sila ngaraning mangraksa acara rahayu, yajñā ngaraning manghanaken homa, tapa ngaraning umatindriyania wineh ring wisayanira, dana ngaraning weweh, prawrjya ngaraning wiku anasaka, bhiksu ngaraning diksita, yoga ngaraning magawe samādhi. Nahan pratyekaning dharma ngaranya.
Berarti:
Sila berarti melakukan perbuatan baik, yajña berarti melaksanakan pengorbanan (homa), tapa berarti mematikan indera, tidak diberikan menikmati objek, dana berarti memberi sedekah, prawrjya berarti imam yang bijak (suka mengembangkan pengetahuan spiritual), bhiksu berarti melakukan upacara diksa (pemurnian secara pribadi), yoga berarti berlatih samādhi.
Mengingat kondisi lingkungan di mana individu tumbuh dan berkembang tercemar dan bertentangan dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai moral, itu dapat mempengaruhi perilaku individu menjadi kurang baik. Nilai-nilai agama perlu mendapat perhatian karena agama juga berintegrasi dengan perilaku baik-buruk. Perkembangan moral di masa kanak-kanak berada pada tahap pemahaman yang beragam, pada fase ini anak belum memiliki pandangan moral sendiri.
Ideologi Tri Hita Karan membangun kesadaran mikro, bahwa setiap manusia memiliki tiga modal dasar untuk kehidupan yang bahagia: (1) atman atau jiwa; (2) prana atau kekuatan kata – bayu – eep; dan (3) sarira atau badan (wadag). Kehilangan atau melemahnya salah satu unsur Tri Hita Karana dalam diri manusia maka kebahagiaan akan hilang juga. Angga sarira atau tubuh tanpa atman atau jiwa adalah mayat, atman atau jiwa tanpa angga sarira atau tubuh adalah roh atau hantu, atman atau jiwa dengan angga sarira atau tubuh tanpa prana atau kekuatan kata yang setara dengan manusia yang sakit.
Urutan kehidupan keluarga Bali (Hindu), yang dikenal sebagai Ghrastha Ashrama adalah tahap kehidupan pernikahan, sekarang nilai orientasinya sangat berbeda. Ada indikasi kasus perceraian, ketidakwajaran, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), masih maraknya kasus korupsi, mencari posisi / kekuasaan yang mempengaruhi kehidupan keluarga. Ada beberapa gejala pengaruh modernisasi pada sikap dan perilaku masyarakat di Desa Sukawati seperti perilaku konsumerisme, pragmatisme, dan hedonisme. Penampilan candi tampak tidak sopan, cukup ikuti tren fesyen, serta banten atau pengabdian yang didedikasikan untuk menyoroti serimonial atau kontestasi, terlepas dari esensi / makna penawaran. Bahkan ada fenomena pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari yang harus lebih dihemat agar membuat banten sama dengan tetangga lain.
Fenomena di atas mendorong masyarakat, khususnya masa Grhastha untuk bekerja keras, berkarier atau mengejar materi yang dapat memenuhi kebutuhan penampilan dan melakukan upacara (banten). Orang tua atau waktu Grhastha akan mengabaikan tugas utamanya untuk membimbing dan mengasuh putra-putrinya. Dari hasil pengamatan ini dapat menimbulkan masalah baru dalam kehidupan keluarga, anak-anak di masa Brahmacari kurang mendapat pengawasan orang tua atau orang dewasa lainnya (kakak, paman, kakek-nenek). Karena itu mereka cenderung mencari dunianya sendiri ke lingkungan negatif untuk menghindari kesepian, seperti sibuk bermain game online, geng motor, kasus narkoba, mencuri, seks bebas.