Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian


Pelestarian Lingkungan Saat Hari Raya

Umat Hindu di Bali sangat memperhatikan lingkungan hidupnya. Hal ini dapat ditunjukkan ketika umat melaksanakan upacara-upacara Tumpek, utamanya pada saat Tumpek Pengarah, Tumpek Bubuh atau Tumpek Wariga yang datang setiap hari Saniscara (Sabtu) Kliwon, Wuku Wariga dalam kalender Bali, yakni setiap 210 hari atau 6 bulan sekali dalam perhitungan bulan Wuku yang jumlah harinya dalam satu bulan selama 35 hari. Saat upacara dipanjatkan doa oleh keluarga yang mempersembahkan sesajen. Doanya berbentuk ‘sehe’, bukan mantram, yakni Bahasa Bali sehari-hari, untuk memohon tanaman tersebut subur dan berbuah lebat. 

Pada saat doa diucapkan pohon-pohon kayu (tanaman) tersebut dielus-elus dengan lembut dengan penuh kasih sayang. Umat Hindu beranggapan semua mahluk, termasuk hewan dan tanaman adalah satu keluarga dan bersaudara, seperti disebutkan dalam kitab Hitopadesa (1.3.71 ): “Vasudhaiva Kutumbakam”, (semua mahluk adalah bersaudara), oleh karena itu seperti halnya manusia, semua mahluk memerlukan kasih sayang dan harus dicintai sepenuh hati.

Di samping melestarikan lingkungan melalui upacara Tumpek seperti tersebut di atas, terdapat juga upacara Agama Hindu yang bertujuan untuk melestariakan lingkungan yang disebut disebut Sad Kertih, yang terdiri dari: (1) Atma Kertih (Upacara Penyucian Sang Hyang Atma/Sang Diri), (2) Samudra Kertih (Upacara untuk menyucikan samudra/lautan), (3) Wana Kertih (Upacara untuk menyucikan atau melestarikan hutan), (4) Danu Kertih (Upacara untuk menyucikan/melestarikan danau), (5) Jagat Kertih (Upacara untuk menyucikan jagat raya/alam), dan (6) Jana Kertih (Upacara untuk menyucikan diri manusia/membangun manusia sempurna).

Demikian berbagai upacara Agama Hindu yang dilaksanakan di Bali, terdapat pula ajaran Agama Hindu yang merupakan landasan filosofis berbagai aspek kehidupan beragama yang disebut Tri Hita Karana, yakni tiga hal yang menjadikan sejahtera, yakni: (1) membina hubungan yang harmonis dengan Tuhan Yang Maha Esa berupa pengamalan ajaran agama yang diturunkan-Nya. (2) membina hubungan yang harmonis dengan sesama manusia dan semua mahluk ciptaan-Nya. (3) membina hubungan harmonis dengan lingkungan alam sekitar sebagai satu kesatuan hidup yang tidak dapat dipisahkan.

Implemantasi Tri Hita Karana pada Tumpek Pengarah

Umat Hindu sangat jarang melakukan upacara Tumpek Pengarah atau Tumpek Wariga dengan mempersembahkan upakara (sesajen) yang jumlahnya banyak, terkecuali mereka yang baru membeli kebun yang luas dan dikaitkan dengan upacara Yajña seperti piodalan pada Sanggah atau hulu dari kebun tersebut. Upacara yang besar dipimpim oleh pandita biasanya memakai Banten Bebangkit atau paling tidak Banten Pregembal, biasanya dilengkapi dengan babi guling yang lumayan besar yang nantinya setelah dipersembahkan dapat dinikmati oleh seluruh karyawan di perkebunan tersebut.
Dalam upacara ini, umumnya dipimpin oleh tetua yang punya kebun atau ladang di desa dengan menggunakan Sêhê sebagai doa yang diucapkan ketika melaksanakan upacara Tumpek Pengarah. Sêhê tersebut adalah sebagai berikut:

kaki-kaki, nini-nini malih selai lemeng mangkin rahina Galungan, elingang mabuah ngeed……..ngeed…..ngeed.

kakek-kakek, nenek-nenek lagi dua puluh lima hari lagi adalah hari raya Galungangan, ingat berbuahlah yang lebat….lebat…lebat, sambil menepuk pohon-pohon kayu yang diupacarakan.  

Ada juga sedikit variasi dari Sêhê tersebut seperti:

kaki-kaki nini-nini matangi, mangkin rahina Tumpek Wariga maka otonan i kaki sareng i nini, matangi sampun tengahi, napi kaki sareng nini gelem ngeed….ngeed…ngeed. Elingang malih selai lemeng mangkin rahina Galungan icen buah sane ngeed…..ngeed…..ngeed

Kakek-kakek, nenek-nenek banunlah sekarang hari Tumpek Wariga otonan (ulang tahun) nenek dan kakek, bangunlah, apakah kakek dan nenek sedang sakit demam panas dingin (gelem ngeed). Ingatlah dua puluh lima hari lagi hari raya Galungan, berbuahlah yang lebat……lebat……lebat. 

Sêhê atau ‘sesontengan’ yang mengandung makna kiasan yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhur desa Pakraman Muncan diucapkan saat mempersembahkan upakara (banten) Tumpek Pengarah. Penyebutan kaki-dadong (kakek-nenek) dalam konteks ini adalah upaya penunjukan yang ditujukan untuk memuliakan tumbuhan yang jauh lebih dulu ada dari pada manusia dan mahluk lain yang ada di permukaan bumi.

Entah siapa yang memulai dan sejak kapan petikan monolog tersebut di atas tersebar luas di kalangan masyarakat Hindu di Bali, tidak diketahui secara pasti. Dan kutipan monolog tersebut di atas mungkin tidak sama persis diucapkan oleh warga desa yang satu dengan warga desa yang lainnya.

Namun yang jelas, petikan monolog yang kerap terdengar setiap rerahinan Tumpek Uduh tersebut memiliki tujuan atau pun harapan yang sama. Yakni, sebagai wujud kepedulian umat Hindu akan kelestarian lingkungan di sekitarnya, khususnya tumbuh-tumbuhan. Selain itu, sebagai ungkapan terimakasih serta puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala rahmat yang dianugerahkannya berupa tumbuh-tumbuhan yang subur, dengan batang yang kokoh dan daun serta buah yang lebat sebagai sumber kemakmuran bagi seluruh umat manusia. Hal tersebut sebagaimana kutipan terakhir pada monolog di atas yakni, …ngeed…, ngeed, ngeed….! yang berarti lebat.  

Teologi kasih sayang yang menjadi landasan dalam pelaksanaan upacara Tumpek Pengarah, rupanya disamping mengucapkan Sêhê seperti tersebut di atas, yang terpenting pohon tersebut juga diperhatikan kebersihan dan kesehatannya, jangan sampai ada benalu, diserang jamur putih atau lalat buah, ulat-ulat dan sejenisnya, serta diberi belaian seperti halnya manusia.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga