- 1Ajeg Bali Melalui Tri Hita Karana
- 2Filosofi Tri Hita Karana
- 3Sisi Perdamaian dan Konflik "Budaya" di Bali
- 4Kebutuhan Menahan Diri
- 5Tri Hita Karana dalam Praktek
- 5.1Sradha sebagai wujud aspek Parhyangan
- 5.2Bhakti sebagai wujud aspek Pawongan
- 5.3Cinta Kasih sebagai wujud aspek Palemahan
- 6Pelestarian Lingkungan Saat Hari Raya
- 6.1Implemantasi Tri Hita Karana pada Tumpek Pengarah
- 6.1Makna Teologis
- 6.2Makna Ekoreligi
- 6.3Makna Pendidikan Komunikasi Dengan Tumbuh-Tumbuhan
- 6.4Makna Sosio Kultural
- 7Harminisasi dengan Konsep Sanga Mandala
Makna Teologis
Bagaimanakah hari-hari raya Hindu di Bali dapat dikaitkan dengan hari-hari raya Hindu di India dan teologi kasih sayang yang sumber utamanya adalah ajaran yang terkandung dalam kitab suci Veda. Menurut Goris (1960: 98), kedatangan Agama Hindu di Bali dalam dua bentuk, yakni dalam bentuk agama yang dibawa oleh para pandita dan dalam bentuk kepustakaan (literature).
Sekta Saivasiddhànta sedikit lebih menghormati tradisi upacara di pura dan mengurangi beberapa hal dalam agama untuk mewujudkan hubungan antara siswa dengan guru dan umat pada umumnya dengan para pandita. Lagi pula jalinan esoteric yang bersifat ajaran rahasia yang akan dilimpahkan dibangun untuk mereka yang akan dipersiapkan menjadi pandita.
Di sini tugas para pandita tidak semuanya berhubungan dengan memimpin upacara di pura-pura, tetapi lebih dari itu adalah melafalkan mantra-mantra Sanskerta untuk menyucikan air menjadi tìrtha, yakni untuk kepentingan upacara-upacara rutin, baik di dalam rumah tangga maupun untuk kepentingan dalam upacara-upacara agama yang lebih besar lainnya.
Dengan demikian teologi kasih sayang yang mengalir dari kitab suci Veda ke seluruh ajaran Hindu meresapi ajaran teologi kasih sayang yang diimplementasikan dalam upacara-upacara di Bali dan dalam hal ini adalah dalam pelaksanaan upacara Tumpek Pengarah.
Teologi kasih sayang dalam upacara Tumpek Pengarah merupakan penjabaran atau implementasi dari ajaran ‘tat tvam asi’ dan memandang semua makhluk di alam semesta ini pada hakatnya tunggal, karena pada diri setiap mahluk ada àtmà yang merupakan percikan dari Brahman Yang Esa.
Implemantasi teologi kasih sayang selanjutnya adalah doa yang isinya mendoakan semua mahluk supaya sejahtera (sarve sukhino bhavantu………, sarva pràni hitankarah). Implementasi ajaran teologi kasih sayang adalah juga pandangan bahwa semua mahluk adalah satu keluarga dan bersaudara (vasudhaiva kutum bakam), yang memandang bumi sebagai ibu dan langit sebagai ayah serta umat manusia dan mahluk hidup lainnya adalah putra-putra dari ibu bumi dan ayah langit di atas.
Makna Ekoreligi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 354) kata ekologi berarti ilmu tentang hubungan timbal balik antara mahluk dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya). Prayito (2002: 6) menyatakan bahwa hubungan timbal balik ini, merupakan irama kehidupan alami yang disebut ekosistem. Ekosistem juga terdapat di dalam tubuh manusia, baik rohani maupun jasmani dan terdapat juga di angkasa luar. Seandainya ekosistem dalam tubuh manusia terganggu, maka terganggu pula kesehatannya. Demikian pula jika ekosistem alam terganggu, maka terganggu pula tata alamnya, hal ini akan meluas hingga mengganggu kehidupan manusia.
Pengertian, definisi atau konsep tentang religi (agama) di atas dan ciri-cirinya sebagai sitem simbol dari perilaku, yang memberi motivasi dan membuat gambaran tentang kosepsi dari setiap eksistensi serta memberi motivasi yang unik menjadikan pemahaman terhadap ekoreligion tampaknya tidak dapat dilepaskan. Masyarakat Bali pada umumnya selalu memeihara lingkungannya dengan menjadikan ajaran agama sebagai sumber atau inspirasinya. Makna ekoreligi dalam kaitannya dengan Tumpek Pengarah adalah mengingatklan, menyadarkan dan mengajarkan umat Hindu di Bali untuk memelihara alam lingkungan dengan mengimplementasikan ajaran kasih sayang dalam pemeliharaan lingkungan hidupnya.
Makna Pendidikan Komunikasi Dengan Tumbuh-Tumbuhan
Pelaksanaan atau perayaan hari raya Tumpek Pengarah merupakan salah satu wujud pendidikan dan komunikasi dalam keluarga semesta. Perayaannya yang di dalamnya aktivitas menyapa pohon-pohon kayu, atau tumbuh-tumbuhan, dimaksudkan agar setiap tumbuh-tumbuhan itu menaruh rasa simpati terhadap sapaan manusia dan berbuah yang lebat atau bunganya yang juga lebat, sehingga dapat digunakan sebagai sarana upacara (upakara atau banten) pada hari raya Galungan yang akan datang.
Komunikasi antar manusia dengan pohon, yang diajarkan juga oleh orang tua kepada anak-anaknya bagi oranbg yang tidak memahami dianggap kolot atau pun konyol. Namun jelasnya akhir-akhir ini para ahli (seperti Jagadish Chandra Bose) telah membuktikan melalui penelitian melalui hasil riset yang mutakhir, menyatakan bahwa ternyata tumbuh-tumbuhan tidak hanya sebagai mahluk yang hanya memiliki ‘ekapramana’ saja sebagaimana yang lazim diketahui oleh kebanyakan orang, tetapi ternyata pohon itu juga memiliki perasaan sedih, takut, murung, ceria dan sebagaimana layaknya manusia.
Mavinkurve dkk (dalam Donder, 2017: 136) menguraikan bahwa kita mendapatkan para bijak seperti Manu yang membicarakan tentang pepohonan dan tanam-tanaman, sebagai berikut:
antah saumjñana bhavantyete, sukha duhkha samanvitah
(Pohon-pohon kayu) sepenuhnya memiliki kesadaran di dalam (diri)- nya, sehingga mampu mengalami kesenangan atau lkesakitan.
Berdasarkan uraian tersebut pelaksanaan upacara Tumpek Pengarah sebagai implementasi teologi kasih sayang juga mengandung makna dan nilai-nilai pendidikan. Di samping melalui dialog manusia dengan pohon-pohon kayu dan tumbuh-tumbuhan, juga belaian kasih yang tulus, suara yang merdu, dan kebersihan lingkungan membuat tumbuh-tumbuhan dan manusia yang mendekatinya mendapatkan pelajaran ternyata semua pohon-pohonan memerlukan kasih sayang dan pewarisan kasih sayang dapat dilakukan melalui pendidikan formal, non formal dan informal dalam masyarakat.
Makna Sosio Kultural
Lingkungan hidup menurut terdiri dari 3 komponen, yaitu lingkungan hidup alami (ekosistem), lingkungan hidup hunian (teknosistem) dan lingkungan hidup sosial (sosiosistem). Ketiga komponen lingkungan hidup itu (ekosistem, teknosistem dan sosiosistem) saling berinteraksi, beradaptasi dan mengalami seleksi melalui pertukaran materi, energi dan informasi. Lingkungan hidup yang ideal hanya dapat tercapai apabila ketiga komponen lingkungan hidup itu ada dalam keseimbangan. Ketika salah satu komponen itu mendominasi yang lainnya keseimbangan akan terganggu. Apabila hal itu terjadi kelestarian alam akan terganggu atau lingkungan hidup ideal tidak berlaku.
Tumpek Pengarah sebagai ekspresi menyampaikan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa mengamanatkan hidup sejahtera dan bahagia bersama tanpa ada satu yang harus dikorbankan. Umat manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan sesama manusia, juga dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Ketika manusia beriteraksi sesama manusia, kitab suci Veda mengamanatkan untuk hidup bersama dengan kerukunan dan bersama-sama mewujudkan kebaikan dan kemakmuran. Kerja sama secara sosio kutural ini berlaku di mana pun umat manusia berada. Manusia bersama mahluk lainnya diharapkan untuk hidup penuh kedamaian guna mewujudkan kemakmuran bersama.
Di masyarakat pedesaan masih disaksikan penancapan ‘sawen’ pada pangkal pohon (disebut ‘tuwed’) yang ditebang dengan menancapkan satu pucuk cabang kayu kira-kira tingginya 50-70 centimeter tepat di tengah-tengah pangkal pohon yang habis ditebang.
Perilaku masyarakat ini yang mungkin dianggap hanya sebagai kebiasaaan yang sudah turun-temurun, sebenarnya mengamanatkan menebang satu pohon, hendaknya segera menanam dengan satu pohon sejenis yang ditebang itu, biasanya diambil cabang daun yang ada pucuknya.