- 1Ajaran Etika Secara Umum
- 2Ajaran Etika Secara Khusus
- 2..11. Etika Persedekahan
- 2..22. Etika Mencari dan Mengelola Artha atau Kekayaan
- 2..33. Etika Melakukan Seks
- 2..44. Etika Anak Terhadap Orang Tua dan Guru
- 2..55. Etika Seorang Brahmana
- 2..66. Etika Seorang Ksatria
- 2..77. Etika Seorang Waisya
- 2..88. Etika Seorang Sudra
- 2..99. Etika Seorang Wanita
- 2..1010. Etika Seorang Kepala Rumah Tangga
- 3Jagadhita dalam Kitab Sārasamuścaya
- 3..11. Kebahagiaan Duniawi
- 3..22. Kebahagiaan Setelah Kematian
- 4Terjemahan Kitab Sārasamuścaya
- 4.1Tujuan Hidup Manusia
- 4.2Hakekat Kebenaran
- 4.3Sumber Kebenaran
- 4.4Hakekat Kebenaran
- 4.5Empat Golongan Profesi
- 4.6Trikaya (Pikiran, Perkataan dan Perbuatan)
- 4.7Pikiran
- 4.8Iri Hati
- 4.9Kesabaran
- 4.10Kemarahan
- 4.11Tanpa Keyakinan
- 4.12Perkataan
- 4.13Kebenaran
- 4.14Tidak Membunuh dan Menyakiti
- 4.15Mencuri
- 4.16Memperkosa
- 4.17Kesusilaan
- 4.18Sedekah
- 4.19Etika Anak Terhadap Orang Tua
- 4.20Pengendalian dan Peneguhan Hati
- 4.21Kekayaan
- 4.22Kesenangan
- 4.23Pergaulan
- 4.24Hukum Karma
- 4.25Kematian
- 4.26Pitrayana - Dewayana
- 4.27Kebodohan
- 4.28Penyeimbangan Indra
- 4.29Wanita Jalang - Lelaki Hidung Belang
- 4.30Birahi Dan Kebencian
- 4.31Cinta Buta
- 4.32Pembebasan
Kitab Sarasamuscaya disusun oleh Bhagawan Wararuci, kisaran abad ke 9-10, dengan dua bahasa yaitu Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Kitab Sarasamuccaya ini sebagai intisari yang terdapat di Astadasaparwa (Mahabharata), gubahan Rsi Wiyasa yang memuat sejumlah ajaran tentang moral dan etika. Arti Sārasamuścaya yaitu : Sāra artinya intisari, sedangkan samuścaya artinya himpunan. Inilah himpunan dari instisari ajaran etika yang ada dalam Astadasaparwa. Kitab Sārasamuścaya adalah tuntunan bagi mereka yang sudah melewati Grhasta Asrama, atau tepatnya sudah meningkat ke Wanaprasta Asrama, apalagi sudah menjadi Sanyasin/ Bhiksuka.
Kitab Sārasamuścaya terdiri dari 517 sloka yang mana 6 sloka merupakan prakata dan 511 sloka merupakan pokok ajarannya berupa Catur Purusha Artha yang direalisasikan ke dalam Catur Asrama. Kitab ini juga digunakan sebagai isi nasihat oleh Bhagawan Waisampayana kepada Maharaja Jnanamejaya pada waktu memamparkan cerita Mahabharata.
Dari hasil pemilahan, dapat ditentukan sloka-sloka yang mencakup nilai-nilai etika secara keseluruhan yang kemudian dianalisis berdasarkan konsep dan teorinya.
Ajaran Etika Secara Umum
Nilai Etika secara umum dalam Kitab Sārasamuścaya menekankan pada ajaran-ajaran agama Hindu khususnya ajaran Tri Kaya Parisudha, Yama Nyama Brata, Asada Brata dan Catur Prawrti.
Tri Kaya Parisudha merupakan tiga laksana baik yang terdiri dari Kayika (berbuat baik), Wacika (berkata baik), dan Manacika (berpikir baik). Dalam hal ini Sārasamuścaya menyerukan bagaimana seseorang seharusnya selalu berpegang tegus pada tata cara berpikir, berkata, dan berbuat layaknya sebagai manusia baik secara individual maupun sosial.
Di dalam Kitab Sārasamuścaya sloka 259 menjelaskan tentang ajaran Dasa Yama Brata yaitu 10 jenis pengekangan diri berdasarkan upaya individu untuk menjauhi larangan agama sebagai norma kehidupan yang terdiri 1) Anresangsya yaitu tidak egois, 2) Ksama yaitu suka mengampuni dan tahan uji menghadapi pasang surutnya kehidupan, 3) Satia ialah jujur dan setia atau tidak ingkar janji, 4) Ahimsa yaitu kasih kepada makhluk lain, tidak membunuh, dan menyiksa secara sewenang-wenang, 5) Dama yaitu dapat menasehati diri sendiri, orang harus dapat mengendalikan diri menguasai indriyanya atau nafsunya, 6) Arjawa yaitu dapat mempertahankan kebenaran artinya berpegang teguh pada kebenaran, 7) Priti adalah cinta dan kasih kepada sesama makhluk hidup, 8) Prasada yaitu berfikir dan berhati suci tanpa pamrih, 9) Madurya yaitu ramah tamah dan sopan santun, dan 10) Mardawa yaitu rendah hati dan tidak sombong.
Sedangkan pada sloka 260 menjelaskan tentang Dasa Nyama Brata yaitu 10 jenis pengekangan hawa nafsu yang harus dilakukan oleh setiap orang dalam menjalankan kehidupan secara individual maupun sosial kemasyarakatan agar tercapainya kebahagiaan lahir dan bathin yang terdiri dari 1) Dana artinya pemberian, 2) Ijya yaitu pemujaan terhadap Hyang Widhi (Tuhan), 3) Tapa yaitu pembatasan terhadap kebutuhan-kebutuhan badan, 4) Dhyana yaitu memusatkan pikiran kepada Tuhan, 5) Swadhyaya yaitu memperdalam dan melaksanakan ajaran-ajaran weda, 6) Upasthanigraha yaitu pengekangan nafsu kelamin, 7) Brata yaitu mengikuti pantangan yang telah ditetapkan, 8) Upawasa yaitu pembatasan makan dan minum, 9) Mona yaitu pembatasan pembicaraan, dan 10) Snana yaitu melakukan pemujaan tiga kali sehari, dan mandi setiap subuh, tengah hari, dan sore hari.
Mengenai ajaran Asada Brata dijelaskan dalam sloka 57 yaitu 12 brata atau pengendalian diri atau pantangan yang harus dilaksanakan untuk kebajikan. Asada Brata terdiri dari 1) dharma – kebaikan, 2) satya – setia, 3) tapa – mengendalikan jasmani dan mengurangi nafsu, 4) dama – tenang dan sabar, 5) wimatsaritwa – tidak dengki/iri hati, 6) hrih – malu, 7) titksa – tidak gusar, 8) anusuya – tidak berbuat dosa, 9) yajna – berkemauan mengadakan puja/upacara, 10) dana – memberi sedekah, 11) dhrti – selalu menyucikan pikiran, dan 12) ksama – tahan, sabar, dan suka mengampuni.
Di dalam sloka 63 menjelaskan tentang Catur Prawrti sebagai dasar prilaku dari catur warna yang terdiri dari 1) arjawa yaitu bersikap jujur dan terus terang, 2) anrsangsa yaitu tidak mementingkan diri sendiri, 3) dama yaitu menasehati atau mengendalikan diri, dan 4) indranigraha yaitu mengendalikan hawa nafsu.
Dalam Kitab Sārasamuścaya ada beberapa nilai etika yang dijelaskan lebih mendetail dibandingkan nilai etika lainnya seperti misalnya etika dalam berbicara. Di sini ditegaskan agar tidak berbicara kasar atau mencaci maki kepada orang yang cacat, orang buta huruf, orang sengsara, orang yang lemah, orang yang tercela (tersudutkan), orang yang ditimpa kecelakaan, orang miskin, orang bodoh, dan orang yang penakut. Hal ini dijelaskan dalam sloka 123 yaitu :
hīnānganatiriktāngan vidyāhinān vigarthitan,
rūpadravīnāhinamcca sattvahnāmṣca nākṣipetNyan inilagakén, hana wwang wukāra, kurang lwih awayawanya, tan wruh mangaji kunang, wwang durbhāga, durbala inupét kunang, wwang ahala, wwang tanpamās, wwang mudha, wwang wédi-wédi kunang, yatika tan tiraskaran tanuyan, pawak ning parusya angujar mangkana.
Inilah patut dihindari, yaitu mencela orang yang cacat karena kurang atau lebih anggota tubuhnya, orang buta huruf, orang sengsara, orang yang tak bertenaga dan tercela pula, orang yang ditimpa kecelakaan, orang miskin orang bodoh, begitupun orang yang penakut; orang-orang itu janganlah dicerca, diabaikan. Berkata atau mengeluarkan kata-kata yang demikian itu merupakan penghinaan.
Selain mengenai larangan berbicara kasar atau mencaci maki, Sārasamuścaya juga menegaskan tentang prihal tidak marah yaitu hendaknya tidak marah kepada para dewata, raja (pemimpin/penguasa), brahmana (orang suci), anak-anak, wanita hamil, orang yang lebih tua maupun lanjut usia dan kepada orang yang sakit. Nasihat ini dijelaskan di dalam sloka 108 yaitu :
devātasu viceṣeṇa rājasu brāhmanesu ca,
niyantavyo bhavet krodho bālavṛddhātureṣu ca.Ring mangke tang krodha prihén témén kahrtanya, lwirnya, ring dewatā, ring sang prabhu, ring sang brāhmana, ring rare kunang, ikang sédéng mundu, ring wwang atuha kunéng, irikang télas lilu, wwang alara kunang, i samangkana ikang krodha prihén témén kahrtanya.
Maka sekarang hendaklah nafsu itu benar-benar diusahakan mengekangnya, misalnya terhadap para dewata, terhadap sang raja, terhadap sang brahmana, terhadap anak-anak, terhadap wanita yang sedang mengandung, pun terhadap orang tua yang lanjut usianya; demikian pula terhadap orang yang menderita sakit; pada waktu menghadapi yang demikian itu hendaknya nafsu murka diusahakan benar-benar mengekangnya.
Selain itu juga, Kitab Sārasamuścaya mengisyaratkan bahwa boleh berkata bohong apabila perkataan itu tidak menyakiti atau merugikan orang lain, seperti yang dijelaskan dalam sloka 134 yaitu:
na tahyavacanaṁ satyam nātathyavacana mrsā
yad bhūtahitamātyarthaṁ tat satyamitaramṛṣaKunéng paramārthanya nihan, tan ikang ujar adwa ktikang mithyā ngaranya, tan ikang si tuhu satya ngaranya, kunéng prasiddhanya, mon mithyā ikang ujar, téher magéde hita juga, magawe sukhāwasāna ring sarwabhāwa, ya satya ngarānika, mon yathābhuta ṭowi, yan tan pangede sukhāwasāna ring sarwabhāwa, mithyā ngaranika.
Pada hakekatnya adalah demikian ini; bukan perkataan yang tidak benar, bohong namanya, dan bukan perkataan yang benar itu, disebut kebenaran, melainkan sesungguhnya, biarpun bohong kata-kata itu namun selalu menimbulkan kebaikan saja, membuat akibat yang menyenangkan kepada semua makhluk hidup, itulah kebenaran disebut; meskipun sesuai dengan apa yang terjadi jika tidak mendatangkan akibat yang menyenangkan kepada semua makhluk, dusta disebut itu.
Dalam hal ini, bohong atau tidak bohong, benar atau tidak benar yang diucapkan adalah tergantung pada motif atau tujuan utama daripada ucapan itu dimana kebahagiaan menjadi barometernya. Seperti misalnya seorang dokter yang berbohong menyatakan kebenaran penyakit pasiennya agar pasien tersebut tidak mengalami guncangan dan begitu juga cara seseorang melindungi binatang dari kejaran para pemburu.
Ada beberapa kebohongan yang diperbolehkan seperti yang dinyatakan dalam Kitab Slokāntara sloka 69 yaitu 1) ucapan yang menyebabkan orang tertawa (lelucon), 2) ucapan untuk meyelamatkan jiwa, 3) ucapan untuk menyelamatkan harta kekayaan, 4) ucapan untuk menyelamatkan anak dan istri, dan 5) ucapan pada waktu bersenggama atau bercumbu rayu. Kelima kebohongan ini juga dinyatakan dalam Kitab Nītiśāstra VI.4 dan Kitab Adiparwa Bab XI. Kelima kebohongan yang diperbolehkan ini disebut dengan istilah Pańcanṛta.
Ajaran Etika Secara Khusus
Pembahasan nilai-nilai etika secara khusus dimaksudkan untuk memberikan penekanan lebih rinci dan mengkhusus untuk diaplikasikan. Namun, pada dasarnya nilai-nilai etikanya sama, baik secara umum maupun secara khusus. Nilai-nilai etika secara umum terdiri dari etika persedekahan, etika mencari dan mengelola artha atau kekayaan, etika melakukan hubungan seks, etika anak terhadap orang tua dan guru, etika seorang brahmana, etika seorang ksatria, etika seorang waisya, etika seorang sudra, etika seorang wanita, dan etika seorang kepala rumah tangga.
1. Etika Persedekahan
Etika persedekahan didapatkan berdasarkan analisis dari sloka 181, 184, 185, 187, 188, 193, 197, dan 223. Dalam kegiatan bersedekah maupun menerima sedekah agar dikatakan sebagai Sattvik Dana maka hendaknya memperhatikan etika yang telah ditentukan dalam pustaka suci yang meliputi: sikap cermat, efesien, tidak sombong, jujur, tidak marah, tidak bengis, ramah tamah, sopan santun, ikhlas, sikap hormat, berhati lembut, dan pemurah.
Dalam bersedekah harus bersikap cermat artinya yang perlu diberikan sedekah adalah orang baik, orang miskin, orang kelaparan, orang kesusahan, dan tidak memberikan maupun menerima sedekah dari orang jahat. Selain itu juga harus bertindak efesien maksudnya adalah barang yang disedekahkan harus tepat guna dan layak. Selain itu, ada beberapa sedekah yang dikatakan mulia yaitu berupa tanah yang baik dan suci yang dapat dijadikan tempat suci maupun tempat tinggal bagi yang membutuhkan, bersedekah ilmu pengetahuan berupa penerangan tentang ajaran agama, dan barang atau sesuatu yang disedekahkan merupakan hasil kerja sendiri.
2. Etika Mencari dan Mengelola Artha atau Kekayaan
Etika tentang artha didapatkan berdasarkan analisis sloka 261, 262, 266, dan 470. Dalam mencari artha atau kekayaan hendaknya bersikap tidak rakus, tidak mencuri, jujur, dan bekerja keras sedangkan dalam mengelola artha atau kekayaan harus bersikap bijaksana, cermat, adil, efesien, hemat, kreatif, dan produktif. Artha atau kekayaan yang dimiliki harus digunakan sebaik-baiknya yaitu 1/3 digunakan untuk mencapai dharma (dharmāthah), 1/3 digunakan untuk memenuhi kama atau kebutuhan hidup (kāmārtha), dan 1/3 artha digunakan untuk kegiatan ekonomi (vivirddhayet).
3. Etika Melakukan Seks
Etika dalam melakukan hubungan seks yaitu pengendalian diri, disiplin, berpikiran jauh ke depan, dan cermat. Sesuai dengan penjelasan sloka 255 maka melakukan seks harus memperhatikan pantangan-pantangan yaitu tidak diperbolehkan pada bulan mati atau tilem, bulan penuh atau purnama, sehari sebelum purnama, dan 8 hari setelah purnama.
4. Etika Anak Terhadap Orang Tua dan Guru
Etika Anak terhadap orang tua dan guru disimpulakan berdasarkan analisis dari sloka 36, 189, 234, 236, 237, 238, dan 248. Sikap seorang anak kepada orang tua dan guru adalah tidak angkuh, berhati lembut, sikap patuh, pemurah, kasih sayang, pengabdian, sikap hormat, ramah tamah, setia, pengabdian, jujur, tidak berkhianat, dan tidak berprasangka buruk, tulus hati, bijaksana, tidak menghina, dan sopan santun. Bila sikap-sikap tersebut dilaksanakan maka seorang anak niscaya mendapatkan kirti yaitu pujian tentang kebaikan, ayusa yaitu kehidupan, bala yaitu kekuatan, dan yasa yaitu nama baik.
5. Etika Seorang Brahmana
Kata brahmana berasal dari bahasa Sanskerta “brahma” yang disamakan dengan Weda, artinya ilmu pengetahuan suci dan “na” artinya ketempatan atau sebagai tempatnya sehingga brahmana berarti tempat ilmu pengetahuan suci. Brahman sebagai tempat ilmu pengetahuan suci maksudnya mereka memahami dan melaksanakan pengetahuan kerohanian dalam masyarakat yang biasanya disebut pendeta. Golongan brahmana adalah golongan yang berkecimpung dalam bidang kerohanian.
Setiap agama tentunya mempunyai kaum brahmana atau orang suci yang mempelajari, melaksanakan, dan mengajarkan agamanya masing-masing. Brahmana dalam Hindu seperti pendeta, pemangku, rsi, bhagawan, dan yang lainnya. Brahmana dalam Budha seperti bhiksu atau bhiku.
Brahmana atau orang-orang suci tersebut harus bertindak sesuai dengan kedudukannya. Seorang brahmana dipandang sebagai orang suci sehingga kepribadiannya juga harus mencerminkan orang suci. Berdasarkan analisis sloka 56, 57, 61, 62, dan 63 maka dapat disimpulkan etika seorang brahmana meliputi; tekun, beriman, pemurah, susila, setia, jujur, pengendalian diri, sikap tenang, tidak dengki atau tidak iri, tidak serakah atau tidak rakus, tidak egois, sopan santun, tidak marah atau sikap sabar, tidak curang, tidak menyakiti, ikhlas, tulus hati, suka menolong, pemaaf, dan sikap introspeksi diri.
6. Etika Seorang Ksatria
Kata ksatria berasal dari kata “ksatra” yang artinya tedung, pelindung; selanjutnya berarti anggota dari suatu susunan pemerintahan yang juga berarti pemerintahan, prajurit, daerah, keunggulan, kekuasaan, dan kekuatan (Tim Penyusun, 17). Ksatria merupakan golongan pelindung dan pengayom seperti pemimpin maupun prajurit. Berdasarkan analisis sloka 58, 61, 62, dan 63 maka dapat disimpulkan etika seorang ksatria meliputi; bersikap pemberani, tegas, bertanggung jawab, tangguh, beriman, suka menolong, suka melindungi, sikap disilpin, sikap adil, pemurah, sikap jujur, tidak egois, sikap introspeksi diri dan pengendalian diri.
7. Etika Seorang Waisya
Warna waisya adalah golongan yang bertindak sebagai pengusaha atau usahawan yang menyangkut bidang produksi, sandang, dan pangan untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat (Tim Penyusun, 19). Dalam Slokantara (sloka 38) menyebutkan bahwa golongan waisya bekerja sebagai petani, pengembala, dan pengusaha sehingga kaum waisya merupakan orang-orang yang bergelut di bidang perekonomian. Berdasarkan analisis sloka 59, 61, dan 63 maka seorang waisya juga memiliki etika yang meliputi; jujur, tidak rakus, pemurah, tekun, beriman, tidak dengki atau tidak iri, tidak curang, bertanggung jawab, tidak egois, sikap introspeksi diri dan pengendalian diri.
8. Etika Seorang Sudra
Sudra adalah golongan keempat dalam catur warna yang merupakan kelompok pekerja yang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menjadi pelayan, pesuruh atau pembantu orang lain, dengan kata lainnya bekerja dengan bermodal tenaganya (Tim Penyusun, 21). Etika seorang sudra dijelaskan pada sloka 60, 61, dan 63 yaitu sebagai pelayan atau sudra mereka harus memiliki sikap setia, pengabdian, jujur, tidak egois, sikap introspeksi diri dan pengendalian diri.
9. Etika Seorang Wanita
Dalam Sārasamuścaya juga menyinggung tentang etika seorang wanita yaitu pada sloka 61. Dalam hidup bermasyarakat, wanita mendapat sorotan yang lebih ketat dibandingkan dengan laki-laki. Bahkan wanita dijadikan sebagai barometer dalam keluarga maupun masyarakat sehingga untuk menghindari pandangan buruk maka hendaknya seorang wanita menunjukkan sikap bersahaja, sikap patuh, sikap setia, sikap hormat, tidak dengki, tidak menyakiti, sopan santun, tidak berkata kasar atau kotor, dan bertanggung jawab.
Dalam sloka 424-442, seolah-olah merendahkan martabat seorang wanita, tetapi yang dimaksudkan bukan seperti itu. Sloka-sloka tersebut diperuntukkan bagi seseorang yang sama sekali tidak boleh berhubungan dengan wanita seperti orang yang nyukla brahmacari, sanyasi, pertapa, dan pendeta bukan bagi wanita dengan pria pada umumnya. Dalam banyak ajaran agama Hindu wanita diakui mempunyai peranan penting dan derajat sangat mulia (Kadjeng dkk, 1997:398).
10. Etika Seorang Kepala Rumah Tangga
Seorang kepala rumah tangga dapat digolongkan sebagai pemimpin karena mempunyai tugas mengatur keluarganya. Etika seorang kepala rumah tangga dimuat pada sloka 62 yaitu seorang kepala rumah tangga harus memiliki sifat kasih sayang, bertanggung jawab, dan tidak egois.