Chanakya Niti Sastra – Ilmu Politik, Kepemimpinan dan Moralitas


NILAI DHARMA DALAM NITI SASTRA

Pandangan dari para tokoh agama maupun masyarakat mengatakan bahwa Dharma adalah suatu yang bersifat baik atau kebenaran. Baik tingkah laku, perkataan serta pikiran harus berlandaskan alas kebenaran. Selain perbuatan Dharma juga diartikan sebagai hukum agama hindu. Setiap orang yang terlahir didunia diwajibkan untuk berbuat Dharma. Karena Dharma merupakan jalan untuk mencapai kebahagiaan.

Jivantam mrtavan-manye Dehinam dharma-varjitam Yato dharmena samyukto Dirgha-jivi na samsayah

Canakya Niti sastra , XIII.4

Artinya:

Orang yang perbuatannya tidak sesuai dengan dharma, sebenarnya ia sudah mati, walaupun masih hidup. Seorang dharmatma yaitu orang yang perbuatannya sepenuhnya sesuai dengan dharma, sebenarnya ia masih hidup, walaupun sudah mati.

Pada sloka diatas dikatakan bahwa hidup adalah untuk berbuat Dharma, karena Dharma adalah sastu-satunya bekal ketika kita meninggal nanti. Walau kita memiliki banyak harta atau pun anak buah, namun ketika kita meninggal hanya Dharmalah yang membantu kita disana. Apabila Dharma yang kita lakukan selama di dunia maka surgalah tempat kita, begitu juga sebaliknya apabila Adharma yang lebih dominan maka nerakalah rumah kita nanti. Tidak akan pernah ada yang bisa membantu dan membebaskan kita dari tempat yang disebut Surga dan Neraka.

Janma mrtyum hi yati eko Bhunakty ekas subhasubham Narakesu pataty eka

Eko yati param gatim

Canakya Niti Sastra, V. 13

Terjemahan;

Hal yang pasti adalah: orang lahir sendirian, mati sendirian, merasakan hasil perbuatan sendirian, jatuh kedalam alam neraka sendirian, dan pulang kedunia rohani juga sendirian.

Pada sloka diatas sudah jelas dikatakan bahwa kelahiran, kematian, kharma baik dan buruk kita sendiri yang merasakan hasilnya. Dharma yang kita tanam maka Surgalah tempat kita nanti, begitu juga sebaliknya bila Adharma yang kita tanam maka Nerakalah tempat kita nanti. Maka dari itu dalam hidup manusia hendaknya Dharmalah yang lebih ditekankan.

Sebelum berbicara tentang nilai Dharma, alangkah baiknya kita simak ceritra tentang orang bodoh dan orang bijaksana berikut ini. Ditengah kesibuknya masyarakat beraktiflitas ada seorang cowok yang dikatakan bodoh dan tidak tahu etika. Dia dikatakan bodoh karena dianggap melecehkan suatu Patung Dewa yang dianggap sakral oleh masyarakat. Walaupun dia bodoh, akan tetapi ia sangat bhakti kepada Tuhan.

Pada suatu ketika hujan gerimis datang, semua masyarakat berlari-lari mencari tempat untuk berteduh agar tidak basah. Sibodoh ini pun heran melihat kejadian tersebut sampai ia bertanya kepada ayahnya, “wahai ayah, mengapa masyarakat takut ketika hujan? Padahal hujan adalah air? Sedangkan kita minum air setiap hari”! Lalu ayahnya menjawab, “mereka berlari karena takut kena air hujan dan air hujan bisa menyebabkan sakit, sedangkan air yang kita minum selama ini kan sudah dimasak dan aman untuk diminum”. Setelah mendengar penjelasan dari ayahnya sibodoh pun mengerti kalau orang yang terkena air hujan pasti akan sakit.

Ketika sibodoh sedang berteduh tiba-tiba ia melihat patting Dewa yang kehujanan di tengah Desa. Sibodoh pun berpikir “kalau manusia kena air hujan pasti akan sakit, terus kalau dewa kehujanan bagaimana? dan kalau Dewa sakit siapa yang akan menjaga umatnya?”. Agar tidak sakit, saya harus mengangkatnya ketempat yang teduh agar tidak kehujanan.

Yang menjadi pennasalahan adalah karena patung tersebut terbuat dari bahan  yang berat jadi sangat tidak mungkin bisa diangkatnya. Si bodoh pun mencari cara untuk menyelamatkan patung tersebut, sampai akhirnya ia menemukan kain untuk menutup kepala patung tersebut. Sibodoh pun menutup kepala patung Dewa tersebut dengan kain yang ditemukannya, ternyata kain yang ditemukan itu adalah celana bekas yang sudah robek.

Sibodoh pun lega karena kepala patung Dewa tersebut sudah tertutupi, dan ia pun meninggalkan patung tersebut dengan rasa senang karena sudah berbhakti kepada patung Dewa. Setelah ia meninggalkan patung tersebut, datanglah seorang yang bijaksana datang untuk memuja patung Dewa tersebut. Orang bijaksana itu pun kaget melihat patung yang akan dipujanya ditutupi oleh celana bekas yang sudah robek, Orang bijaksana itu sangat marah dan mencaci maki orang yang telah menutupi patung dewa dengan celana robek tersebut. Orang bijaksana tersebut menganggap bahwa orang yang menutupi kepala patung Dewa dengan celana bekas tersebut sudah melecehkan kesakralan patung tersebut.

Menelik dari permasalahan diatas antara orang bodoh dan orang bijaksana yang memiliki pembenaran masing-masing. Orang bodoh tersebut menganggap bahwa dia sudah berbuat Dharma karena telah melindungi Dewa dari air hujan, dan orang bijaksana mengatakan bahwa perbuatan orang bodoh itu adalah tidak beretika. Bagaimana sebenarnya Dharma tersebut….? perbuatan apa saja yang  bisa disebut Dharma ?

Ketika berbicara Dharma atau kebenaran itu bersifat sangat relatif. Benar menurut kita sendiri dan belum tentu benar menurut orang lain. Seperti pada ceritra diatas bahwa pandangan dari orang bodoh tersebut benar dia menutupi kepala patung Dewa dengan kain agar tidak kehujanan. Si bodoh itu merasa telah berbuat Dharma karena sudah berhasil melindungi patung dewa yang disakralkan itu. Berbeda dengan pandangan orang bijaksana tersebut, yang menganggap itu adalah kesalahan yang besar dan sudah melecehkan patung Dewa. Dari cerita ini disimpulkan bahwa kebenaran itu bersifat relatif. Pada dasarnya Dharma atau kebenaran memiliki lima dasar yang dijadikan acuan. Kelima dasar tersebut adalah:

  1. Sruti, merupakan wahyu suci yang diterima dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sruti diturunkan kapada para maha Rsi yang sudah mekar intuisinya sehingga bisa menerima wahyu dengan baik. Wahyu yang diterima berisikan tentang kegaiban alam semesta, silsilah para Dewa, dan lain Wahyu ini akan dijadikan pegangan untuk melakukan pujian kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sruti dituangkan dalam kitab suci Veda, yang kini sudah dibagi menjadi Catur Veda.
  2. Smerti, adalah nama-nama buku yang merupakan hasil pemikiran dari dan ditulis berdasarkan interpretasi Veda dan telah diterapkan serta dijadikan panutan sejak berabad-abad. Kitab Smerti juga merupakan bagian dari kitab suci Veda yang berisikan ajaran-ajaran tentang kebenaran. Yang tergolong kedalam kitab-kitab Smerti antara lain: Dharmasastra, Purana, Ithihasa, dan lain
  3. Sila, merupakan ethika yang diterima oleh orang-orang suci dan bijak. Ethika disini adalah tentang tingkah laku, tata cara berbicara, serta pikiran. Ethika merupakan sumber Dharma yang tidak tertulis akan tetapi harus Dan kini sudah banyak ajaran tentang ethika yang sudah dibukukan atau dibuatkan tulisan seperti lontar Sila Sesana, Sila Kramaning Aguron-guron, dan yang lainnya.
  4. Sadacara/acara, merupakan adat kebiasaan setempat yang telah diterima dan dijadikan sebagai bagian dari kepercayaan oleh masyarakat dimana mereka tinggal. Agama Hindu memberi pengakuan yang tegas tentang acara, dengan pengakuan itu sehingga adat setempat diakui sebagai
  5. Atmanastuti, merupakan kebahagiaan yang didapat oleh seseorang atau diri sendiri. Atmanastuti ini merupakan ajaran Dharma untuk memecahkan permasalahan yang belum tertera dalam kitab Veda.

Kelima dasar dari Dharma diatas memberikan ajaran tentang bagaimana cara mengatur kehidupan agar dapat mencapai kepuasan lahir bhatin. Selain berdasarkan atas Kitab suci yaitu Sruti alau Smrti, orang melakukan Dharma juga dengan cara bertingkah laku atau juga dengan melakukan acara atau ritual. Semua Dharma itu dilakukan berdasarkan atas Atmanastuti atau kebahagian lahir bhatin. Akan percuma suatu Yajna apabila dilakukan dengan perasaan yang tersiksa.

Melakukan Dharma haruslah berdasarkan dari ketulusan hati yang paling dalam. Walaupun itu kecil akan tetapi dilaksanakan dengan keinginan yang tulus maka akan menjadi besarlah Dharma itu, begitu juga sebaliknya walau sebesar apapuli perbuatan apabila tidak dilandasi ketulusan maka tidak akan ada artinya. Ketika berbicara Dharma yang mana harus dilakukan seseorang, jawabanya adalah melakukan swadharmanya sendiri. Karena setiap manusia yang diiahirkan memiliki swadharma masing-masing.

seperti yang tertera pada Bhagawadgita, III.35, yaitu: “lebih baik mengerjakan kewajiban sendiri walaupun tidak sempurna daripada melakukan kewajiban orang lain yang dilakukan dengan baik; lebih baik mati dalam tugas sendiri daripada mati dalam tugas orang lain yang sangat berbahaya” (Pudja 1999:99). Adalah lebih baik kalau kita mengerjakan pekerjaan yang sudah jadi kewajiban kita walaupun dalam mengerjakannya mungkin saja tidak sempurna, daripada melakukan kewajiban orang lain, walaupun dalam pelaksanaannya mungkin sangat sempurna.

Mati dalam melakukan kewajiban kita adalah sesuatu hal yang agung dan sebaliknya Dharma yang seharusnya menjadi hak orang lain malahan akan menimbulkan bahaya spiritual bagi kita, seandainya kita memaksakannya juga. Jadi seorang yang bersifat Brahmana tidak perlu melakukan pekerjaan seorang waishya, dan begitupun sebaliknya. Tidak ada masalah bagi Yang Maha Esa mengenai tinggi-rendahnya nilai suatu pekerjaan atau kewajiban, semuanya bagi Yang Maha Esa sama saja sifatnya.

Tetapi mengerjakan kewajiban kita masing- masing secara baik dan penuh dedikasi nilainya lebih baik untuk kepuasan batin kita sendiri, dan secara spiritual herkatanya ditentukan olehNya sesuai dengan kehendakNya juga. Seorang tukang sepatu membuat sepatu yang baik, seorang pendeta mengarahkan umatnya dengan penuh dedikasi dan iman, dan seorang raja memerintah dengan bijaksana; jika semua orang bekerja dengan baik sesuai dengan kewajiban dan sifatnya yang asli tanpa menyerobot usaha atau pekerjaan orang lain dengan alasan apapun juga, maka semuanya akan stabil dan harmonis dalam kehidupan ini.

 


Sumber :

Drs. I Wayan Darna, M.Pd.



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga